• Login
  • Register
Sabtu, 1 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Membaca Realitas Romantisme Peran Perempuan sebagai Ibu

Kita boleh memiliki pandangan bahwa ibu adalah sosok yang tidak pernah memiliki rasa lelah dan selalu dipenuhi rasa kasih sayang. Tetapi, hal tersebut bukan sebagai alasan kita untuk memberikan berbagai beban pekerjaan kepada seorang ibu, karena itu bagian dari penindasan. 

Khoniq Nur Afiah Khoniq Nur Afiah
16/06/2021
in Keluarga
0
Perempuan

Perempuan

187
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh
  • Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri
  • Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja

Baca Juga:

Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh

Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri

Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja

Mubadalah.id – Perempuan yang telah memiliki buah hati akan secara otomatis memiliki peran sebagai ibu. Menjadi seorang ibu bukanlah hal yang sederhana, karena banyaknya peran yang harus diselesaikan. Konstruksi masyarakat tentang ibu juga memberikan dampak yang serius terhadap keadaan seorang Ibu. Tulisan ini akan sedikit mengulas dan membaca mengenai realitas yang terjadi tentang romantisme peran perempuan sebagai seorang ibu di masyarakat.

Peran yang dikonstruksi oleh masyarakat mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab seorang ibu. Karena seorang ibu memiliki keharusan untuk selalu siap siaga dalam urusan pengasuhan anak. Kewajiban mengasuh anak secara sepihak dilimpahkan kepada seorang ibu. Hal tersebut merupakan sebab dari konstruksi masyarakat yang mengatakan bahwa mengsuh adalah pekerjaan seorang ibu dan pekerjaan tersebut bersifat terus-menerus.

Seorang ibu juga selalu digambarkan dengan sosok yang penuh kasih sayang, tidak akan pernah mengenal lelah, dan selalu menjadi sosok yang tangguh. Tentu hal tersebut sangat lazim terdenar di kalangan masyarakat tentang anggapan terhadap ibu yang digambarkan dengan malaikat yang berlumur kasih sayang dan tak pernah memiliki rasa lelah. Nah, demikian yang selanjutnya disebut dengan romantisme keibuan.

Uraian tentang konstruksi sosial sejatinya memberikan beban berat terhadap seorang ibu. Sehingga, label negatif akan lahir pada seorang ibu yang tidak bisa memberikan pengasuhan terhadap anak sesuai dengan paradigma yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Kontruksi tersebut memberikan beban yang selanjutnya menjadikan perempuan sebagai kelompok rentan. Realitasnya, ibu akan secara terus menerus diberikan berbagai beban kerja kerena anggapan tersebut.

Romatisme keibuan terlihat sepele dan wajar. Namun, bagi para pejuang perempuan tentu harus lebih serius dalam melihat realitas tersebut. Dalam artikel Linda Davies, Sara Collings, dan Julia Krane (2003) yang berjudul Making Mother Visible Implication For Social Work Practice and Education in Child Walfare mengatakan bahwa perlunya pengakuan dan memberikan sedikit ruang mengenai ambivalensi yang bisa terjadi pada seorang Ibu.

Rozsika Parker dalam artikel di atas mengatakan bahwa ambivalensi ibu ialah posisi emosional dimana keadaan pikiran yang kompleks dan kontradiktif, yang dimiliki bersama oleh semua ibu dimana perasaan cinta dan benci terhadap anak secara berdampingan. Perasaan ini lahir tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya banyaknya beban yang harus diperankan oleh seorang ibu, khususnya peran pengasuhan.

Contoh sederhananya, bagi seorang ibu yang bekerja, menyelesaikan pekerjaan kantor adalah suatu kewajiban. Kewajiban sebagai wanita karir memang telah selesai tetapi beban terhadap urusan rumah tangga belum selesai, seperti menyelesaikan pekerjaan domestik dan mengasuh anak. Beban-beban tersebut dikerjakan secara terus-menerus dan wajar jika akan merasa kelelahan. Nah, ambivalensi bisa lahir akibat faktor-faktor beratnya beban yang diterima oleh seorang ibu, seperti contoh yang disampaikan diatas.

Pengakuan atau anggapan lazim terhadap terjadinya ambivalensi ini akan memberikan sedikit ruang atau justru dapat perlahan menghapus pandangan negatif tentang seorang ibu yang memilih tidak menggunakan standar pengasuhan yang dikonstruksikan oleh masyarakat umum. Khususnya, bahwa romantisme keibuan tidak selalu memiliki dampak yang positif,

Kita boleh memiliki pandangan bahwa ibu adalah sosok yang tidak pernah memiliki rasa lelah dan selalu dipenuhi rasa kasih sayang. Tetapi, hal tersebut bukan sebagai alasan kita untuk memberikan berbagai beban pekerjaan kepada seorang ibu, karena itu bagian dari penindasan.

Islam telah membahas mengenai pengasuhan anak, salah satunya telah dijelaskan dalam kitab Manba’us sa’adah karya Kiai Abdul Faqihuddin Qodir telah menjelaskan pentingnya pembagian tugas pengasuhan anak. Seorang suami maupun istri harus mempunyai kesadaran bahwa mengasuh adalah tugas bersama, bukan hanya tugas seorang suami satu saja atau istri saja tetapi keduanya. Anjuran tersebut tentu berdasar pada konsep mubadalah yang memiliki tujuan menciptakan kemaslahatan dan keharmonisan dalam keluarga.

Tulisan ini memberikan sedikit pengetahuan mengenai pentingnya memahami seorang ibu yang juga manusia biasa. Manusia yang berhak untuk istirahat, mendapatkan ruang untuk meluapkan emosinya dan mendapatkan kasih sayang yang tepat dari orang sekelilingnya. Semoga tulisan ini memberikan pengantar pada para pembaca dan membuka kesadaran bahwa terdapat beberapa hal di sekeliling kita yang perlu kita perhatikan. Sekian. []

 

 

Tags: anakIbukeluargaorang tuaparentingpengasuhanperempuan
Khoniq Nur Afiah

Khoniq Nur Afiah

Santri di Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek R2. Tertarik dengan isu-isu perempuan dan milenial.

Terkait Posts

Kasus KDRT

Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

1 April 2023
Resep Awet Muda Istri

Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri

31 Maret 2023
Mengasuh Anak Tugas Siapa

Mengasuh Anak Tugas Siapa?

29 Maret 2023
Kewajiban Orang Tua

Kewajiban Orang Tua Menjadi Teladan Ibadah bagi Anak

29 Maret 2023
Bapak Rumah Tangga

Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

28 Maret 2023
Sahabat bagi Anak

Wahai Ayah dan Ibu, Jadilah Sahabat Bagi Anakmu!

25 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Melestarikan Tradisi Nyadran

    Gerakan Perempuan Melestarikan Tradisi Nyadran

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hadis Relasi Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Nabi Muhammad Saw Biasa Melakukan Kerja-kerja Rumah Tangga
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan
  • Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri
  • Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist