I’m so sick of running as fast as I can
Wondering if I’d get there quicker
If I was a man
And I’m so sick of them coming at me again
‘Cause if I was a man
Then I’d be the man
I’d be the man
I’d be the man
Mubadalah.id – Penggalan lirik di atas berasal dari lagu berjudul “The Man” karya Taylor Swift, yang terdapat dalam album ketujuhnya Lover. Lagu tersebut menceritakan sistem masyarakat yang masih terbelenggu dalam budaya patriarki, sehingga mendiskriminasi hingga mengopresi kelompok perempuan di industri musik.
Aksi Seksisme terhadap Perempuan dalam Industri Musik
Lagu“The Man” terinspirasi dari aksi seksisme yang sering menyasar kepada perempuan. Taylor Swift hanyalah segelintir pihak yang pernah menjadi sasaran aksi tersebut.
Dalam sesi interview dengan majalah Vogue pada tahun 2019, Taylor menceritakan adanya perlakuan tidak adil bagi musisi perempuan pada saat ia masih remaja.
Akan tetapi, hal berubah ketika Taylor beranjak dewasa dan saat ia mampu menghelat konser berskala internasional. Banyak pihak yang kemudian melihatnya sebagai sesuatu yang “tidak luar biasa” lagi.
Pelecehan Seksual terhadap Musisi Perempuan
Studi di Inggris menunjukkan bahwa hampir dari setengah musisi perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di industri musik. Namun hanya 1 dari 5 dari mereka yang benar-benar dapat melaporkan kejadian tersebut.
Fenomena ini terjadi karena kontrak kerja yang tidak mencantumkan prosedur ataupun policies mengenai penanganan jika terjadi pelecehan seksual. Tidak hanya itu, pelecehan seksual di industri musik juga menyasar wanita berkulit hitam. Ini terjadi di salah satu perusahaan recording terkenal milik Russel Simmons, yaitu Def Jam.
Hal ini terungkap dalam salah satu film dokumenter berjudul “On The Record” yang tayang pada tahun 2020 silam. Di mana film itu memperlihatkan bagaimana kelompok misoginir membungkam kaum perempuan berkulit hitam.
Artis laki-laki masih mendominasi industri musik, dengan representasi artis perempuan kurang dari 1/3 dari keseluruhan musisi di dunia sejak tahun 2012 hingga 2020. Dalam studi yang dilakukan oleh USC Annenberg pada tahun 2012 hingga 2020, musisi perempuan hanya menyumbang kurang dari 30%, yaitu sebanyak 28.1%, dari 900 lagu yang populer pada tahun tersebut.
Gerakan Feminisme dalam Industri Musik
Dari berbagai aksi diskriminasi, pelecehan seksual, hingga seksisme terhadap perempuan dalam industri musik, kemudian terbentuklah gerakan feminisme di industri musik. Gerakan ini bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, serta menyuarakan nilai dan norma feminisme melalui karya-karya mereka.
Madonna dan Beyoncé adalah contoh musisi perempuan lain selain Taylor Swift yang sering menyuarakan pergerakan feminisme di industri musik melalui karya lagu.
Industri musik seharusnya menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi para musisi maupun pihak lain yang terlibat. Fakta-fakta tersebut menambah deretan panjang diskriminasi dan pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja.
Perempuan harus bekerja dua kali lipat untuk menunjukkan bahwa mereka “mampu” dan “pantas,” seperti yang terdapat dalam lirik “I’m so sick of running as fast as I can, wondering if I’d get there quicker if I was a man.”
Penggalan lirik lain juga mengandung statement yang kuat yakni“I’d be a fearless leader, I’d be an alpha type. When everyone believes, ya, what’s that like? –di mana menyiratkan apakah perempuan harus menjadi laki-laki alpha type dan pemimpin yang tangguh terlebih dahulu untuk dapat direkognisi oleh masyarakat?
Dengan demikian, perempuan masih menjadi kelompok yang rentan mengalami diskriminasi dan pelecehan di tempat kerja, seperti halnya yang terjadi di industri musik. Di balik gemerlapnya dunia permusikkan, masih ada ruang yang gelap dan tidak aman bagi perempuan yang tidak diketahui oleh masyarakat awam. []