Siapapun, saya pikir tidak ingin mengalami kekerasan dalam relasi personalnya. Entah fisik, verbal, seksual atau psikis. Nah kali ini mari kita cerita soal diem-dieman, tindakan yang nampak sepele tapi berimbas pada psikis pasangan.
Mendiamkan pasangan tanpa alasan yang jelas, adalah bentuk silent treatment, yang bisa berujung pada hubungan toxic dan abusive. Sebagian lagi, ada yang menyebut silent treatment sebagai bentuk kekerasan verbal dalam bentuk lain.
Sebab ia menghambat komunikasi yang seharusnya dibangun dengan pembicaraan dan pemecahan masalah yang sehat. Apapun itu, mendiamkan pasangan tetaplah kekerasan yang berpotensi mengganggu keharmonisan hubungan dan kesehatan mental seseorang.
Perlu dicatat, silent treatment menjadi kekerasan ketika tujuannya untuk menguasai, mengontrol dan memanipulasi emosi pasangan. Sehingga korban bersedia melakukan apapun yang diinginkan pelaku. Demi hubungannya “harmonis” kembali.
Untuk mempermudah penjelasan dan narasi yang ada, dalam satu pasangan yang melakukan silent treatment, kita sebut saja pelaku dan korban. Pelaku adalah yang melakukan kekerasan, sementara korban yang menerima dan menderita karena kekerasan. Baik laki-laki maupun perempuan bisa saja menjadi pelaku atau korban. Dalam tulisan ini, gambaran silent treatment yakni pada hubungan pacaran.
Melansir dari Tirto.id yang mengutip dari Life hack, silent treatment bisa dikatakan sebagai metode untuk memberi hukuman secara psikologis dengan mengabaikan orang lain. Baik dalam hubungan pacaran, keluarga dan pertemanan, yang seolah memperlihatkan sikat tidak peduli pada seseorang dan bahkan yang lebih buruk dari itu.
Pertengakaran dalam pacaran tentu sering kita jumpai, bahkan sebagian dari kita pernah mengalaminya. Penyebabnya beraneka ragam, mulai dari cemburu sampai hadirnya orang ketiga alias perselingkuhan lalu munculah perdebatan. Perdebatan berlangsung, tidak ada yang mau mengalah dan terus saling menyalahkan, sampai salah satu pihak memilih diam. Dalam kasus ini, kedua belah pihak membutuhkan waktu untuk diam sebagai cara meredakan amarahnya, mengelola emosi yang tengah bergejola dalam dirinya. Sehingga diam menjadi semacam proses healing.
Silent treatment tentu beda dengan proses healing. Pasti, kita pernah juga berada di situasi yang tengah genting-gentingnya dengan pacar, kemudian ketika bertemu justru bertengkar. Di waktu yang lain, salah satu pihak ada yang secara tiba-tiba dingin, jutek, lalu diam padahal korban tidak bikin kesalahan.
Pelaku diam. Mendiamkan korban selama berhari-hari. Menjadikan diam sebagai alat untuk ‘menguasai’ pasangan. Efeknya pada tubuh dan mental korban apa? Tentu saja, selain kepikiran berhari-hari, timbul cemas, nafsu makan menurun, aktivitas dan self-esteem terganggu.
Secara fisik otak akan merespons dengan anterior cingulate yang mengidentifikasi rasa sakit manusia. Gejala umumnya sakit kepala, sulit tidur atau insomnia, gangguan kecemasan, dan kelelahan. Efek jangka panjangnya juga cukup berbahaya bisa mengakibatkan diabetes, penyakit jantung, darah tinggi dan lainnya.
Bagaimana tidak, pihak yang mendapati perlakuan didiemin berhari-hari pasti memikirkan, apakah ada kesalahan atau tidak? kenapa ngediemin? Apakah harus meminta maaf? Perasaan semacam itu, hadir untuk mendapatkan kembali kebaikan pelaku agar hubungan seperti semula. Lalu, munculah keinginan untuk meminta maaf padahal tak berbuat kesalahan apapun. Ini yang jadi target pelaku, merasa berkuasa atas pasangannya sehingga bebas melakukan apa saja termasuk membuat dirinya merasa bersalah.
Silent treatment berbeda dengan menunda pembicaraan. Bila menunda pembicaraan adalah mengambil waktu untuk mendinginkan kepala dan tetap membicarakannya, sedang silent treatment menolak membahas masalah baik saat itu juga maupun di kemudian hari. Ketika pelaku mengabaikan, tidak menghargai, mendiamkan, menunjukkan sikap dingin berhari-hari, korban merasa tidak dicintai dan berarti untuk pelaku ini tandanya silent treatment sedang bekerja.
Mengabaikan pasangan tentu berpengaruh ke cara pandang korban. Korban merasa ragu akan dirinya sendiri dan parahnya dia akan kehilangan diri sendiri atau disorientasi. Seharusnya sebagai pasangan, saling bersinergi dan mendukung bukan merendahkan salah satu pihak.
Nah berangkat dari situ, berhentilah melakukan silent treatment. Jangan dilanjutkan lagi! Tidak usah menyiksa anak orang dengan merusak kesehatan mentalnya.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, kekerasan dalam pacaran sepanjang tahun 2019 ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari angka tersebut berdasarkan ranahnya, tercatat sebanyak 2.056 kekerasan psikis, 4.783 kekerasan fisik, 2.807 kekerasan seksual dan 1.459 kekerasan ekonomi. Tidak perlu menambah angka lagi, cukup berhenti melakukan kekerasan psikis salah satunya silent treatment ini.
Sayangnya banyak yang belum menyadari bahwa silent treatment dapat memicu kekerasan psikis. Pelaku yang seenaknya, merasa mampu mendominasi korban. Kalau mentalnya sudah terguncang, akan berpengaruh ke banyak hal. Belum lagi menghadapi stigma masyarakat terkait mental illness semakin menyulitkan posisi korban.
Mengatasi silent treatment dengan cara komunikasi yang terbuka dan melakukan kompromi. Beri tahu kalau ada masalah yang memang harus diselesaikan. Bila, masih merasa membutuhkan waktu tegaskan dan atur jadwal untuk kembali menyelesaikan masalah. Beri tahu pasangan, mendiamkan itu sama dengan menyiksa. Membuat salah satu pihak tidak nyaman.
Terus jalin komunikasi yang efektif, percakapan yang membangun dan evaluasi hubungan menjadi kunci berakhirnya silent treatment. Beri pemahaman bahwa diam tanpa alasan adalah kekerasan. Ingat lagunya D’massive “Kau diam tanpa kata, kau seolah jenuh padaku, ku ingin kau bicara, katakan saja apa salahku”, kondisi yang tepat untuk menggambarkan hubungan yang dibumbui kekerasan psikis. []