Mubadalah.id – Tiap masyarakat itu unik. Masing-masing memiliki kebudayaan yang menjadi ciri khas. Masyarakat Barat dan Nusantara tentu memiliki kebudayaan (keunikan) masing-masing. Dan bukan tidak mungkin juga memiliki kekhasan paradigma dalam hal relasi gender antara perempuan dan laki-laki.
Signe Howell dalam “Ethnography,” menjelaskan bahwa upaya memahami masyarakat adalah ‘…to achieve an understanding of local knowledge, values, and practices ‘from the native’s point of view’ (mencapai pemahaman terhadap pengetahuan, nilai, dan praktek lokal ‘dari sudut pandang masyarakat asli’).” Jadi, dalam konteks ini, paradigma masyarakat Nusantara penting untuk dipahami dalam upaya mempribumikan feminisme.
Meski harus kita akui bahwa memahami konsep relasi dalam kearifan Nusantara termasuk upaya yang sulit. Sebagaimana Nadya Karima Melati katakan dalam Membicarakan Feminisme. Ia menjelaskan bahwa, “Harus saya akui, memahami konsep kekuasaan dan keluarga dalam tradisi Jawa dengan cara berpikir dari abad ke-21 sangat menjebak.
Salah membaca, saya bisa menganggap hal-hal tertentu bernilai patriarkis dan merendahkan peran domestik dibanding peran maskulin.” Sehingga, dalam upaya mempribumikan feminisme perlu hati-hati dalam membaca konsep relasi gender di Nusantara.
Relasi Laki-laki Perempuan dalam Masyarakat Jawa
Penjelasan Wasisto Raharjo Jati dalam “Wanita, Wani Ing Tata: Konstruksi Perempuan Jawa dalam Studi Poskolonialisme,” agaknya menarik kita telisik dalam topik ini. Menurutnya, relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Jawa sebenarnya tidak subordinasi dengan memosisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Melainkan bersifat hubungan senioritas.
Dalam hal ini, pria Jawa mendapatkan status sebagai “kakak” sedangkan wanita Jawa adalah “adik”. Maka, dalam konstruksi kakak-adik, laki-laki menjalankan peran melindungi, menjaga, dan memuliakan kehormatan perempuan.
Sekilas paradigma ini nampak bagus. Hubungan senioritas dalam relasi menuntut laki-laki untuk memuliakan dan menjaga perempuan. Namun, paradigma ini menjadi bias, bahwa status laki-laki sebagai “kakak” perlu mendapatkan penghormatan dari perempuan yang dalam masyarakat statusnya hanya sebagai “adik”.
Dari sini konstruksi relasi tersebut banyak mengalami anomali makna budaya yang kemudian mengkristal pada bentuk subordinasi laki-laki terhadap perempuan. Sehingga, jika penggunaan paradigma senioritas dalam relasi, maka modelnya bukan senioritas yang menuntut penghormatan satu pihak, melainkan senioritas yang menuntut upaya untuk saling menjaga dan memuliakan kedua pihak.
Relasi Gender dalam Masyarakat Bugis
Jika dalam masyarakat Jawa terdapat konstruksi senioritas dalam relasi, pada masyarakat Bugis justru menekankan status sosial ketimbang status gender. Sebagaimana Nurul Ilmi Idrus dalam “Antropologi Feminis: Etnografi, Relasi Gender, dan Relativisme Budaya di Indonesia,” mengulas karya S.B. Millar berjudul On Interpreting Gender in Bugis Society, yang mendedahkan bahwa gender pada masyarakat Bugis tidak lebih penting daripada status sosial secara hierarkis. Jadi, status sosial lebih penting daripada klasifikasi gender.
Laki-laki dan perempuan distratifikasikan berdasarkan status sosial dan pencapaian diri bukan berdasarkan gender. Karena itu yang menjadi tolok ukur bukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, melainkan adalah pencapaian diri dalam kehidupan. Dalam hal ini, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama punya peluang untuk dapat eksis dengan berbagai capaian.
Dari penjelasan dua model relasi di atas, pada dasarnya tidak ada yang memosisikan laki-laki lebih mulia daripada perempuan. Sehingga, penting untuk memhami adalah, dalam masyarakat Nusantara posisi perempuan tidak lebih rendah daripada laki-laki.
Sekalipun dalam model relasi senioritas yang dimaksud bukan memandang perempuan lebih rendah sebanding dengan laki-laki, sehingga dituntut untuk hormat. Melainkan pembagian peran dalam upaya saling menjaga dan memuliakan kedua pihak.
Selain itu, penentuan eksistensi diri manusia bukan pada jenis kelamin, melainkan pada pencapaian diri dalam kehidupan. Maka, sebagaimana laki-laki yang dapat eksis dengan ragam prestasi, perempuan juga seharusnya memiliki peluang untuk berkarya. []