Mubadalah.id – Seringkali saya melihat konten-konten penghakiman iman seseorang karena gaya kelekatan yang berbeda dari seseorang. Semisal, konten-konten ancaman neraka bagi seseorang yang bertaqwa namun “tidak sempurna”. Padahal, bagi saya setiap orang punya bentuk atau cara beribadah sendiri.
Saat perbedaan beribadah berbeda dengan yang lain (meskipun satu kepercayaan), ternyata ada juga seseorang yang menghakimi dan mengkritik dengan keras. Hingga beberapa hari, saat sedang membaca-baca mengenai penelitian gaya kelekatan (attachment style), saya menemukan sesuatu yang baru. Sebuah penelitian oleh Dr. Hassan Elwan dan Dr. Osman Umarji pada tahun 2022 sukses menarik perhatian saya.
Penelitian tersebut berjudul “Belief in Divine Love: Discovering Spiritual Attachment Styles.” Sebuah penelitian yang mengungkapkan bagaimana gaya keyakinan kita pada cinta Ilahi dapat memengaruhi tingkat kelekatan kita kepada Tuhan. Serta, bagaimana gambaran kita tentang Tuhan membentuk cara kita berhubungan dengan-Nya.
Akidah-Allah Sang Maha Sempurna
Dalam ranah akidah, kita meyakini bahwa Allah Maha Sempurna. Kesempurnannya menjangkau setiap alam yang dapat kita bayangkan. Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, serta masih banyak lagi. Namun, kita tidak dapat melihat Allah secara langsung, tetapi Allah dapat melihat seluruh penglihatn.” Oleh karenanya, setiap dari kita akan bergulat dengan dua pertanyaan mendasar, yaitu:
Pertama, meskipun saya tidak dapat melihat Allah secara langsung, bagaimana saya membayangkannya? Kedua, Allah melihat apa pun yang saya lakukan. Apa pendapat-Nya tentang saya?
Cara kita menjawab kedua pertanyaan ini memiliki dampak yang mendalam pada kehidupan kita. Jawabannya memengaruhi gaya keterikatan kita, hubungan kita dengan Allah dan sesama, serta religiusitas, perjuangan keagamaan, dan harga diri kita. Menanamkan citra Tuhan yang sehat yang mencerminkan keselarasan antara semua sifat-Nya sangat penting bagi perkembangan keagamaan yang positif.
Bagaimana Cara Kita Memandang Allah?
Setiap orang memiliki persepsi tersendiri tentang Tuhan yang terbentuk dari gabungan antara pengetahuan dan pengalaman pribadi. Para teolog menyebutnya sebagai citra Tuhan (God Images) yakni cara seseorang memandang, merasakan, dan berhubungan dengan Yang Ilahi.
Citra tersebutberasal dari dua sumber utama. Pertama, keyakinan kognitif yang dipelajari melalui ajaran agama dan pendidikan. Kedua, pengalaman afektif yang lahir dari perjumpaan emosional dengan Tuhan. Misalnya, seseorang bisa percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa (aspek kognitif), namun belum tentu merasakan kehadiran kasih dan kedekatan-Nya (aspek afektif). Keseimbangan antara dua dimensi tersebut sangat penting karena ketidaksesuaian di antara keduanya sering kali melahirkan kegelisahan spiritual atau rasa jauh dari Tuhan.
Sayangnya, banyak orang tumbuh dengan gambaran Tuhan yang kurang akurat. Pengaruh budaya, pendidikan agama yang kaku, bahkan pengalaman buruk dengan figur otoritas spiritual dapat membuat seseorang melihat Tuhan sebagai sosok yang keras, jauh, atau menakutkan. Padahal, dalam Al-Qur’an, Allah menegur manusia yang “tidak menilai-Nya sebagaimana mestinya.”
Mislanya, kisah Perang Khandaq menggambarkan hal tersebut dengan jelas, yaitu ada orang yang melihat cobaan sebagai bukti janji Allah, sementara yang lain merasa ditinggalkan. Perbedaan reaksi tersebut lahir dari perbedaan citra Tuhan di dalam hati mereka. Bila seseorang memiliki prasangka baik terhadap Allah (husn al-zann billah), ia akan memandang ujian sebagai peluang untuk tumbuh, bukan tanda ketidakpedulian Ilahi.
