Mubadalah.id – “Kemarilah. Singgah dulu sebentar. Perjalananmu jauh. Tak ada tempat berteduh….” Saya menulis artikel ini dengan berulang-ulang mendengarkan lagu Ghea Indrawari; Jiwa yang Bersedih. Sambil berpikir-pikir, bermenung-menung, lagu ini kok rasanya cocok menggambarkan jiwa laki-laki yang (seharusnya) bersedih dalam belenggu patriarki.
Mungkin tidak banyak yang menyadari, kalau patriarki sebenarnya juga menyakiti laki-laki. Sadar atau tidak, patriarki tidak hanya menindas perempuan. Namun, juga membebani laki-laki. Dalam belenggu patriarki, kita sebenarnya ibarat jiwa-jiwa yang bersedih dalam bias-bias maskulinitas.
Tangis Laki-laki yang Tak Kunjung Pecah
“Ho-oh. Menangislah. Kan kau juga manusia. Mana ada yang bisa. Berlarut-larut. Berpura-pura sempurna….”
Di tongkronganku sewaktu remaja dulu ada istilah “grup air mata.” Istilah ini untuk menyebut teman-teman laki-laki yang ketahuan pernah menangis karena diputisin pacar. Istilah “grup air mata” jelas bukan polarisasi untuk memberi suport, melainkan lebih ke ejekan; “Laki-laki kok nangis!” Lebih kurang ingin menyampaikan demikian.
Kalau teman pas nyampai tongkrongan, lantas yang lain nyambut; “Member grup air mata tiba, guys.” Ada rasa malu tersendiri yang terpancar dari wajah mereka. Rasa malu bukan karena putus pacaran, namun karena ketahuan nangis.
Mau percaya atau tidak, ada begitu banyak momen (tidak hanya soal putus cinta) yang menyesak hati laki-laki untuk menangis. Namun, dalam banyak momen juga, tangis laki-laki tak kunjung pecah. Kebanyakan laki-laki memilih menahan air matanya sekuat mungkin. Mengapa? Sebab, sejak kecil, masyarakat mengajarinya untuk jangan sampai mengeluarkan air mata; “Kamu tuh laki. Laki-laki tak boleh menangis.”
Apa yang Nadya Karima Melati jelaskan dalam Membicarakan Feminisme, perihal maskulinitas laki-laki saya rasa menarik untuk mendedah kasus ini. Bahwa, menurutnya, kelelakian dan pengakuan masyarakat sebagai lelaki adalah sebuah martabat yang harus laki-laki pertahankan. Jika kelelakian (kemaskulinan) lelaki tercoreng, maka dia akan malu.
Tangisan yang sering terpersepsi sebagai tanda kelemahan, dalam konstruksi gender maskulin, adalah sesuatu yang sangat tabu bagi laki-laki. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi, laki-laki tidak boleh menangis. Dia harus tetap (berpura-pura) tegar, bukan karena benar-benar kuat, melainkan agar kemaskulinannya tidak tercoreng. Dalam jiwa terdalamnya ada sesak, namun dalam alam pikirannya ada keyakinan; “Malu tahu kalau laki sampai menangis.”
Jadi, dalam belenggu patriarki, mau sesedih apapun laki-laki, “oh, jangan menangis. Kau itu si maskulin. Harus bisa tetap (berpura-pura) tegar.” Konstruksi patriarki mengajarkan laki-laki untuk terus berpura-pura kuat, agar maskulinitasnya tidak tercoreng.
Jiwa Laki-laki yang Bersedih dalam Belenggu Patriarki
“Sampaikan pada jiwa yang bersedih. Begitu dingin dunia yang kauhuni….”
Konstruksi patriarki menjadikan laki-laki sebagai pemilik tunggal kejantanan. Dia berbeda dengan perempuan yang feminin, dan terpandang lemah. Dia adalah si maskulin yang harus selalu kuat. Gender yang paling kuat.
Apakah laki-laki perlu berbangga akan citra maskulin ini? Saya jawab tidak. Mengapa? Karena, bias maskulinitas tidak hanya merugikan perempuan yang selalu dilemahkan oleh konstruksi patriarki. Namun, itu juga menyerang kejiwaan laki-laki yang selalu dituntut untuk kuat. Padahal, dalam realitasnya laki-laki tidak selalu kuat. Tapi ironisnya, konstruksi patriarki memaksanya untuk terus (berpura-pura) menjadi kuat.
Tanpa kita sadari, ideologi maskulin sukses menjebak laki-laki pada, apa yang Johan Galtung sebut sebagai, kekerasan struktural yang tidak terlihat secara langsung. Yaitu, sejenis kekerasan yang kasat mata, sebab tertutupi oleh pemakluman struktur masyarakat yang demikian.
Ketika ingin menangis misalnya, untuk alasan maskulinitas, laki-laki akan menahan air matanya. Seberat apapun beban jiwanya, dia akan berusaha menekannya. Sebab, sejak kecil dirinya belajar bahwa laki-laki harus kuat, tegar, pantang menangis. Oleh karena doktrin ini juga, ketika sesak hati tak lagi terbendung, tangis pun pecah, bukan kelegaan yang dia dapatkan, melainkan rasa bersalah (malu) pada diri yang tercorang kemaskulinannya.
Sehingga hanya perkara ingin menangis, tanpa sadar telah melakukan self-destruction. Dan, kita tak sadar bahwa ini kekerasan terhadap diri, sebab sejak kecil struktur masyarakat adalah demikian. Alih-alih memikirkan jiwa yang terbelenggu, yang menangis saja enggan karena malu, kita malah memikirkan cara untuk mendapat penghormatan kemaskulinan kembali.
Itu baru perkara ingin menangis loh. Belum pada ranah kehidupan yang lain. Seperti, bagaimana beban yang si maskulin rasakan, ketika sebagai penafkah pendapatannya lebih kecil dari gaji istrinya, ketika sebagai pelindung justru kekuatannya lebih lemah dari istrinya, ketika sebagai imam dia malah kalah pintar dari istrinya. Bagaimana? Apa yang si maskulin rasakan? Frustasi, jelas. Dia frustasi karena tidak bisa menjadi laki-laki yang ideal berdasarkan konstruksi ideologi gender maskulin.
Maka dalam lintasan peradaban yang patriarki, sesungguhnya, tidak hanya ada sejarah penindasan terhadap perempuan, namun juga ada sejarah para laki-laki yang frustasi jiwanya. Sejarah dari si maskulin yang tak sadar kalau jiwa-jiwa mereka sebenarnya sering bersedih, akibat patriarki yang membuat dunia menjadi begitu dingin menyiksa jiwa manusia.
Sampai Kapan Kesedihan Ini?
“Jika tak ada tempatmu kembali. Bawa lukamu biar aku obati. Tidak kah letih kakimu berlari. Ada hal yang tak mereka mengerti….”
Dalam konstruksi patriarki, masyarakat terlampau kaku memisahkan sifat maskulin sebagai identitas laki-laki, dan feminin punya perempuan. Bias konstruksi patriarki ini tidak hanya menindas perempuan yang dipaksa untuk selalu lemah.
Namun, itu juga memberi dampak frustasi kepada laki-laki yang selalu ingin mempersepsi dirinya kuat, padahal ada titik-titik kehidupan di mana dirinya lemah. Sehingga, ketika dirinya kok malah lemah, tidak laki-laki ideal yang sepenuhnya maskulin, maka dirinya merasa seakan tak punya tempat dalam dunia (patriarki) ini.
Sifat maskulin dan feminin pada dasarnya akan selalu ada dalam diri manusia. Entah laki-laki atau perempuan memiliki dua sifat ini. Bahkan, Tuhan pun menyifati dirinya dengan dua sifat ini; Mahapenyayang (feminin) dan Mahaperkasa (maskulin). Lantas, sesombong itukah kita untuk mempersepsi diri sebagai pemilik mutlak kemaskulinan?
Sampai kapan kita akan meneruskan kepura-puraan maskulin ini? Tidakkah jiwa kita letih dalam dunia yang begitu dingin ini?
Mari “Beri waktu (diri kita) tuk bersandar sebentar…” dengan mengakui bahwa laki-laki tidak sepenuhnya maskulin, dia juga punya sisi feminin (sebagaimana ini juga berlaku bagi perempuan). Dan, “Selama ini kau hebat. Kau pasti kan didengar….” Pengakuan atas realitas ini tak akan menjatuhkan identitas kelelakian. Sebab, dalam realitas yang setara gender, ada kesadaran kalau dua sifat ini bisa ada dalam diri setiap manusia.
Inilah obat luka bagi jiwa yang bersedih dalam belenggu patriarki. Meninggalkan kefanatikan ideologi gender maskulin, menuju kesadaran kesetaraan gender. Dalam kesadaran ini, kalau kau ingin menangis, maka menangislah. Itu hal yang wajar untuk laki-laki lakukan. Kan laki-laki juga manusia. []