Mubadalah.id – Sudah lama saya mendengar bahwa Sayyidah Aisyah sering mengoreksi –atau mengkritik- riwayat diskriminatif yang disampaikan oleh sahabat. Salah satu yang mashur didengar ialah kritik aisyah terhadap hadis abu hurairah terkait riwayat hadis berikut” الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي الدَّارِ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ kesialan ada pada 3 hal; rumah, perempuan dan hewan tunggang. Saat sahabat Makhul menyampaikan riwayat ini kepada Sayyidah Aisyah, ia meralatnya “Abu Hurairah tidak hafal seluruh redaksi hadis itu, sungguh Nabi berkata;
قَاتَلَ اللهُ اليَهُوْدَ يَقُوْلُوْنَ: الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي الدَّارِ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ “Allah mengutuk kaum Yahudi yang berkata; kesialan ada pada 3 hal; rumah, perempuan dan hewan tunggang”. Dan Abu Hurairah datang di penggalan terakhir”.
Meski masih diragukan apakah Makhul pernah bertemu dengan Sayyidah Aisyah atau tidak. Namun ada hadis senada yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah;
إِنَّماَ الطِّيَرَة فِي المَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارِ Artinya, “Sungguh kesialan itu ada pada perempuan, hewan peliharaan, dan rumah.” Dengan tegas Sayyidah Aisyah menolak “Demi Zat yang menurunkan Al-Qur’an kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW), Nabi SAW tidaklah berkata demikian” karena redaksi lengkapnya adalah
كَانَ أَهْلُ الجَاهِلِيَّةِ يَقُوْلُوْنَ : الطِّيَرَةُ فِي المَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارِ “Dahulu orang jahiliyah berkata ‘kesialan ada pada perempuan, hewan ternak dan rumah.” Abu Hurairah juga tertinggal di bagian awal redaksi hadis ini.
Dalam kitab الإجابة لإيراد ما استدركته عائشة ada banyak hadis yang dikritik oleh Sayyidah Aisyah. Bukan hanya masalah keperempuanan, Sayyidah Aisyah juga menjadi referensi keilmuan lainnya. Sebelum genap usia ke 18 tahun, perempuan yang dijuluki Humaira oleh Nabi Muhammad ini, telah menguasai berbagai fan keilmuan; fikih, tafsir, ilmu syariat, syiir, ilmu nasab, kedokteran, dan sejarah.
Selain karena kecerdasannya, sejak lahir pendidik pertamanya adalah Abu Bakar as-Siddiq, ayahanda Sayyidah Aisyah, kemudian setelah menikah dilanjutkan pendidikan ruhani dan intelektualnya oleh Nabi Muhammad, suami sekaligus manusia termulia sepanjang masa.
Setelah Nabi wafat keilmuan Sayyidah Aisyah telah mencapai puncak kematangan sehingga meski banyak pembesar sahabat bermigrasi ke kota lain, Madinah tetap menjadi gudang ilmu sekaligus sumber hadis, dan Sayyidah Aisyahlah yang menjadi alasan utama itu. Nabi pernah berkata خذوا شطر دينكم عن الحميرا ambillah separuh agama kalian dari alhumaira (sayyidah Aisyah). Di lain waktu Nabi juga berkata – riwayat dari Musa bin Thalhah- ما رأيت أحدا أفصح من عائشة tidak ada yang lebih fasih dari pada Aisyah.
Tidak tanggung-tanggung, Abu Bakar ayahandanya sendiri dan pemuka sahabat yang lain seperti Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Amr, Abdullah bin Zubair dan sederet pemuka lainnya, sesekali merujuk pada Sayyidah Aisyah. Relasi mereka adalah guru dan murid, namun tetap saling menghormati dan berbagi.
Saat bersantai, Sayyidah Aisyah mendatangi kamar ayahnya lalu ayahnya bertanya perihal kafan dan hari wafatnya Nabi. Wallahu a’lam pertanyaan ini untuk benar-benar mencari jawaban atau hanya sekedar mendapat penegasan. Tapi apapun tujuannya Abu Bakar pastilah menganggap putrinya memiliki kedekatan yang lebih intens dengan Nabi sehingga merasa perlu ia merujuk pada Sayyidah Aisyah.
Abdullah bin Abbas pernah meriwayatkan “Barang siapa yang berkurban maka haram baginya semua yang diharamkan saaj –ihram- haji sampai ia menyembelih kurban tersebut” Sayyidah Aisyah menyangkalnya, ia pernah melilitkan kalung pada hewan kurban sedangkan Nabi tidak mengharamkan apapun sampai menyembelihnya.
Meski Sayyidah Aisyah secara keilmuan di atas mereka, ia tidak lupa pada etika sebagai junior dalam segi usia. Umar bin Khattab pernah meriwayatkan hadis bahwa seseorang yang telah meninggal akan diazab karena tangisan keluarganya. Sayyidah Aisyah menyangkalnya رحم الله عمر, والله ما حدث رسول الله semoga Allah merahmati Umar, demi Allah Rasul tidak pernah berkata demikian. Kemudian menjelaskan bahwa seseorang tidak akan menanggung kesalahan orang lain.
Membaca kisah relasi antara Sayyidah Aisyah dengan para sahabat membuat saya introspeksi diri bahwa moral seperti ini yang menghilang dari diri kita sekarang, objektif sejak dalam pikiran dan sikap. Setiap orang memiliki potensi benar dan keliru. Sebagaimana pesan Imam asy-Syafi’i pendapatku benar tapi ada kemungkinan salah, dan pendapatmu salah tapi ada kemungkinan benar. Sekian, Allah yang Maha Mengetahui.
Demikian penjelasan terkait kritik aisyah terhadap hadis abu hurairah. Semoga menambah khazanah keilmuwan kita bersama. Seyogianyakritik aisyah terhadap hadis abu hurairah menjadi pengetahuan baru bagi kita. []
.