Citra Tuhan yang positif membantu manusia memaknai hidup dengan lebih sehat secara spiritual dan psikologis. Sebaliknya, citra yang terdistorsi dapat menimbulkan krisis iman, rasa rendah diri, bahkan gangguan mental. Dalam perspektif psikologi agama, hubungan manusia dengan Tuhan bersifat mendasar karena kebutuhan untuk terhubung dan merasa dicintai merupakan bagian dari fitrah atau kecenderungan alami manusia.
Kita memang tercipta untuk mencari makna dan keterikatan dengan yang transenden. Penelitian modern tentang spiritualitas pun menunjukkan bahwa keimanan yang hangat dan penuh kasih dapat memperkuat daya tahan terhadap stres dan penderitaan.
Sejak lahir, manusia membawa potensi bawaan untuk mengenal Tuhan, meski belum mampu memahaminya secara rasional. Seiring waktu, pengalaman, pengetahuan, dan hubungan interpersonal membentuk gambaran tentang siapa Tuhan bagi dirinya.
Ibn Taimiyah pernah menulis bahwa semakin dalam pengetahuan seseorang tentang Allah, semakin besar pula cintanya kepada-Nya. Dengan kata lain, mengenal Tuhan dengan benar merupakan proses yang menyembuhkan. Pengenalan tersebut membantu kita untuk menata kembali hati, membersihkan fitrah dari prasangka keliru, dan menumbuhkan rasa kedekatan yang menenangkan
Gaya Kelekatan Spiritual
Teori kelekatan (attachment theory) merupakan gamabaran bagaimana hubungan awal antara individu dengan Tuhan. Rasulullah bersabda bahwa setiap manusia lahir dengan fitrah, yakni potensi bawaan untuk mengenal dan mencintai Tuhan, dan orang tua memiliki peran besar dalam menjaga atau merusak potensi tersebut.
Profil Pertama: Keterikatan yang Aman kepada Tuhan (Secure God Attachment)
Setiap orang memiliki cara sendiri untuk merasakan kehadiran Tuhan. Ada yang menemukannya lewat doa, ada pula melalui keheningan batin. Salah satu bentuk hubungan yang paling menenangkan adalah God attachment atau keterikatan dengan Tuhan. Berdasarkan penelitian, sekitar 19,1% individu memiliki keterikatan yang aman dengan Tuhan. Dalam kondisi kelekatan ini, seseorang merasakan hubungan yang hangat, penuh kasih, dan kepercayaan mendalam.
Bayangkan ketika hati merasa yakin bahwa Allah selalu mencintai, mengampuni, serta hadir di setiap langkah kehidupan. Keyakinan seperti itu menumbuhkan rasa tenteram yang sulit digantikan oleh hal lain. Individu yang memiliki kedekatan ini umumnya memandang diri dengan penuh penerimaan, tanpa rasa takut akan penolakan dari Tuhan. Allah terasa sebagai sosok yang lembut, dekat, penyayang, dan senantiasa memberi pertolongan.
Hubungan semacam itu membuat ibadah tidak terasa berat, melainkan menjadi ruang untuk berbicara dengan penuh cinta kepada Sang Pencipta. Saat hati merasa aman di hadapan Tuhan, hidup pun menjadi lebih damai. Rasa percaya diri tumbuh, kemampuan berempati meningkat, dan setiap tantangan terasa lebih ringan karena ada keyakinan bahwa selalu ada kasih yang menyertai.
Profil Kedua: Keterikatan yang Sedikit Cemas kepada Tuhan (Slightly Anxious God Attachment)
Pernahkah kita merasa yakin akan kasih Tuhan, namun di sisi lain muncul perasaan ragu dalam diri? Seolah tahu bahwa Allah Maha Pengasih, tetapi masih ada kekhawatiran apakah diri sudah cukup baik di hadapan-Nya. Kondisi seperti ini ternyata cukup umum terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 32,2% individu memiliki God attachment yang sedikit cemas.
Dalam hubungan kelekatan tersebut, seseorang memandang Allah secara positif namun pandangan terhadap diri sendiri masih agak goyah. Ada rasa takut melakukan kesalahan, perasaan belum cukup layak, atau kegelisahan saat merasa jauh dari Tuhan. Kecemasan merupakan bentuk kepekaan spiritual yang tumbuh dari keinginan untuk selalu mendapatkan penerimaan oleh Sang Pencipta.
Ketika seseorang memiliki citra diri yang belum sepenuhnya hangat, ia cenderung keras pada diri sendiri. Saat berbuat salah, hatinya mudah penuh dengan rasa bersalah, meski hatinya tahu bahwa Allah Maha Pengampun.
Namun di balik semua kegelisahan itu, ada satu hal yang kuat menuntun, yaitu keyakinan bahwa kasih Tuhan jauh lebih besar daripada keraguan diri. Perasaan ini mengajarkan keseimbangan antara cinta dan introspeksi. Dalam setiap doa, individu belajar untuk menerima diri apa adanya, sembari berusaha tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Profil Ketiga: Keterikatan yang Menghindar terhadap Tuhan (Avoidant God Attachment)
Ada kalanya seseorang mengenal Tuhan, meyakini keberadaan-Nya, bahkan percaya pada ampunan-Nya, namun tetap merasa jauh. Karena sulit merasakan kedekatan batin. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 17,4% individu memiliki God attachment yang bersifat menghindar. Dalam kondisi tersebut, hubungan spiritual terasa datar.
Individu dengan pola kelekatan ini membayangkan Allah sebagai sosok yang pemaaf, tetapi kurang terasa hangat, penuh kasih, atau menghargai keberadaannya. Dalam doa, ada jarak yang tak mudah kita jembatani. Kalimat-kalimat ibadah mungkin tetap terucap, namun hati seakan tak tergetar oleh keintiman dengan Tuhan.
Rasa jauh tersebut sering kali muncul dari pengalaman hidup yang menumbuhkan kehati-hatian dalam mempercayai kasih. Seseorang mungkin belajar bertahan dengan menekan perasaan, bahkan dalam urusan spiritual. Akibatnya, hubungan dengan Tuhan menjadi lebih rasional daripada emosional.
Namun, jarak bukan akhir dari perjalanan iman. Dalam keheningan, setiap individu selalu memiliki kesempatan untuk mengenali kembali kehadiran Ilahi secara lebih lembut. Kadang kedekatan dengan Tuhan datang dalam kondisi ketika kita berani untuk bertanya dalam hati: “Apakah aku masih diingat oleh-Nya?” Pertanyaan tersebut sendiri sudah menjadi bentuk pencarian. Dan setiap pencarian adalah langkah menuju kedekatan yang lebih dalam.
Profil Keempat: Keterikatan yang Tidak Teratur kepada Tuhan (Dizorganized God Attachment)
Bagi sebagian orang, hubungan dengan Tuhan terasa rumit. Misalnya, hubungan penuh ketakutan, tetapi juga keinginan untuk dekat. Sekitar 15% individu mengalami God attachment yang bersifat tidak teratur atau disorganized. Dalam kondisi ini, hati diliputi kecemasan tinggi sekaligus kecenderungan untuk menjaga jarak dari Tuhan.
Individu dengan pola keterikatan seperti ini kerap memandang Allah sebagai sosok yang keras, sulit untuk kita dekati, serta kurang menolong atau menghargai keberadaan dirinya. Gambaran semacam itu menumbuhkan rasa takut yang mendalam, seolah setiap kesalahan akan berujung pada penolakan Ilahi. Di saat yang sama, citra diri pun terasa rapuh. Hal tersebut karena penuh keraguan, mudah merasa bersalah, dan kehilangan keyakinan bahwa individu pantas mendapatkan cinta oleh Tuhan.
