Mubadalah.id – Kita tahu ibadah haji adalah syariat yang Allah turunkan kepada hamba-Nya. Lebih dari itu, ibadah Haji juga masuk katagori rukun Islam yang difardhukan kepada setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk menunaikannya baik secara fisik maupun materi. Rupanya, ibadah haji telah ada sejak zaman Nabi Ibrahim. Karena itu, tak heran jika perjalanan ibadah haji kita sebut juga dengan perjalanan napak tilas Nabi Ibrahim.
Hingga akhirnya, Nabi Muhammad meneruskan seruan Nabi Ibrahim itu kepada umatnya. Menurut para ulama, haji diwajibkan pada tahun ke 9 Hijriah. Dan, saat itu, untuk pertama kalinya menunaikan ibadah haji adalah Abu Bakar Siddiq sebagai ketua rombongannya. Baru kemudian di tahun berikutnya Kanjeng Nabi melakukan ibadah haji. Pertanyaannya adalah bagaimana jika orang yang mau naik haji tapi tidak bisa haji?
Mengundang Tuhan ke Dalam hati
Syahdan, jika ada yang bertanya, siapapun pasti akan menjawab berkeinginan berangkat naik haji. Namun apa boleh buat jika fisik dan materi tak mendukung. Sebuah ungkapan sufi menyatakan: “
“Berkunjung ke Mekah itu adalah berkunjung ke rumah Tuhan. Sungguh rugi orang yang berkunjung ke rumah kekasih tetapi tidak disambut oleh kekasih. Rugi orang yang berkunjung ke rumah kekasih lantas tidak menemui kekasih. Kalau kamu tidak mampu berkunjung ke rumah kekasih, undanglah kekasih ke rumah kamu.”
Dari sini sudah jelas, kata Prof. Quraish Shihab, sekiranya kita tidak bisa haji, maka undanglah Tuhan ke rumah hati anda (kalbu). Hampir senada dengan pernyataan sufi, apa yang al-Ghazali ungkapkan dalam kitab Ya Waladi (wahai anakku): “Nak seandainya sultan mau datang ke rumah kamu apa yang akan kamu lakukan? Kata Al-Ghazali, “Saya yakin kamu akan membersihkan rumahmu, dan menyiapkan segala sesuatu supaya terlihat indah.”
Sebenarnya kalau kita mau merinci, hampir semua kegiatan haji, baik yang wajib atau yang sunnah, itu berkaitan dengan Nabi Ibrahim dan keluarganya. Yaitu, tawaf, sa’i, arafah, melontar jumrah dan lainnya. Semuanya mengikuti jejak Nabi Ibarahim.
Mengapa Harus Nabi Ibrahim?
Tentu saja bukan tanpa alasan kenapa kita harus mengikuti jejak Nabi Ibrahim. Quraish Shihab mengatakan, sebenarnya ada tiga keistimewaan Nabi Ibrahim yang paling menonjol yang mestinya harus dihayati oleh mereka yang pergi haji, dan dihayati oleh orang yang mau haji tapi tidak bisa haji.
Pertama, Nabi Ibrahim menemukan Allah melalui pengalaman rohani. Sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an surah Al-An’am [6]: 76-79:
“Ketika malam-malam telah menjadi gelap gulita, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam. Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “sungguh, jika Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
“Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, “inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
Jika Nabi-Nabi sebelumnya memperkenalkan Tuhan kepada umatnya sebagai Tuhan kamu, Tuhan suku, Tuhan bangsa, berbeda dengan Ibrahim yang mengumandangkan bahwa Tuhan itu adalah Tuhan seru sekalian alam. Tuhan segala sesuatu yang menyertai manusia, baik dalam keadaan sadar maupun tidur. Itu sebabnya, Nabi mengajarkan pada saat kita mau tidur harus membaca doa.
Nabi Ibrahim Percaya pada Hari Kiamat
Kedua, soal kepercayaannya kepada hari kemudian (kiamat). Memang, tak kita temukan dalam al-Qur’an seorangpun yang meminta kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya bagaimana Allah menghidupkan yang mati. Tidak ada. Satu-satunya Nabi yang berani meminta kepada Allah untuk membuktikannya adalah Nabi Ibrahim. Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ ٱلطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ ٱجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ٱدْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَٱعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu, kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketauhilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Sejarah Mengkurbankan Manusia
Ketiga, pada masa Nabi Ibrahim (bahkan sebelum dan sesudahnya), orang percaya pada dewa, Tuhan, dan sebagainya. Lalu mereka mempersembahkan sesajen (kurban) pada Tuhan. Tetapi, sebagian dari mereka mempersembahkan sesaji dalam bentuk manusia. Misalnya, di Babilonia banyak bayi yang dipersembahkan bahkan tak segan-segan menyembelihnya demi berkurban.
Begitu pun di Mexico. Dalam sejarah konon suku Aztec mempersembahkan pemuka agamanya kepada dewa perang (yang paling hebat mereka serahkan). Di Mesir juga sama (bahkan sesudah masa Nabi). Mereka tetap mempertontonkan perbuatan kejinya. Dalam hal ini, di Mesir, yang mereka cari dan dibuat persembahan adalah gadis-gadis cantik.
Baru kemudian berakhir pada masa Sayyidina Umar dengan tertulisnya surat untuk sungai Nil. “Hai Nil, kalau kamu melimpah karena gadis tidak perlu. Tapi kalau kamu melipmpah karena atas izin Allah dan karunianya berhentilah engkau meminta kurban.” Tapi yang jelas, kenyataan ini sudah menunjukkan bahwa, masa Ibrahim dan sesudahnya ada orang yang mempersembahkan manusia sebagai kurban.
Iya benar. Sejak masa Nabi Ibrahim juga sudah timbul pendapat, kesadaran, bahwa sebenarnya manusia terlalu mahal untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Itu artinya, kata Quraish Shihab, jangan jadikan manusia sebagai sesaji, dan jangan kurbankan manusia untuk Tuhan.
Sisi Lain dari Nabi Ibrahim
Melalui Nabi Ibrahim, Allah memberi pelajaran pertama, “Hai Ibrahim, keliru orang-orang yang berkata bahwa manusia terlalu mahal untuk dipersembahkan pada Tuhan. Tidak! Kalau Tuhan minta, apapun harus kamu serahkan.” Hingga akhirnya, Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya (Nabi Ismail).
Sebagai manusia biasa, bisa dibayangkan, dari penantian lama menunggu hingga berusia 90 tahun Ismail baru lahir. Anak yang menjadi harapan dan sangat ia banggakan tiba-tiba disuruh sembelih dengan tangan sendiri. Sedikitpun Nabi Ibrahim tidak menawar perintah itu. Hingga kemudian Ismail dipanggil dan Nabi Ibrahim berkata: “Hai anakku! Saya mimpi menyembelih kamu”. Dengan patuhnya Ismail berkata: “Silahkan laksanakan.”
Ini membuktikan bahwa, tidak ada yang mahal jika Tuhan memintanya. Dan, untuk menunjukkan bahwa manusia tidak boleh kita jadikan sebagai sesaji, Nabi Ismail kemudian diganti dengan seekor domba. Bukan karena terlalu mahal, melainkan karena Allah sangat mencintai manusia.
Dari sini kita paham, bahwa orang yang pergi haji seharusnya harus menghayati makna-makna ini. Sekali lagi, kalau anda ingin mengundang Tuhan ke rumah anda, hayatilah nilai-nilai itu (jejak-jejak Nabi Ibrahim). Hayati setiap langkah, dan hayati setiap kegiatan ibadah haji dari segi substansinya. Wallahu a’lam bisshawab. []