Mubadalah.id – Beberapa malam yang lalu, ingatan-ingatan tentang masa remaja saya muncul ke permukaan setelah membaca beberapa artikel mengenai kekerasan seksual di lingkungan institusi pendidikan. Salah satunya adalah tentang seorang guru yang beberapa kali kedapatan ‘iseng’ menarik tali beha di bagian punggung teman-teman perempuan saya, saat beliau berjalan keliling kelas mengecek tugas para murid. Pada waktu itu, respon yang umum dari para korban hanya berupa, “Aduh, sakit, Pak!”, lantas diiringi dengan gelak tawa para murid laki-laki yang menganggap keisengan guru tersebut merupakan sebuah tontonan yang menghibur.
Lalu, ingatan lain sewaktu saya masih kelas 4 SD menyusul keluar, tentang momen di mana seorang laki-laki berusia 20-an yang tidak saya kenal berkata, “Wih, kamu cantik banget pake make-up gini! Kayak udah gede.” Pandangan matanya genit dan menyeramkan.
Malam itu saya memang akan menampilkan tarian dan nyanyian pada acara perayaan 17 Agustus di kampung, makanya saya harus berdandan dan mengenakan kostum yang cukup pendek yang dibalut dengan stocking warna hitam. Setelah mendapat komentar creepy tersebut, saya langsung berlari mencari kakak asuh saya.
Dua kejadian di atas mungkin terkesan remeh di masa itu, bukan sesuatu yang patut dirisaukan apalagi diadukan ke orangtua untuk ditindaklanjuti. Namun pada saat kesetaraan gender dan isu kekerasan seksual ramai diperjuangkan seperti sekarang ini, sudahkah kita secara konsisten menggugat kejadian-kejadian yang dulu dianggap remeh seperti ini? Ataukah kita masih memandangnya sebelah mata, tidak menanggapinya sebagai tanda dari ketimpangan relasi kuasa antar laki-laki dan perempuan di masyarakat?
Menurut “15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan” yang didesain oleh Thoeng Sabrina dari Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan, salah satu dari bentuk kekerasan seksual adalah pelecehan seksual. Hal ini meliputi tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.
Termasuk juga menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa dua contoh yang telah disampaikan di atas memenuhi definisi pelecehan seksual. Meski tidak dengan kekerasan yang menyakitkan, juga tidak meninggalkan luka fisik yang serius atau trauma mendalam, bentuk-bentuk pelecehan seksual seperti ini tetap memerlukan tanggapan yang serius.
Ketika salah satu dari kita mengalami pelecehan seksual, melakukan perlawanan sangat dianjurkan. Hal yang paling mudah dilakukan adalah berteriak, marah, atau menegur dengan keras. Sebisa mungkin kita harus menarik perhatian sekitar agar pelaku berada di posisi tidak berkuasa. Saya selalu kagum saat membaca cerita-cerita di mana korban pelecehan seksual mampu melawan pelaku, baik dengan ucapan yang berani atau dengan tindakan fisik yang cukup menimbulkan efek jera.
Jika sudah terlanjur mengalami pelecehan seksual tanpa sempat melawan, hal yang pertama harus dilakukan adalah bercerita kepada orang lain yang terpercaya. Orang-orang terdekat kita bisa menjadi pilihan, jika kita masih ragu untuk melapor ke pihak berwenang. Para penyintas berhak mendapatkan banyak support dan pendampingan yang dapat mengakomodir pemulihan dari rasa tidak nyaman yang kita alami.
Tentu akan selalu lebih baik mencegah daripada mengobati, khususnya dalam konteks kekerasan seksual. Upaya preventif kecil yang bisa kita lakukan adalah melakukan kampanye terus-menerus melalui media sosial pribadi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan sekitar kita tentang jenis-jenis kekerasan seksual.
Postingan instagram dan story atau bahkan tweets kita bisa menyebar dalam waktu singkat di zaman serba cepat sekarang ini, sehingga informasi tentang apa saja bentuk-bentuk pelecehan seksual bisa lebih mudah meluas. Dengan ini, diharapkan kewaspadaan dan kepedulian masyarakat juga menguat.
Relasi kuasa yang timpang antar gender juga menjadi akar dari terjadinya pelecehan seksual. Hal inilah yang harus kita gugat terus-menerus. Yang harus selalu diingat adalah bahwa pelaku bukan penguasa ruang publik maupun ruang privat kita, kita tidak harus tunduk pada kontrol yang mereka tunjukkan atau lakukan. Diam tanpa melakukan apapun sudah bukan pilihan lagi. Menerapkan zero tolerance adalah keniscayaan, dan calling out harus selalu konsisten dilakukan. []