Penyebaran virus korona kian meningkat. Seiring upaya pencegahan, presiden menginstruksikan kerja dan ibadah dari rumah, menghentikan kegiatan yang melibatkan banyak orang, serta menjaga jarak aman bila harus keluar rumah.Sejalan dengan itu, Muhammadiyah–organisasi Islam besar dan berkemajuan di Indonesia– menunda pelaksaan muktamar hingga Desember 2020.
Sebelumnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui surat maklumat bernomor 02/MLM/I.0/H/2020 (14/3/2020) memerintahkan kegiatan-kegiatan di lingkungan Muhammadiyah-Aisyiyah ditunda, penyelenggaraan bidang pendidikan diselaraskan dengan keputusan pimpinan daerah/Pemda.
Termasuk salat berjemaah di masjid dan salat Jumat diganti dengan salat dhuhur di rumah. Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjidil Haram (Mekkah) meniadakan salat berjamaah di masjid dan mengganti salat di rumah (Arab News, Saudi Press Agency, 17/3).
Di sisi lain, walaupun batal, ijtima dunia di Gowa, Sulsel, yang digelar Jamaah Tabligh berhasil mengumpulkan 8.000 umat dari Indonesia dan mancanegara. Di Kupang, NTT, upacara Penahbisan Uskup Keuskupan Ruteng Mgr Sipianus Hormat yang melibatkan lebih 1.500 jemaat tetap digelar. Surat gugus tugas percepatan penanganan virus korona tak digubris.
Upacara Melasti di Umbul Geneng, Klaten, dengan 3.000 orang juga digelar (Solopos,17/3). Perayaan Nyepi di Jakarta dan Bali tetap dilaksanakan walau dibatasi, termasuk pelaksaan Melasti di Petirtaan Jolotundo, Jawa Timur. Perayaan Isra Miraj (22/3) di beberapa daerah juga masih digelar, termasuk acara Rajab-an di Karawang yang melibatkan jemaah dengan acara salawatan, pengajian, dan ceramah agama.
Indonesia tidak menerapkan lockdown, instruksi presiden hanya dianggap sebagai seruan moral. Buktinya, masih banyak perusahaan/lembaga yang tidak menerapkan work from home/WFH, KRL pun tetap ramai. Anak muda di Pamulang masih kumpul-kumpul di malam hari. Kegiatan keagamaan pun tetap berjalan. Lantas, mengapa perayaan keagamaan tetap dilakukan? Dapatkah? negara membatasi hak beribadah tanpa diskriminasi, melanggar HAM?
Otoritas yang Konservatif
Pemimpin agama memiliki otoritas dalam menyampaikan pesan Tuhan pada umatnya. Itu sebabnya Charles Kimball, dalam Kala Agama Jadi Bencana, mengingatkan di tangan tokoh agama yang korup dan sangat konservatif, agama bisa jadi bencana bagi umatnya. Seperti klaim kebenaran agama secara mutlak atau ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan.
Kimball mengingatkan bila agama bertentangan dengan akal sehat, membatasi kebebasan intelektual, dan menuntut ketaatan buta pada pimpinan agama, agama harus diwaspadai karena pemimpin agama berpotensi memanfaatkan ketaatan umat untuk melakukan perbuatan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai universal agama, seperti hak untuk hidup (hifz an-nafs), termasuk hak sehat.
Kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) memang hak dasar (nonderogable rights). KBB memiliki unsur forum internum dan forum eksternum. Forum internum bersifat sangat personal dan bisa dijalankan/dilaksanakan di manapun, termasuk dalam rumah. Sementara itu, forum eksternum umumnya melibatkan banyak pihak, misalnya perayaan keagamaan yang menggunakan fasilitas publik (jalan raya atau tempat umum).
Saat negara menghadapi ancaman serius terhadap kesehatan populasi dan mencegah penyebaran penyakit, dengan mengacu peraturan Organisasi Kesehatan Dunia/WHO, forum eksternum bisa dibatasi negara. Ini tidak melanggar HAM, tidak melakukan diskriminasi karena mempertimbangkan prinsip-prinsip Sirakusa, seperti keselamatan, ketertiban, kesehatan masyarakat, dan moral.
