• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Masa Depan Dialog Islam dan Keadilan Gender

Habibus Salam Habibus Salam
21/07/2020
in Publik
0
Ilustrasi: mubadalah

Ilustrasi: mubadalah

70
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“… biarkan perempuan menentukan caranya sendiri untuk berjuang. Teman-teman perempuan mau narasi ini milik kami sendiri, dikomando oleh kalangan kami sendiri, dan didominasi oleh kami…”

Begitulah jawaban seorang teman perempuan saat saya tanya melalui aplikasi Whatsapp tentang bagaimana posisi laki-laki dalam isu keadilan gender. Kami pertama berinteraksi dalam satu grup ngaji Keadilan Gender Islam yang dipromotori oleh Dr. Nur Rofi’ah, dosen pasca sarjana PTIQ Jakarta.

Sebagai laki-laki yang baru bersentuhan dengan isu gender –itupun hanya secara paradigmatis saja– tentu saya kaget dengan tanggapan semacam ini. Jujur itu baru pertama kalinya bagi saya secara langsung merasakan luapan emosi yang sebelumnya hanya bisa saya baca lewat buku-buku karya Amina Wadud, Riffat Hasan, Audre Lorde, Fatima Mernisi, dan beberapa feminis lain.

Secara naluriah saya mengerti bahwa sikap ketertutupan teman saya itu merupakan hasil pergolakan mental luar biasa yang tidak akan pernah dialami laki-laki. Pengalaman kekerasan dan pelecehan seksual, marginalisasi, beban moral dan sosial yang berlipat ganda hanya karena menjadi perempuan, adalah pengalaman yang nyaris –jika kita tidak mau secara radikal memakai kata ‘sepenuhnya’– hanya ada pada diri perempuan. Ya, hanya pada tubuh perempuan-lah segala bentuk ketidak adilan dapat kita temukan, bahkan sejak sebelum ia dilahirkan.

Di saat yang sama saya merasa bahwa apa yang dikatakan teman saya di atas, salah secara teologis. Kita bisa berdebat tentang apakah kerangka teologis dapat bekerja secara mutlak dalam struktur ilmu humaniora semacam ini, tetap apa yang saya tulis tidak sedang dalam rangka itu. Pertanyaan mendasar yang saya ajukan adalah: apakah memang seharusnya demikian dialog antara laki-laki dan perempuan?

Baca Juga:

KB dalam Pandangan Islam

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Lalu bagaimana dengan agama, apakah dengan cara seperti kutipan pesan teman saya tadi akan membantu terwujudnya dialog isu keadilan gender dalam kerangka nilai-nilai Islam? Saya sampai saat ini masih terus mencari kemungkinan formulasi untuk menjawabnya. Sementara waktu, saya hanya akan berbagi hasil singkat dari perjalanan saya mencari jawaban atas pertanyan tadi.

Saya memulai ‘pencarian’ saya ini dengan mencoba memahami dari mana perdebatan ini mulai menyeruak ke permukaan. Dalam proses ini saya menyadari bahwa perdebatan tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang umum kita persepsikan dengan gender selama ini, bukan hanya menyangkut realitas di lapangan, tetapi juga merambat ke ranah dialektis antara kita sebagai muslim, dengan apa yang kita yakini sebagai kebenaran mutlak, yaitu agama Islam itu sendiri.

Faktanya, dalam keyakinan dan cara berpikir sementara kita, perempuan selalu mengalami peminggiran. Peminggiran ini bukan tidak disadari adanya, tetapi lebih kepada memang kita masih meraba-raba, apakah ‘peminggiran’ ini memang bersal dari Islam itu sendiri, atau sudah ada campur tangan kita sebagai subjek kebenaran itu.

Jika kita mau lebih lama membuka buku sejarah dan kitab-kitab Hadīth, kita akan menemukan fakta sejarah yang justru menunjukkan bahwa dialog antara Islam dan keadilan gender, selain memang sudah ada dalam Al-Qur’ān, ternyata juga telah di contohkan sendiri oleh Rasulullah.

