Mubadalah.id – Islam memandang kepemimpinan bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab moral. Dalam Shahih Muslim (no. 4826), Siti Aisyah Ra. meriwayatkan sabda Rasulullah Saw.:
“Ya Allah, barang siapa yang mengurus dan mengelola suatu urusan bagi umatku lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah ia. Dan barang siapa yang mengelola urusan itu dengan mempermudah urusan mereka, maka permudahlah kehidupannya.”
Hadis ini menegaskan bahwa ukuran kepemimpinan bukan pada status atau jabatan. Tetapi pada sejauh mana seorang pemimpin memudahkan rakyatnya.
Nabi juga bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas Ra. dalam Shahih Bukhari (no. 69):
“Buatlah kemudahan-kemudahan, jangan membuat kesulitan-kesulitan. Datangkanlah kegembiraan, dan jangan tebarkan ketakutan.”
Dua teks hadis tersebut memberikan pesan moral yang kuat bahwa kepemimpinan, baik dijalankan oleh laki-laki maupun perempuan, harus berorientasi pada kemudahan, kebahagiaan, dan kesejahteraan rakyat.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah menjelaskan bahwa jika prinsip ini kita baca secara mubadalah. Maka kepemimpinan menjadi ruang partisipasi bagi semua manusia yang berkapasitas membawa kebaikan.
Dengan kata lain, perempuan tidak hanya boleh, tetapi justru perlu kita libatkan secara aktif dalam ruang-ruang strategis pengambilan kebijakan. Sebab, banyak kebijakan publik yang gagal menjangkau kebutuhan masyarakat karena abai terhadap perspektif dan pengalaman perempuan.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam Al-Thuruq al-Hukmiyyah menjelaskan bahwa politik dalam ajaran Islam pada hakikatnya adalah segala upaya yang bertujuan menghadirkan kemaslahatan dan menolak keburukan.
Karena itu, ukuran suatu kebijakan politik tidak semata pada bentuk atau prosedurnya. Melainkan pada hasil nyata yang membuat masyarakat semakin dekat pada kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan. []