Pembatasan-pembatasan dalam KBB termuat dalam Pasal 28 j Konstitusi Negara UUD 1945 (terkait keamanan dan ketertiban umum), ICCPR Komentar Umum Nomor 22/1993, Pasal 18 angka (3) UU No 12/2005 tentang Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23, 70, 73 dalam UU No 39/1999 tentang HAM (Zainal Abidin Bagir, dkk, Membatasi tanpa Melanggar).
Indonesia punya cukup banyak pengalaman pembatasan KBB, seperti pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia/HTI, pemakaian cadar, Gafatar, dan Ahmadiyah. Bila pembatasan di atas bisa dilakukan, mengapa pembatasan dengan tujuan keselamatan tidak dilakukan?
Korona sangat mengkhawatirkan karena ada 384.432 orang terinfeksi di 196 negara dengan 102.536 sembuh dan 16.591 wafat. (Kompas.com, 24/3). Sepuluh negara dengan kematian tertinggi ialah Tiongkok, Italia, Iran, Spanyol, Jerman, AS, Prancis, Korsel, Swiss, dan Inggris. (Kompas, 20/3).
Di ASEAN, sekalipun angka tertinggi penderita korona ialah Malaysia, tetapi kematian tertinggi berada di Indonesia (www.worldmeters.com), dan itu termasuk kematian tertinggi keempat dunia. Jumlah positif korona 686 orang, 55 wafat, dan 30 orang sembuh, Selasa (24/3).
Individu yang relatif kuat/ sehat, tetapi pembawa virus korona (carrier) inilah yang mengkhawatirkan. Itu karena mereka tak menunjukkan gejala-gejala sakit, tetapi dapat menularkan pada orang lain yang memiliki sistem imun rendah, sedang drop, atau penyakit penyerta lainnya. Untuk itu, physical distancing diperlukan.
Butuh Contoh
Sejatinya, kegiatan keagamaan ataupun kegiatan apa pun yang melibatkan orang banyak berkumpul dalam satu tempat bahkan tanpa jarak, penting untuk dihentikan. Physical distancing yang tidak digubris pemimpin agama merupakan contoh pemimpin agama yang korup dan konservatif, memanfaatkan ketaatan umat secara mutlak sehingga mengabaikan hak hidup dan sehat sang umat.
Maka dari itu, usulan kebijakan ekstrem diperlukan untuk hadapi korona. Misalnya, menindak tegas pihak-pihak yang berperan mengumpulkan banyak orang, yakni dimulai dari pembubaran paksa.
Selain itu, pejabat negara, menteri, hingga staf khusus presiden milenial, juga bisa memulai memberikan contoh WFH. Misalnya, berkebun di rumah, menulis, kerajinan tangan, mendongeng, lalu diupload di media-media sosial, kemudian disebarkan sebagai bahan edukasi anak-anak dan remaja belajar di rumah agar mereka tidak lagi nongkrong/ kumpul.
Tanpa tindakan dan contoh, negara–pejabat negara– melakukan pembiaran. Tidak berlebihan kiranya, Linda Weiss dalam The Myth of the Powerless State mengatakan bahwa negara bisa jadi predator yang memangsa rakyatnya sendiri.
Pada kasus korona, yang mana pemerintah punya kewajiban to promote, to protect dan to fulfill (Deklarasi Vienna, 1993), tanpa sikap tegas sehingga melakukan pembiaran pada aktivitas yang memunculkan potensi rakyat/umat terserang korona hingga berpotensi pada jatuhnya korban/kematian ialah predatorisme yang dilakukan negara dan pemimpin agama. Semoga negara semakin bijak bersikap. []
*) Tulisan pernah dimuat di Harian Umum Media Indonesia. Edisi Jum’at, 27 Maret 2020