Mubadalah.id – Perempuan yang telah memiliki buah hati akan secara otomatis memiliki peran sebagai ibu. Menjadi seorang ibu bukanlah hal yang sederhana, karena banyaknya peran yang harus diselesaikan. Konstruksi masyarakat tentang ibu juga memberikan dampak yang serius terhadap keadaan seorang Ibu. Tulisan ini akan sedikit mengulas dan membaca mengenai realitas yang terjadi tentang romantisme peran perempuan sebagai seorang ibu di masyarakat.
Peran yang dikonstruksi oleh masyarakat mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah tanggung jawab seorang ibu. Karena seorang ibu memiliki keharusan untuk selalu siap siaga dalam urusan pengasuhan anak. Kewajiban mengasuh anak secara sepihak dilimpahkan kepada seorang ibu. Hal tersebut merupakan sebab dari konstruksi masyarakat yang mengatakan bahwa mengsuh adalah pekerjaan seorang ibu dan pekerjaan tersebut bersifat terus-menerus.
Seorang ibu juga selalu digambarkan dengan sosok yang penuh kasih sayang, tidak akan pernah mengenal lelah, dan selalu menjadi sosok yang tangguh. Tentu hal tersebut sangat lazim terdenar di kalangan masyarakat tentang anggapan terhadap ibu yang digambarkan dengan malaikat yang berlumur kasih sayang dan tak pernah memiliki rasa lelah. Nah, demikian yang selanjutnya disebut dengan romantisme keibuan.
Uraian tentang konstruksi sosial sejatinya memberikan beban berat terhadap seorang ibu. Sehingga, label negatif akan lahir pada seorang ibu yang tidak bisa memberikan pengasuhan terhadap anak sesuai dengan paradigma yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Kontruksi tersebut memberikan beban yang selanjutnya menjadikan perempuan sebagai kelompok rentan. Realitasnya, ibu akan secara terus menerus diberikan berbagai beban kerja kerena anggapan tersebut.
Romatisme keibuan terlihat sepele dan wajar. Namun, bagi para pejuang perempuan tentu harus lebih serius dalam melihat realitas tersebut. Dalam artikel Linda Davies, Sara Collings, dan Julia Krane (2003) yang berjudul Making Mother Visible Implication For Social Work Practice and Education in Child Walfare mengatakan bahwa perlunya pengakuan dan memberikan sedikit ruang mengenai ambivalensi yang bisa terjadi pada seorang Ibu.
Rozsika Parker dalam artikel di atas mengatakan bahwa ambivalensi ibu ialah posisi emosional dimana keadaan pikiran yang kompleks dan kontradiktif, yang dimiliki bersama oleh semua ibu dimana perasaan cinta dan benci terhadap anak secara berdampingan. Perasaan ini lahir tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya banyaknya beban yang harus diperankan oleh seorang ibu, khususnya peran pengasuhan.
Contoh sederhananya, bagi seorang ibu yang bekerja, menyelesaikan pekerjaan kantor adalah suatu kewajiban. Kewajiban sebagai wanita karir memang telah selesai tetapi beban terhadap urusan rumah tangga belum selesai, seperti menyelesaikan pekerjaan domestik dan mengasuh anak. Beban-beban tersebut dikerjakan secara terus-menerus dan wajar jika akan merasa kelelahan. Nah, ambivalensi bisa lahir akibat faktor-faktor beratnya beban yang diterima oleh seorang ibu, seperti contoh yang disampaikan diatas.
Pengakuan atau anggapan lazim terhadap terjadinya ambivalensi ini akan memberikan sedikit ruang atau justru dapat perlahan menghapus pandangan negatif tentang seorang ibu yang memilih tidak menggunakan standar pengasuhan yang dikonstruksikan oleh masyarakat umum. Khususnya, bahwa romantisme keibuan tidak selalu memiliki dampak yang positif,
Kita boleh memiliki pandangan bahwa ibu adalah sosok yang tidak pernah memiliki rasa lelah dan selalu dipenuhi rasa kasih sayang. Tetapi, hal tersebut bukan sebagai alasan kita untuk memberikan berbagai beban pekerjaan kepada seorang ibu, karena itu bagian dari penindasan.
Islam telah membahas mengenai pengasuhan anak, salah satunya telah dijelaskan dalam kitab Manba’us sa’adah karya Kiai Abdul Faqihuddin Qodir telah menjelaskan pentingnya pembagian tugas pengasuhan anak. Seorang suami maupun istri harus mempunyai kesadaran bahwa mengasuh adalah tugas bersama, bukan hanya tugas seorang suami satu saja atau istri saja tetapi keduanya. Anjuran tersebut tentu berdasar pada konsep mubadalah yang memiliki tujuan menciptakan kemaslahatan dan keharmonisan dalam keluarga.
Tulisan ini memberikan sedikit pengetahuan mengenai pentingnya memahami seorang ibu yang juga manusia biasa. Manusia yang berhak untuk istirahat, mendapatkan ruang untuk meluapkan emosinya dan mendapatkan kasih sayang yang tepat dari orang sekelilingnya. Semoga tulisan ini memberikan pengantar pada para pembaca dan membuka kesadaran bahwa terdapat beberapa hal di sekeliling kita yang perlu kita perhatikan. Sekian. []