Mubadalah.id – Kebaikan dan kemaslahatan adalah pondasi dan kompas yang memandu jalan suami dan istri dalam membiduk rumah tangga agar sampai pada tujuan pernikahan, yaitu kebaikan dunia (fi al-dunya hasanah) dan kebaikan akhirat (fi al-akhirah hasanah).
Tujuan itu seyogianya menjadi tujuan bersama antara suami dan istri, sehingga bisa dipikul berdua secara utuh
Di samping empat tujuan yang disebutkan Nabi Saw dalam pernikahan, yaitu: ketenteraman finansial, sosial, biologis, dan moral-spiritual.
Tentu saja ada tujuan-tujuan lain, seperti keinginan memperoleh keturunan, memperkuat dakwah, dan lain-lain.
Semua tujuan ini sah dan bisa dibenarkan selama tidak dilakukan dengan menegasikan kemanusiaan pasangan dan mencederai visi Islam yang rahmat li al-‘alamin dan misinya untuk mewujudkan akhlak karimah.
Misalnya dengan pemaksaan kehendak dan segala bentuk kekerasan, serta kezaliman. Kezaliman dalam Islam hukumnya haram, bahkan berlawanan dengan akhlak mulia yang menjadi pondasi moral dalam pernikahan (mu’asyarah bi al-ma’ruf).
Tujuan-tujuan ini akan lebih kokoh lagi jika kita kaitkan dengan motivasi hidup dalam Islam, yaitu mencapai keridaan Allah Swt untuk membaktikan diri demi kemaslahatan bersama dalam keluarga (dzurriyyat thayyibah).
Kemudian, kebaikan masyarakat dan umat (khair ummah), serta kemakmuran negara (baldat thayyibah) dan kerahmatan semesta (rahmat li al-‘alamin).
Menikah: Sarana Kebaikan
Menikah adalah sarana bagi seseorang untuk melakukan kebaikan, tetapi juga bisa berubah menjadi sarana melakukan keburukan.
Di dalam fikih, hukum menikah bisa haram jika tujuannya melakukan keburukan. Karena menikah adalah sarana. Maka ia tidak kita sejajarkan dengan praktik ibadah agama seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Menikah bisa kita sebut sebagai ibadah, jika kita maknai sebagai sarana yang kondusif bagi suami atau istri untuk melakukan hal-hal baik yang agama perintahkan.
Oleh karenanya, menikah tidak bisa kita sebut sebagai separuh agama dalam arti ibadah ritual sebagaimana shalat dan puasa. []