Hubungan spiritual yang berlandaskan ketakutan tersebut sering kali membuat hati sulit tenang. Doa terasa berat karena bayangan tentang Tuhan penuh rasa gentar. Perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan bagi individu semacam ini bisa dari langkah kecil, yaitu belajar melihat sisi kasih dalam setiap ketentuan-Nya.
Profil Kelima: Keterikatan yang Sangat Cemas kepada Tuhan (Highly Anxious God Attachment)
Beberapa orang sangat ingin merasakan kehangatan dan kedekatan dengan Tuhan, namun rasa cemas yang kuat membuat hati sulit tenang. Sekitar 16,1% individu memiliki God attachment yang sangat cemas. Dalam pola ini, ada dorongan besar untuk dekat dengan Allah, namun perasaan takut dan ragu kerap menghalangi pengalaman spiritual yang nyaman.
Individu ini memandang Allah sebagai pribadi yang penuh rahmat, dekat, dan hangat, meski tingkat pengampunan atau bantuan yang terasa nyata terkadang terbatas. Sementara itu, pandangan terhadap diri sendiri cenderung negatif (mudah merasa kurang, belum cukup layak, dan sering mempertanyakan apakah diri cukup baik untuk dicintai oleh Tuhan).
Perasaan ingin dekat tetapi terbayang kecemasan menciptakan ketegangan batin. Doa dan ibadah bisa memunculkan harapan sekaligus rasa takut, seolah hati terus teruji dalam mencari kepastian kasih Ilahi. Meski begitu, keyakinan akan kebaikan dan kedekatan Tuhan tetap menjadi kekuatan yang menuntun langkah, meski harus melalui perjalanan penuh ketidakpastian.
Bagi individu dengan pola keterikatan tersebut, setiap usaha mendekat adalah latihan kesabaran dan keberanian. Dengan perlahan belajar menerima diri dan memahami rahmat Tuhan, kecemasan bisa berkurang. Sehingga keinginan untuk menjalin hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan Allah dapat terwujud.
Menemukan Kedekatan dengan Tuhan melalui Rasulullah ﷺ dan Ulama yang Saleh
Dalam perjalanan hidup, setiap individu memiliki cara tersendiri untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Rasulullah hadir di tengah masyarakat yang kehilangan arah dalam memahami Tuhannya.
Dengan kasih sayang dan hubungan yang hangat, beliau menuntun para sahabat mengenal Allah yang penuh rahmat. Rasulullah menjadi teladan hidup dari nilai-nilai Ilahi, menghadirkan cinta Tuhan. Dari kelembutan dan senyum beliau, para sahabat merasakan kasih dan kebesaran Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Nilai-nilai Rasulullah terus hidup melalui para ulama yang saleh. Para ulama’ mewarisi ilmu dan akhlak kenabian serta membimbing umat agar semakin dekat kepada Allah. Hubungan antara seorang murid dan guru agama berperan penting dalam menumbuhkan rasa aman, cinta, dan kedekatan spiritual.
Kita dapat memahami sifat-sifat Allah melalui perilaku para ulama yang hidup dengan nilai-nilai tersebut. Kedekatan tersebut membantu hati merasa tenteram dan jiwa lebih mudah menerima kebaikan Ilahi.
Kedekatan dengan Allah tumbuh dari pengalaman yang dirasakan dengan hati. Mengenal Tuhan tidak berhenti pada pengetahuan saja. Kita juga dapat mengenal Tuhan pada bagaimana kita menyelami kasih-Nya dalam hidup.
Melalui hubungan yang baik dengan Rasulullah, para ulama, dan sesama, kita dapat merasakan kehadiran Allah dalam setiap langkah kita. Saat hati terhubung dengan kasih Ilahi, hidup terasa lebih bermakna, tenang, dan penuh syukur.
Referensi:
Elwan, H. and Umarji, O. (2022). Belief in Divine Love: Discovering Spiritual Attachment Styles. [online] Yaqeen Institute for Islamic Research. Available at: https://yaqeeninstitute.org/read/paper/belief-in-divine-love-discovering-spiritual-attachment-styles [Accessed 16 Oct. 2025].











































