Mubadalah.id – Perempuan, dalam pengalaman segala sejarah manusia, tidak hanya acap dianggap “liyan” dan makhluk tak penting, tetapi juga acap dianggap budak. Dalam situasi perang dan konflik sosial, perempuan menjadi korban kekerasan berlapis.
Mereka mengalami berbagai bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual. Komnas Perempuan mencatat 59% dari 103 kasus pengalaman perempuan Aceh adalah kekerasan seksual, sedangkan pada konflik Poso, 86% dari 72 kasus yang didokumentasikan adalah kekerasan seksual terhadap perempuan.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, perempuan-perempuan negeri ini menjadi sasaran untuk kepentingan pelampiasan hasrat seksual para tentara.
Tindakan ini acap mereka gunakan secara sistematis untuk mencapai tujuan militer atau politik. Pada sejumlah kasus kekerasan seksual, perempuan dan anak perempuan mereka perkosa.
Para perempuan juga kerap mengalami penderitaan saat menjalani penggeledahan yang mengharuskan mereka melepaskan pakaian dan mereka paksa berparade atau berdansa tanpa busana di hadapan para tentara atau di depan publik. Serta melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa busana.
Di Afghanistan, ketika perang terjadi dan kekuasaan berada di tangan Taliban, hak-hak asasi perempuan mereka diskriminasi dan batasi. Diskriminasi terhadap perempuan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah, meliputi seluruh aspek kehidupan perempuan.
Para perempuan mengalami ketidakadilan dalam perlindungan fisik, hak atas pendidikan, kesehatan, kebebasan bergerak, serta berorganisasi.
Kekerasan terhadap mereka bukan berhenti sampai perang berakhir. Penderitaan mereka masih akan tetap rasakan sesudahnya dan untuk waktu yang panjang. Di samping kehamilan yang tidak ia kehendaki, juga infeksi menular seksual dan stigmatisasi sosial dan agama. []