• Login
  • Register
Selasa, 28 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kawin Anak Bukanlah Kisah yang Romantis

Kawin anak akan memutus akses perempuan terhadap pendidikan, menghambat partisipasi mereka dalam pembangunan berkelanjutan, dan melemahkan perempuan untuk dapat mengontrol sendi-sendi kehidupannya.

Andi Nur Faizah Andi Nur Faizah
16/04/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Kawin Anak

Kawin Anak

147
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Waktu saya masih kelas 6 SD, ada adik kelas saya yang sudah menikah. Bayangkan dia kelas 3 SD dan dipaksa menikah. Waktu itu dia dalam kondisi belum menstruasi. Dia dipaksa menikah dan disuntik untuk mempercepat mensturasi. Ini tidak saja terjadi pada satu orang, tapi ada anak perempuan lainnya yang juga mengalami hal yang sama.”

Mubadalah.id – Kisah itu saya dengar dari salah satu peserta pelatihan yang diselenggarakan Rahima, yang dihadiri oleh perempuan dari Jawa Timur. Dalam setiap sesi, mereka menceritakan bagaimana pengalaman anak perempuan di desanya, yang tidak mendapatkan kesempatan dan akses untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Anak-anak perempuan dinikahkan dalam usia yang sangat dini. Hak mereka terenggut dalam realitas yang kerap tak adil pada perempuan.

Beberapa hari setelah pelatihan tersebut, saya dikejutkan dengan sebuah website yang bernama Aisha Weddings. Website itu membuka beberapa jasa, yakni poligami, kawin siri, dan nikah dini. Dalam flyer Aisha Weddings, mereka mencantumkan foto anak perempuan dengan tulisan “Mencari calon suami yang baik menurut Islam? Biarkan kami memilih suami anda untuk anda! Kirimkan saja foto dan biodata anda. Kami akan mencari suami yang baik untuk menjagamu”. Bayangkan, orang-orang di balik Aisha Weddings menyediakan jasa sedemikian rupa dengan iming-iming pernikahan itu indah.

Kasus Kawin Anak yang Tak Kunjung Usai

Narasi pernikahan yang indah dan membahagiakan memang sekilas tidak memperlihatkan masalah. Tapi ini menjadi problem besar ketika menggadang-gadang keindahan pernikahan dengan mendorong anak-anak untuk segera melaksanakan pernikahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak, seperti akses yang buruk atas pendidikan bagi anak perempuan, motif ekonomi, maupun narasi tafsir agama yang tidak ramah gender (Jurnal Perempuan edisi 88, 2016).

Dampak yang ditimbulkan dari kawin anak juga sangat parah, seperti dampak fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Anak perempuan korban kawin anak berpotensi lima kali lebih besar meninggal dalam persalinan, 40% berisiko terlahir anak stunting, terputus akses pendidikannya, masuk ke dalam siklus ketidakadilan gender dan siklus kemiskinan berkelanjutan dalam masyarakat (KPPPA, 2017). Potret inilah yang menjadi realitas sekaligus bukti nyata, bahwa pernikahan yang terjadi pada perempuan usia anak hanya akan menimbulkan kesengsaraan.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

Baca Juga:

Jalan Tengah Pengasuhan Anak

Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

Kisah peserta di Jawa Timur maupun kasus website Aisha Weddings secara jelas menunjukkan bahwa kawin anak masih terjadi hingga hari ini. Ya, hari ini di tahun 2021. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan UU No. 16 tahun 2019 tentang batas usia pernikahan 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, kasus kawin anak masih terus menggema.

Bayangkan saja, selama pandemi Covid-19 angka kawin anak meningkat drastis. Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur (NTB) saja, sudah terjadi 500 kasus perkawinan anak yang terlapor (BBC Indonesia, 2020). Sementara pada Januari hingga Juni 2020, Badan Peradilan Agama Indonesia menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin dengan pemohon di bawah usia 19 tahun.

