• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Kawin Tangkap dan Ruang Aman bagi Perempuan Sumba

Bahaya penculikan kawin tangkap memang kerap mengintai gadis-gadis Sumba. Ironis aksi demikian membawa nama budaya. Lagi-lagi budaya menjadi kambing hitam untuk alat pelanggengan patriarki

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
05/09/2022
in Keluarga, Rekomendasi
0
Kawin Tangkap

Kawin Tangkap

463
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Seorang perempuan Sumba tengah menanti calon suami yang tak kunjung datang. Padahal, kesepakatan sudah mereka buat, dan adat telah disiapkan. Dalam kebingungan, betapa terkejutnya perempuan itu, ketika ada lelaki lain (bukan calon suami) tiba-tiba datang bersama tiga pemuda lain dan langsung membawanya dengan paksa. Si gadis teriak, berontak, namun tubuh lemahnya jelas tak dapat melawan kekuatan sekelompok pemuda. Orang-orang hanya bisa melihat si perempuan korban kawin tangkap mereka bawa dengan paksa.

Cerita itu bukan karangan bebas saya. Melainkan, berdasarkan satu kejadian nyata yang belum lama ini terjadi. Video yang memperlihatkan seorang perempuan menjadi korban kawin tangkap pada Senin, 25 Juli 2022, di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi viral di berbagai media sosial.

Sebagaimana melansir dari Tribunnews, bahwa kejadian itu berlatar motif pelaku yang katanya ingin mengangkat derajat korban dan keluarga yang malu karena calon suaminya tidak datang padahal adat sudah mereka siapkan. Meski alasan pelaku bahwa aksinya mereka lakukan dengan niat mengangkat kembali martabat korban, namun pada dasarnya aksi kawin tangkap dalam video itu merupakan sikap yang keliru.

Kawin Tangkap Bukan Hal Baru

Kejadian kawin tangkap bukan hal baru di Sumba. Pada Juni 2020 juga pernah viral video kawin tangkap di Anakalang, Sumba Tengah. Seorang perempuan berusia 21 tahun yang sedang berada di rumah tetangga tiba-tiba mereka tangkap untuk dinikahi dengan paksa. Dan berbagai kejadian kawin tangkap yang lain, baik yang terdokumentasi maupun tidak.

Bahaya penculikan ini memang kerap mengintai gadis-gadis Sumba. Ironis aksi demikian membawa nama budaya. Lagi-lagi budaya menjadi kambing hitam untuk alat pelanggengan patriarki.

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Kawin tangkap dengan kekerasan, sebagaimana dalam video yang belum lama ini viral, jelas tidak memperlihatkan nilai luhur budaya. Sebab, namanya adat atau tradisi yang merupakan warisan luhur kearifan lokal bukan kita lakukan dengan cara yang arogan, asal buat, datang begitu saja menarik paksa untuk menikah, dan mengatasnamakan budaya. Perilaku demikian bukan tradisi, melainkan sikap kekerasan dengan kedok budaya.

Kawin tangkap atau Piti Rambang memang sudah men-tradisi dalam masyarakat Sumba. Pelaksanaan Piti Rambang sebenarnya tidak sebrutal seperti dalam video yang viral. Bahkan, sebenarnya kawin mereka lakukan atas dasar kesepakatan pihak laki-laki dan perempuan.

Mereka yang menangkap mengenakan pakaian adat, dan berpura-pura menculik si perempuan. Pihak keluarga perempuan juga pura-pura mengejar dan mencari si perempuan. Sehingga, prosesi menculik perempuan tidak lebih dari adegan seremoni dalam tradisi pernikahan Sumba.

Pelanggengan Kekerasan terhadap Perempuan

Sebagaimana penjelasan B. Soelarto dalam Budaya Sumba (Jilid I) bahwa, “…pada masa kini bentuk perkawinan ini (kawin tangkap) hanyalah suatu sandiwara saja. Mungkin dimaksudkan untuk memuliakan nilai-nilai adat perkawinan yang dikembangkan oleh nenek-moyang….”

Namun tidak bisa kita pungkiri ada saja oknum yang menggunakan budaya untuk melanggengkan patriarki. Oknum yang memanfaatkan celah budaya untuk pembenaran perilaku kekerasan. Sehingga, terjadi kasus perempuan benar-benar mereka culik menjadi korban peristiwa ini.