Banyak kisah-kisah yang tertuang dalam Hadīth Nabi yang menceritakan bagaimana perempuan telah sejak awal dilibatkan secara langsung sebagai subjek komunikasi yang setara dengan laki-laki dalam dialognya dengan agama.

Ketika Warīṭah binti ‘Abdillah al-Thaqfiyyah, istri ‘Abdullah bin Mas’ud, seorang perempuan kreatif yang bekerja untuk menafkahi anak-anak serta suaminya sendiri karena keadaan ekonomi keluarganya, datang kepada Nabi untuk bertanya apakah yang ia nafkahkan kepada keluarganya itu terhitung sebagai sebuah kebaikan yang akan mendapat ganjaran? Nabi kemudian menjawab kegundahan Warīṭah itu dengan mengatakan “laki fī ḍālika ajru mā anfaqti ‘alaihim”. Bahwa apa yang Warīṭah kerjakan dan nafkahkan kepada keluarganya merupakan sesuatu yang sama-sama mendapat ganjaran.

Jawaban Nabi terhadap kegundahan Warīṭah di atas merupakan bentuk kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam posisinya sebagai subjek dialog agama. Bahkan jika kita mau lebih memerinci Hadīth diatas dengan kaidah-kaidah usūl fiqh, Hadīth di atas bukan saja membolehkan perempuan untuk berada dalam posisi sebagai pencari nafkah bagi keluarga, bahkan lebih dari itu, bahkan sama-sama mendapat ganjaran sebagai suatu kebaikan. Sampai di sini saja kita mungkin sudah dapat meraba bahwa ketimpangan sosial dan superioritas laki-laki bukan merupakan produk agama.

Lebih lanjut, yang juga menarik untuk kita lihat adalah lahirnya posisi superior antara laki-laki dan perempuan. Superioritas laki-laki ternyata didukung oleh ralitas faktual khususnya terkait peperangan. Menurut Ameer Ali, latar historis lebih disebabkan oleh faktor sosial.

Di beberapa tingkat tertentu dalam perkembangan sosial, poligami menurutnya merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakan. Peperangan yang sering terjadi antara kabilah-kabilah menyebabkan jumlah populasi laki-laki berkurang dan perempuan janda perang meningkat. Jadi faktor kekuasaan fisik laki-laki lebih diwarnai oleh superioritas laki-laki terhadap perempuan ketimbang kehormatan murni.

Sebaliknya, superioritas perempuan lebih diwarnai oleh kehormatan perempuan sebagai manusia. Nabi pun juga pernah mengatakan tentang posisi superior perempuan yang bukan karena fisiknya, melainkan karena kehormatannya sebagai manusia yang ada dan melekat di dalam dirinya: “Surga berada di bawah telapak kaki Ibu.”

Demikian gambaran historis-sosiologis kedua insan yang berbeda jenis kelamin ini, dan perlu ditekankan juga bahwa apa yang digambarkan di atas merupakan fakta sejarah yang tidak ada hubungannya dengan benar atau salah, baik atau buruk. Yang ada bagi fakta itu adalah begitulah kejadiannya, bahwa kedua manusia yang berbeda secara biologis ini sama-sama pernah mengalami superioritas dan dominasi.

Dari sini pula kita bisa melihat bahwa dialog ideal antara Islam dan keadilan gender sudah dimulai dan mendapatkan bentuk awalnya bahkan sejak masa awal Islam. Sehingga masa depan dialog ini akan sangat bergantung kepada kita sendiri sebagai orang-orang yang akan menjadi bagian dalam sejarah di masa depan. Wallahu a’lam. []

Tags: alquranislamkeadilan gendernabiperempuansosialtafsir
Habibus Salam

Habibus Salam

Alumni Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Al-Anwar dan Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang, Penulis Lepas, Pegiat Literasi dan Kajian Keislaman, Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Wilayah Jawa Tengah

Terkait Posts

Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!
  • KB dalam Pandangan Islam
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version