Mubadalah.id – Jika Ramadan sudah tiba seperti ini, jagat dunia maya, biasanya akan dipenuhi dengan daftar menu makanan yang beraneka macam. Dari menu takjil, sahur maupun berbuka. Urusan dapur selalu identik dengan perempuan, istri ataupun ibu. Belum atau tidak sama sekali dengan laki-laki, suami ataupun ayah. Fatalnya urusan dapur selalu diidentikkan dengan istilah perempuan salehah.
Mereka menyitir sabda Nabi saw., bahwa semua yang dunia itu perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan salehah. Perempuan salehah dipersempit maknanya hanya sebagai istri yang taat pada suami tanpa kecuali. Seorang perempuan yang hanya berkiprah di seputar dapur, sumur dan kasur.
Mari kita maknai ulang istilah perempuan salehah dengan perspektif ‘kesalingan’ dan kesetaraan. Bahwa mestinya istilah atau predikat perempuan salehah, diimbangi dengan predikat laki-laki saleh. Meskipun redaksi hadis tersebut hanya menyebutkan ‘perempuan salehah’, sejatinya hal tetsebut berlaku juga bagi laki-laki agar menjadi saleh.
Yang lebih penting lagi adalah bahwa urusan rumah tangga bukanlah mutlak urusan peremuan semata. Laki-laki yang menjadi suami pun punya kewajiban yang sama dalam mengurus pekerjaan rumah tangga. Tidak mungkin sebuah bangunan rumah tangga akan kokoh manakala ada tiang penyangganya yang tidak turut andil bekerja.
Islam tidak pernah punya ajaran bahwa istri tempatnya di dalam rumah, sementara suami di luar rumah. Ada kalanya suami di dalam rumah, istri yang ke luar rumah. Begitu pun sebaliknya. Saling melengkapi dan berbagi peran. Tanpa komitmen ini, hubungan dan relasi istri dan suami tidak akan pernah rukun dan langgeng.
Kuncinya bukan menjejali istri dengan doktrin agama yang kaku. Bukan mengetatkan aturan kepada istri untuk selalu minta izin kepada suami ketika hendak melakukan aktivitas apa pun. Kuncinya adalah saling percaya dan menjalin komunikasi yang terbuka. Istri membangun kepercayaan kepada suami dan begitu pun sebaliknya. Jalin komunikasi yang terbuka, jangan ditutupi apabila ada masalah sekecil dan sebesar apapun.
Karena budaya kita begitu lekat dengan patriarkhi, maka dalam konteks ini para suami agar bisa menyadari dan mau belajar menjadi suami yang ramah dan bijaksana. Suami yang punya komitmen saling memuliakan dan tidak berlaku sewenang-wenang kepada istrinya.
Semakin bijak seorang suami, maka ia akan semakin rendah hati. Suami yang hampir selalu mengalah apabila ada masalah. Suami yang punya stok sabar yang banyak. Suami yang mampu mengendalikan emosi dan amarahnya. Suami yang mau berbagi peran dengan istrinya, mau mendidik anak dan mengurus perkerjaan bersama istri.
Wallaahu a’lam.
Mamang M Haerudin (Aa), Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 26 Mei 2017, 21.02 WIB.