Sebagaimana yang pernah saya jelaskan dalam esai “Membincang Feminisme Nusantara, Mungkinkah?” bahwa tidak dapat kita pungkiri kalau ada kebiasaan di Nusantara yang tidak ramah perempuan. Kebiasaan yang para oknum langgengkan untuk pembenaran sikap patriarki. Dalam kasus ini adalah pelanggengan kekerasan kawin tangkap yang membuat perempuan menjadi korban nikah paksa. Praktek ini jelas tidak baik dan perlu ada upaya pencegahan.

Sayangnya, dalam kasus kebrutalan yang terjadi tanpa kesepakatan pihak perempuan sehingga perempuan benar-benar diculik, sebagaimana Elanda Welhelmina Doko, I Made Suwetra, dan Diah Gayatri Sudibya dalam penelitian mereka tentang “Tradisi Kawin Tangkap (Piti Rambang) Suku Sumba di Nusa Tenggara Timur,”

Mereka menjelaskan bahwa, “…ada yang terima dan tidak untuk melakukan kawin tangkap (Piti Rambang) tersebut. Akan tetapi hukum adat Suku Sumba tidak melarang bentuk perkawinan ini, dapat kita lihat dari kebiasaan masyarakat di sana yang sudah mengatur bagaimana tahapan-tahapan penyelesaian kawin tangkap….”

Penyelesaian Kawin Tangkap

Adapun tahapan-tahapan penyelesaian Piti Rambang, yaitu tahapan pencarian adalah proses mencari anak perempuan yang diculik, tahapan tutup malu di mana pihak laki-laki mengirim juru bicara adat kepada keluarga perempuan, tahapan masuk minta untuk meresmikan dan mengikat hubungan kekeluargaan antara pihak laki-laki dan perempuan, tahapan tikar adat merupakan pemberian mas kawin, dan tahapan agama bagi masyarakat yang telah memeluk agama untuk meresmikan pernikahan secara agama.

Adat dalam hal ini seakan hanya menjadi alat yang mau tidak mau harus membenarkan perilaku kekerasan terhadap perempuan dalam kawin tangkap. Alih-alih merumuskan sanksi adat bagi pelaku kekerasan kawin tangkap yang dilakukan tanpa kesepakatan dengan perempuan, yang ada malah rumusan adat berpotensi melanggengkan perbuatan tersebut. Tidak heran jika kasus demikian berulang kali terjadi.

Tradisi harus berdasarkan pada nilai luhur kearifan lokal, bukan perbuatan kekerasan yang menekan manusia bernama perempuan. Sehingga, para praktisi adat Sumba harus sadar bahwa kita membutuhkan reformulasi adat yang bukan seakan membenarkan kawin tangkap. Tapi harus tegas memberi sanksi adat bagi pelaku kawin tangkap tanpa persetujuan pihak perempuan atau dengan kata lain pelaku penculikan berkedok budaya.

Jika dalam praktek kawin tangkap sudah terdapat kesepakatan akan menikah antara laki-laki dan perempuan, sehingga prosesi penangkapan perempuan tidak lain hanya sekadar seromoni tradisi (pura-pura), maka hal ini tidak mengapa. Namun, pada kasus kawin tangkap yang benar-benar terjadi tanpa kesepakatan perempuan, jelas ini merupakan sikap kekerasan. Dalam hal ini, adat Sumba harus memiliki rumusan adat yang mampu melindungi keamanan perempuan Sumba.

Jika adat setempat tidak mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kawin tangkap, maka hukum yang akan bicara untuk menjaga keamanan perempuan.

Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Secara hukum, kawin paksa, berdasarkan pada UU TPKS No. 12 Tahun 2022 Pasal 4 (1) Poin e, termasuk kategori tindak pidana kekerasan seksual. Dan, sebagaimana penjelasan UU TPKS Pasal 10 (2) bahwa salah satu kategori perkawinan paksa adalah “pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktek budaya.” Jadi, berdasarkan UU TPKS, kawin paksa yang mengatasnamakan budaya juga masuk kategori kekerasan seksual. Sehingga, jika merujuk pada hukum ini, maka penyelesaian kawin tangkap bisa dilakukan dengan proses hukum.

Pihak Dewan Adat Sumba dan pemerintah setempat harus punya sikap tegas. Lalu ada rumusan sanksi adat pada pelaku kekerasan terhadap perempuan dalam kawin tangkap. Sehingga, dapat melawan oknum-oknum yang melakukan kekerasan dalam kawin tangkap tanpa kesepakatan dengan si perempuan. Atau dengan kata lain penculikan berkedok budaya. Hal ini merupakan upaya mewujudkan ruang aman bagi perempuan Sumba dalam lingkungannya. []

Tags: adatBudayaKawin TangkapKekerasan Berbasis GenderperempuanperkawinanSumba
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version