Isu kawin anak sebetulnya sudah diperbincangkan sejak lama oleh perempuan Indonesia. Mereka sudah membincang kawin anak dalam Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928 (saat ini direduksi menjadi “hari Ibu”). Sudah dari dulu perempuan Indonesia melakukan perlawanan terhadap perkawinan anak. Artinya, perjuangan melawan kawin anak sudah berlangsung hingga 9 dekade.

 

Kawin Anak

 

Memahami Situasi Perempuan yang Beragam

Ada saja yang melihat kalau pernikahan di usia dini itu indah. Ada anak si tokoh A, menikah di usia 17 tahun (usia remaja), masuk dispensasi nikah, lalu menggelar pernikahan dengan indah, diliput oleh media dan sukses ramai diperbincangkan. Belum lagi dengan narasi ketampanan dan kecantikan si mempelai. Tidak berhenti sampai di situ. Kehidupan pernikahan mereka juga diunggah di media sosial, menunjukkan romantisme kehidupan yang sangat bahagia. Sontak membuat remaja lainnya terpesona dan terinspirasi untuk segera menikah.

Masalahnya begini, situasi perempuan itu beragam. Ada kondisi ekonomi, pendidikan, dan budaya yang berbeda-beda. Tidak semata-mata seperti kehidupan si anak tokoh A bersama istri yang kehidupan ekonominya mapan dan terlihat “bahagia selama-lamanya”. Ada banyak perempuan korban kawin anak yang menderita kehidupannya, terputus akses pendidikannya, mengalami kekerasan, terbebani dengan tuntutan ekonomi, atau bahkan meninggal karena belum siap fungsi reproduksinya untuk melahirkan anak.

Tidak jarang, perempuan korban kawin anak harus menjadi tulang punggung keluarga. Ditinggalkan suami dan harus mencari nafkah untuk anak-anaknya. Sementara perempuan itu sendiri tidak memiliki skill untuk bekerja, karena terputus dari akses pendidikan. Mereka hidup dalam kemiskinan dan beban hidup yang berat.

Kembali lagi pada kisah peserta dari pelatihan yang saya hadiri itu. Banyak dari mereka yang menceritakan bahwa teman-teman di kampungnya putus sekolah karena dikawinkan. Ada yang bahkan disuntik sejak 3 SD agar segera menstruasi yang menjadi penanda baligh bagi perempuan. Apabila anak perempuan melanjutkan pendidikan, di usia remaja mereka justru distigma karena belum punya tunangan dan belum menikah.

Maka, pahamilah bahwa situasi perempuan itu beragam. Asah rasa empati kita untuk memosisikan diri dan merasakan pengalaman perempuan yang terpinggirkan. Pernikahan di usia anak bukanlah cerita indah nan romantis. Karena pernikahan itu butuh kesiapan usia, fisik, mental, maupun ekonomi.

Kawin anak akan memutus akses perempuan terhadap pendidikan, menghambat partisipasi mereka dalam pembangunan berkelanjutan, dan melemahkan perempuan untuk dapat mengontrol sendi-sendi kehidupannya. Mari ambil peran untuk mencegah perkawinan anak, dimulai dari lingkup terdekat kita. []

 

 

Via: https://www.perempuanpeduli.com/kawin-anak-itu-bukan-kisah-romantis/?fbclid=IwAR3VOVwlkShVW5Y1-araXCJSLCl19UaZsqTd2jEZsjWFP-juuqDdMPYFCAc
Tags: Cegah Kawin Anakkeluargaperempuanperkawinan anakrahima
Andi Nur Faizah

Andi Nur Faizah

Bekerja di Swara Rahima Jakarta

Terkait Posts

Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

28 Maret 2023
Tradisi di Bulan Ramadan

Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

28 Maret 2023
Flexing Ibadah

Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Akhlak dan perilaku yang baik

Pentingnya Memiliki Akhlak dan Perilaku yang Baik Kepada Semua Umat Manusia

26 Maret 2023
kitab Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

26 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tradisi di Bulan Ramadan

    Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Pinatih: Sosok Ulama Perempuan Perekat Kerukunan Antarumat di Gresik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Piagam Madinah: Prinsip Hidup Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puasa Dalam Perspektif Psikologi dan Pentingnya Pengendalian Diri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist