Mubadalah.Id– Trafficking diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘perdagangan perempuan’. Orang sering menyebutnya sebagai ‘perbudakan gaya baru’. Trafficking telah menjadi fenomena yang menyebar dan semakin mengerikan di berbagai negara. Negara yang tengah menjadi sorotan dunia terkait isu ini adalah Bangladesh. Menurut Kyai Husein Muhammad korban trafficking diampuni dosanya.
Di negara ini, trafficking dan prostitusi adalah legal, karena penduduknya seolah tak punya pilihan hidup lain. Krisis pendidikan dan himpitan ekonomi membuat kebanyakan perempuan Bangladesh memilih prostitusi sebagai satu-satunya jalan untuk menyambung hidup.
Lebih mirisnya lagi, tarif pekerja seks di Bangladesh tercatat sebagai yang paling murah di dunia! Hanya sekitar delapan ribu rupiah, itu pun belum dipotong setoran untuk mucikari. Tak sedikit pula dari para pekerja ini yang masih di bawah umur, bahkan sebagian mereka adalah para istri yang sengaja dijual oleh suaminya. Na’udzubillah.
Islam dan pandangan kemanusiaan universal mengecam praktik ini dan menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Perbudakan seperti ini sudah lama disinggung al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya sehingga Allah menganugerahinya kemampuan. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian (untuk pembebasan dirinya) hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui kebaikan pada mereka.
Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran padahal mereka menginginkan kesucian diri, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa memaksa mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa”. (Qs. Al-Nur [24]: 33).
Korban Trafficking Diampuni Dosanya
K.H. Husein Muhammad, salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon menyebutkan, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan secara singkat dari ayat di atas. Pertama, kewajiban kita untuk melakukan perlindungan terhadap kaum perempuan.
Kedua, kewajiban kita untuk membebaskan atau memerdekakan orang-orang yang terperangkap dalam perbudakan. Ketiga, kewajiban para majikan untuk menyerahkan hak-hak ekonomi mereka. Dan keempat, haramnya mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan duniawi (harta, kedudukan dan kebesaran diri).
Menurut ayat itu pula, mereka yang terpaksa melakukan praktik pelacuran, diampuni dosa-dosanya dan dimaafkan kesalahannya oleh Tuhan. Nabi Muhammad sendiri diriwayatkan pernah membebaskan hukuman terhadap seorang perempuan yang dipaksa berzina.
Ada juga sebuah kasus populer mengenai ini yang terjadi pada masa ‘Umar bin Khattab. Ada seorang perempuan yang kehausan. Kemudian ia meminta air kepada seorang laki-laki. Tetapi laki-laki itu menolaknya kecuali jika perempuan tersebut bersedia melayani hasrat seksualnya. Hal ini kemudian dilaporkan kepada ‘Umar bin Khattab.
Umar lalu mendiskusikannya dengan ‘Ali bin Abi Thalib. ‘Ali menjawab: perempuan itu dalam keadaan terpaksa, maka tidak boleh dihukum sebagaimana pernyataan al-Qur’an: “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 173). Atas dasar itu semua para ulama fiqh sepakat bahwa perempuan yang dipaksa berzina dibebaskan dari hukuman. (Baca: ‘Abd al-Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ al-Jinary Al-Islami, Dar al-Katib al-‘Arabi, Beirut, Vol.I, tt. hlm. 573). Sungguh Tuhan Maha Adil lagi Maha Penyayang. (NR).
Sumber: Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren (Pustaka Rihlah, 2006).