• Login
  • Register
Sabtu, 7 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Makna Kemerdekaan bagi Para Penyintas Kesehatan Mental

Penyintas hanya mampu berdiri mematung, dengan mata nanar tak punya sinar kehidupan. Nyala itu redup, muka itu kuyu, senyum pun hilang, entah tersembunyi di mana. Merdeka tidak merdeka, bagi penyintas hidup tetaplah sama

Zahra Amin Zahra Amin
14/08/2022
in Featured, Personal
0
Makna Kemerdekaan

Makna Kemerdekaan

683
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setiap manusia yang terlahir di dunia ini, tak bisa memilih menjadi warga negara mana, orang tuanya siapa, menjadi kaya atau miskin. Tetapi dengan nasib buruk sekalipun, kita punya hak untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Aman dan terlindungi dari praktik kekerasan dalam bentuk  apapun. Begitu juga para penyintas kesehatan mental, yang tentu bagi mereka punya makna kemerdekaan tersendiri.

Merdeka bagi para penyintas, tidak hanya sekedar teriakan merdeka! Merdeka atau mati! Sekali merdeka tetap merdeka! Atau lantunan nyanyian 17 Agustus 1945 yang nyaring terdengar di mana-mana, ketika bulan Agustus itu tiba. Perasaan mencekam, trauma yang berkepanjangan, sunyi kala sendiri, dan cemas tak berkesudahan terus menghantui mereka.

Makna kemerdekaan bagi penyintas semakin jauh. Ia sebatas seremonial, menyanyikan lagu Indonesia raya sambil tangan menghormat ke bendera. Sementara di saat yang sama, penyintas hanya mampu berdiri mematung, dengan mata nanar tak punya sinar kehidupan. Nyala itu redup, muka itu kuyu, senyum pun hilang, entah tersembunyi di mana. Merdeka tidak merdeka, bagi penyintas hidup tetaplah sama.

Menguji Rasa Kemanusiaan

Ketika dalam satu kesempatan, saya pernah diberi peluang untuk berkunjung ke Panti Rehabilitasi Mental di beberapa daerah di Jawa Bagian Tengah, dan Bagian Barat. Saya melihat langsung bagaimana kekerasan yang pernah dialami manusia meninggalkan jejak luka yang teramat dalam. Tak hanya rusak secara fisik, tetapi jiwa-jiwa itu berjalan seperti di antara ada dan tiada. Mereka ada secara fisik, tetapi seringkali diabaikan dan dianggap tak ada.

Para penyintas telah membangun dunianya sendiri. Hanya ada ia dan diri sendiri. Hanya ada tubuh yang bergerak sunyi, dan jiwa yang kosong. Rasa kemanusiaan kita benar-benar teruji ketika berhadapan dengan mereka, bagaimana harus menyampaikan belas kasih, sementara untuk diajak bicara saja mereka tak pandai merangkai kata. Banyak kata yang tak lagi bisa kita pahami.

Namun isyarat hati tak bisa berdusta. Mereka terlampau letih dengan kehidupan ini, yang kerap tak adil memperlakukan mereka. Berkali-kali tenggorokan saya tercekat. Menelan ludah, dan menahan diri dari aroma yang tak sedap. Butuh keberanian, dan keterbukaan agar mampu mendengarkan suara hati dari para penyintas kekerasan, hingga mereka mengalami gangguan kesehatan mental.

Baca Juga:

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

Rahasia Tetap Berpikir Positif Setiap Hari, Meski Dunia Tak Bersahabat

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

Ki Hajar Dewantara: Antara Pendidikan dan Perjuangan Kelas Pekerja

Ketika jelang hari kemerdekaan ini, entah mengapa ingatan saya kembali pada kehidupan yang mereka jalani. Bahkan saya bertanya-tanya, apa makna kemerdekaan bagi para penghuni di panti rehabilitasi mental itu?

Populasi Indonesia Berpotensi Miliki Masalah Gangguan Jiwa

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Sementara itu, melansir  dari Kompas.com Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Dr Celestinus Eigya Munthe menjelaskan, masalah kesehatan jiwa di Indonesia terkait juga dengan masalah tingginya prevalensi orang dengan gangguan jiwa. Untuk saat ini, Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 4 penduduk, yang artinya sekitar 20 persen populasi di Indonesia mempunyai potensi masalah gangguan jiwa.

Belajar dari Kisah Mima Shafa

Davina Syafa Felisa atau Mima Shafa mengaku pernah mengalami depresi bertahun-tahun hingga mencoba melakukan percobaan bunuh diri. Putri sulung pasangan Mona Ratuliu dan Indra Brasco ini membagikan foto-foto saat dirinya mengalami depresi hingga dirawat di rumah sakit.

“Selama 7 tahun aku selalu bertanya-tanya, ‘apa yang salah sih sama aku?’ di depan semua orang, aku mungkin terlihat seperti seseorang yang tau semua jawabannya,” tulis Mima di Instagram pada Minggu, 31 Juli 2022

Kondisi yang menimpa putri dari pasangan selebritis Indonesia, Indra Brasco dan Mona Ratuliu ini sontak membuat orangtuanya terkejut. Tetapi dengan langkah Mima yang mau terbuka dan bercerita pada orang tua, membuatnya mampu tetap bertahan dan bisa melewati semua rasa sakit yang ia lalui.

Mima mengaku dukungan dari keluarga dan sahabatnya sangatlah penting untuk dirinya yang mengalami depresi selama tujuh tahun terakhir. Mima Shafa berharap ceritanya ini bisa menjadi pelajaran untuk orang-orang yang mungkin merasakan hal serupa dengannya.

“Jika kalian membaca ini, pasti akan ada jawaban dari semua pertanyaan yang kamu punya. Kuncinya adalah bertahan. Pelan-pelan cerita dan kasih tau orang-orang yang kamu percaya tentang situasi mu. Jangan takut untuk bicara dan cari bantuan. You always matters,” tulisnya di akun instagram.

Ya, kita bisa belajar dari Mima Shafa, bahwa hidup bergelimang harta, atau ketenaran yang kerap membuat jumawa, tak menjamin kesehatan mental kita akan baik-baik saja. Meski demikian, saya percaya selalu ada upaya dan jalan keluar agar kita senantiasa mensyukuri setiap detik kehidupan ini. Betapa nyawa kita berharga, cinta keluarga bermakna, dan bahagia itu kita sendiri yang cipta. []

 

 

 

Tags: DepresikemerdekaanKesehatan MentalMima ShafaPanti Rehabilitasi Mentalpenyintas
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Berkurban

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

6 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berkurban

    Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Raya dalam Puisi Ulama Sufi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memaknai Istilah “Kurban Perasaan” Pada Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID