• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Mengasuh Anak Tanggung Jawab Siapa?

Mengasuh anak adalah baik dan mulia. Mencari nafkah adalah baik dan mulia. Dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Ketika mereka menikah, maka yang ideal, baik mengasuh anak maupun mencari nafkah sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
11/10/2022
in Hukum Syariat, Rujukan
0
Mengasuh Anak Tanggung Jawab Siapa?

Mengasuh Anak Tanggung Jawab Siapa?

1.7k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Mengasuh anak adalah baik dan mulia. Mencari nafkah adalah baik dan mulia. Dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Ketika mereka menikah, maka yang ideal, baik mengasuh anak maupun mencari nafkah sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama. Mengasuh anak hanya menjadi tanggung jawab istri adalah pandangan yang keliru. Artikel ini akan membahas mengasuh anak tanggung jawab siapa?

Jika merujuk pada dasar-dasar normatif Islam mengenai mengasuh anak hanya menjadi tanggung jawab istri, jawabannya juga tidak. Karena ayat al-Qur’an dan teks Hadits mengasuh anak maupun mencari dan memenuhi nafkah berlaku untuk laki-laki dan perempuan.

Seperti ayat pendidikan keluarga pada surat at-Tahrim (QS. 66: 6) dan hadits Nabi Saw tentang pendidikan kedua orang tua yang akan mempengaruhi agama anak yang awalnya adalah fithrah, atau suci (Sahih Bukhari, no. 1373).

Begitupun hadits-hadits tentang teladan Nabi Saw, sebagai laki-laki, yang mengasuh Hasan ra, Husein ra, dan Ummah ra adalah sangat banyak dan jelas. Nabi Saw bermain dengan mereka, memangku, menggendong, bahkan membawa mereka ke masjid untuk shalat (Sunan Abu Dawud, no. 1111; Sunan at-Turmudzi, no. 4143; Sunan Ibn Majah, no. 3731; Sunan an-Nasai, no. 1424 dan 1149; Musnad Ahmad, no. 16279, 24361 dan 28295).

Beberapa catatan hadits menyebutkan bahwa Nabi Saw pernah shalat dengan tetap menggendong Umamah bint Abu al-‘Ash ra. Ketika beliau sujud, Umamah diletakkan terlebih dahulu, dan ketika mau berdiri digendong lagi (Sahih Bukhari, no. 515; Sahih Muslilm, no. 1240; Sunan Abu Dawud, no. 918; Muwaththa’ Malik, no. 415; dan Musnad Ahmad, no. 22960).

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Ayat-ayat dan hadits-hadits tentang bekerja, amal, kasab, infaq dan nafaqah juga sejatinya berlaku umum. Semua teks tentang hal ini menyapa laki-laki dan perempuan. Sebagaimana ayat dan hadits tentang iman, islam, shalat, haji, dan zakat yang menyapa laki-laki dan perempuan. Karena bekerja, menghasilkan uang, dan memenuhi kebutuhan adalah karakter manusia. Ada pada laki-laki dan perempuan. Perempuan yang bekerja dan menafkahi keluarga pada masa Nabi Saw juga menjadi preseden yang tercatat dalam berbagai kitab hadits maupun sejarah.

عَنْ رَائِطَةَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَأُمِّ وَلَدِهِ وَكَانَتِ امْرَأَةً صَنَاعَ الْيَدِ قَالَ فَكَانَتْ تُنْفِقُ عَلَيْهِ وَعَلَى وَلَدِهِ مِنْ صَنْعَتِهَا قَالَتْ فَقُلْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ لَقَدْ شَغَلْتَنِى أَنْتَ وَوَلَدُكَ عَنِ الصَّدَقَةِ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَتَصَدَّقَ مَعَكُمْ بِشَىْءٍ فَقَالَ لَهَا عَبْدُ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِى ذَلِكَ أَجْرٌ أَنْ تَفْعَلِى فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ ذَاتُ صَنْعَةٍ أَبِيعُ مِنْهَا وَلَيْسَ لِى وَلاَ لِوَلَدِى وَلاَ لِزَوْجِى نَفَقَةٌ غَيْرُهَا وَقَدْ شَغَلُونِى عَنِ الصَّدَقَةِ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِشَىْءٍ فَهَلْ لِى مِنْ أَجْرٍ فِيمَا أَنْفَقْتُ قَالَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْفِقِى عَلَيْهِمْ فَإِنَّ لَكِ فِى ذَلِكَ أَجْرَ مَا أَنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ (مسند أحمد، رقم: 16334).

Dari Raithah ra, istri Abdullah bin Mas’ud dan ibu anaknya, seorang perempuan yang bekerja dengan kerajinan tangan,  hasilnya untuk menafkahi suaminya dan anak-anaknya. Suatu saat dia berkata pada Abdullah bin Mas’ud ra, sang suami: “Kamu dan anakmu membuatku tidak bisa bersedekah (karena hasil kerjaku untuk kalian semua)”. “Aku juga tidak senang jika hal ini tidak membuatmu memperoleh pahala”, jawab suaminya.

Lalu, Raithah mendatangi Rasulullah Saw dan bertanya: “Wahai Rasul, aku perempuan pekerja, dengan membuat sesuatu dan menjualnya, sementara tidak ada nafkah untuk (memenuhi kebutuhan) suami dan anak-anakku (kecuali dari hasil kerjaku). Mereka semua, karena itu, membuatkan tidak bisa ikut bersedekah. Apakah aku memperoleh pahala dengan kerja dan nafkah yang aku berikan?”. Rasulullah Saw menjawabnya:
“Ya, nafkahilah mereka dan kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka”. (Musnad Ahmad, no. 16334).

Namun, secara faktual, kultural, dan sosial, terutama pada masa lalu, memang lebih banyak perempuan yang mengasuh anak di rumah dan lebih banyak laki-laki yang mencari nafkah di luar rumah. Pembagian ini, bisa jadi, dimaksudkan agar tatanan keluarga bisa harmonis, saling berbagi dengan tanggung-jawab masing-masing.

Tetapi ketika banyak kondisi sosial, sebagaimana sekarang, yang menuntut perempuan untuk bekerja di luar rumah, atau kondisi yang memaksa laki-laki tidak lagi memiliki kerja, pembagian peran tersebut tidak lagi ideal dan harus diinterpretasikan.

Apalagi pandangan tersebut telah melahirkan diskriminasi, dimana mengasuh anak yang menjadi tanggung jawab perempuan tidak diapresiasi secara faktul dibanding mencari nafkah yang menjadi tanggung jawab laki-laki. Yang mencari nafkah dianggap kepala keluarga, yang selalu memegang keputusan, diikuti, dilayani, dan dihormati.

Sementara yang mengasuh anak, yaitu perempuan, mencari waktu untuk istirahat saja sangat sulit, karena dibarengi juga dengan seluruh pekerjaan rumah tangga yang lain. Diskriminasi ini bertentangan dengan norma dasar Islam.

Karena itu, yang ideal dari sisi dasar norma Islam, sesungguhnhya adalah bahwa setiap kebaikan itu adalah mulia. Ia dikerjakan oleh laki-laki maupun perempuan. Mengasuh anak adalah baik dan mulia. Mencari nafkah adalah baik dan mulia. Dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Ketika mereka menikah, maka yang ideal, baik mengasuh anak maupun mencari nafkah sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama.

Tanggung jawab bersama ini bukan berarti keduanya harus selalu bersama dan dengan intensitas dan kualitas yang sama, untuk mengasuh dan mencari nafkah. Bukan. Tetapi menjadi komitmen dan perhatian bersama, yang praktiknya bisa disesuaikan dengan kapasitas, kondisi, kesempatan, dan kesepakatan. Bisa jadi bersama-sama, jika memungkinkan.

Namun, terkadang banyak kondisi yang membuat pasangan pasutri harus berbagi. Yang satu mengasuh anak dan yang lain mencari nafkah. Pembagian ini juga baik selama tidak membuahkan diskriminasi dan tidak menutup pembagian peran tersebut dan membakukannya secara final. Lagi-lagi, karena dasar pengasuhan adalah baik dan tanggung-jawab bersama. Begitupun mencari nafkah adalah baik dan tanggung-jawab bersama.

Memang, laki-laki dipanggil duluan untuk bertanggung-jawab mencari nafkah. Karena dalam relasi pernikahan perempuan akan berpotensi hamil, melahirkan, dan menyusui. Sebuah peran reproduksi yang cukup melelahkan  yang harus diimbangi oleh tanggung-jawab suaminya untuk bekerja dan memenuhi kebutuhanya.

Tetapi norma dasarnya adalah mengasuh anak dan mencari nafkah adalah hal mulia dalam Islam. Bisa dilakukan laki-laki dan bisa perempuan. Kedua hal ini, dalam relasi pernikahan, menjadi tanggung-jawab bersama suami dan istri, yang implementasinya disesuaikan dengan keadaan dan kesepakatan. Kondisi perempuan yang hamil, melahirkan, dan menyusui harus diperhatikankan untuk memutuskan siapa berperan apa dalam pengasuhan maupun mencari nafkah.

Perhatian ini diperlukan untuk memastikan tidak ada kekerasan, keburukan, diskriminasi, beban yang tidak seimbang, terutama yang dialami oleh perempuan. Sebaliknya, untuk memastikan tanggung jawab bersama, relasi kesalingan, kerjasama, dan kemitraan dalam pernikahan yang keduanya mengalami sakinah, serta bisa menjadi maslahah (menghadirkan kebaikan), untuk mereka berdua, anak-anak, dan masyarakat, fiddunya wal akhirah.

Demikian penjelasan terkait mengasuh anak tanggung jawab siapa? Wallah a’lam. [Baca juga: Pola Mengasuh Anak dalam Islam]

Tags: keluargaMengasuh anakorang tuaParenting Islamiperempuan bekerja
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

2 Mei 2025
Metode Mubadalah

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Kontroversi Nikah Batin

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

22 April 2025
Idul Fitri

Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

30 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version