Menarik sekali kalau kita membaca pidato pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si, M.A,Ph.D, selanjutnya disebut Prof Alimatul pada kamis 17 September 2020. Ditengah kegalauan persoalan kajian feminis yang selalu dibenturkan dengan agama Islam, judul yang diangkat dalam penyampaiannya yakni “Arah Gerakan Feminis Muslim di Indonesia”.
Berangkat dari kegelisahan masalah-masalah perempuan, mulai dari diskriminasi yang dialami perempuan, hingga label negatif yang melekat pada perempuan, Prof Alimatul menggunakan kerangka logisnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan agar setara dengan laki-laki. Baginya, feminis bukan hanya perempuan semata. Laki-laki ataupun perempuan yang menyadari akan hak-hak perempuan dan mencoba mencari jalan keluar atas permasalahan yang begitu kompleks disebut feminis.
Dalam penyampaiannya, ia membedakan antara Feminis Islam dan Feminis Muslim. Feminis Islam menunjukkan tradisi Islam sebagai landasan pertimbangan, sedangkan Feminis Muslim lebih karena seseorang beragama Islam namun dia sendiri tidak serta merta menaruh perhatian atau menggabungkan ajaran Islam dengan feminismenya. Dalam konteks ini, feminis muslim juga menjadi bagian yang meletakkan keberagaman pengalaman perempuan sebagai spirit. Islam bahkan hadir sebagai rahmat bagi semua keragaman tersebut, Islam Rahmatal lil ‘Alami.
Dari berbagai pengalaman yang hampir sama dialami oleh sesama perempuan, perlunya pengalaman tersebut menjadi landasan perempuan untuk speaking for others bagi perempuan lain. Meskipun tidak semua pengalaman perempuan sama, misalnya masalah jilbab, sebagian perempuan menganggap jilbab sebagai simbol kebebasan, sedangkan bagi sebagian yang lain menganggap simbol penindasan. Sehingga para feminis muslim berusaha keras untuk membangun kesadaran masyarakat dalam meluruskan pemahaman feminis yang selalu dikatakan tidak sesuai dengan konteks ajaran Islam.
Padahal, para Feminis Muslim berusaha mengkaji melalui hermeneutik dan sejarah yang amat panjang dengan tafsir Al-Quran melalui pendekatan bayani, burhani dan irfani. Para Feminis Muslim mengimpelementasikan nilai-nilai etik yang berlaku di masyarakat, serta menjalankan ritual-ritual agama seperti puasa, shalat, zakat dan haji. Unsur kemanusiaan tetap mereka junjung tinggi, sebab kesadaran hidup bersosial serta memperjuangkan hak-hak perempuan juga harus dilakukan dengan cara yang berbeda dan elegan.
Ada tiga lokus pergerakan feminis muslim di Indonesia yakni: Tubuh perempuan, keluarga dan peran publik. Pertama, lokus ubuh perempuan, dalam hal ini menutup aurat. Para Feminis Muslim beranggapan bahwa menutup aurat adalah kebebasan seorang perempuan. Persoalan ini dianggap sebagai pilihan dirinya dalam menjalani kehidupan, meski demikian, jilbab menjadi kontroversi ketika berbicara di depan para Feminis Barat bahwa jilbab akan menghalangi gerak perempuan dalam menyuarakan hak-haknya serta sebagai simbol penindasan.
Meski demikian, para Feminis Muslim menjadikan jillbab sebagai kebebasan untuk memilih tubuh mana yang akan ditutupi serta yang boleh diperlihatkan kepada orang lain, disamping itu jilbab sebagai strategi gerakan dan bagian dari sosial masyarakat muslim, hidup di tengah-tengah masyarakat muslim serta bekerja di tatanan instansi yang mayoritas muslim. Sehingga persoalan penampilan menjadi strategi dakwah agar bisa diterima oleh masyarakat luas dalam mengkampanyekan keadilan dan kesetaran yang lebih baik.
Kedua, lokus keluarga. Para feminis bukanlah menentang institusi keluarga. Mereka menjadikan menikah atau institusi keluarga sebagai pilihan dirinya sebagai makhluk yang merdeka, akan tetapi sangat ditentang oleh para feminis apabila institusi keluarga menjadi ladang berkembangnya budaya patriarkhi yang sangat merugikan perempuan, misalnya dengan model tafsir tungal yang terjadi di kalangan masyarakat luas.
Hal tersebut tercermin dalam pencarian nafkah, misalnya; suami bekerja, istri tidak. Istri bekerja, suami tidak, dua-duanya mencari nafkah, dua-duanya tidak mencari nafkah, dan single parent. Satu model semacam ini bagi para feminis sangat tidak adil dan merugikan para perempuan.
Dengan demikian, keluarga harus menjadi ladang atas terciptanya relasi perempuan dan laki-laki yang seimbang, menjamin tidak adanya segala bentuk diskriminasi, penganiayaan, penindasan, , menjamin tumbuh kembang semua anggota keluarga, meyakini bahwa semua peran dalam keluarga bisa menjadi kunci untuk mencapai surgaNya. Melalui pemahaman yang demikian, diperlukan diskusi panjang dan membangun kesadaran yang utuh antara laki-laki dan perempuan sehingga tercipta institusi keluarga sesuai dengan yang diharapkan.
Ketiga, lokus peran publik. Kelompok Muslim yang moderat dan progresif tidak pernah mempermasalahkan kepemimpinan perempuan dalam ranah publik. Bahkan dalam sepak terjang sejarah Tradisi Arab, serta sejarah Indonesia. Banyak sekali tokoh perempuan yang menjadi pemimpin di ruang publik. Kisah yang jelas dalam Al-Qur’an yakni Ratu Bilqis sebagai salah satu cerminan atas kepemimpinan perempuan yang sukses memimpin sebuah kelompok.
Para Feminis Muslim berusaha memperjuangkan agar lokus ini sebagai upaya signifikan untuk memperkenalkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk berjuang dalam ranah publik. Perjuangan ini bukan semata-semata atas ego semata, akan tetapi banyak perempuan dalam sejarah yang diperlihatkan oleh penulis. Diantaranya: Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat (Aceh), Ratu Sinuhun (Palembang), Ratu Aisyah We Tenri Olle (Sulawesi Selatan), Raja Aisyah binti Raja Sulaiman (Kep. Riau).
Dalam Pemilu 2019, terjadi peningkatan yang signifikan atas keterlibatan perempuan dalam ranah pemerintahan. Sampai pada akhir 2019 jumlah rektor perempuan di perguruan tinggi meningkat secara signifikan, dan bahkan menunjukkan jumlah yang terbnayak dalam sejarah Indonesia.
Pada tahun 2014 hanya ada 4 rektor perempuan (UGM, UNHAS Makassar, Univ. Sriwijaya Sumsel, dan Universitas Terbuka Jakarta). Sedangkan sampai 2019 tersebut naik menjadi 8 orang (UIN Jakarta, Univ. Sriwijaya Sumut, STAI Meulaboh, Univ. Muhammadiyah Sumbar, UGM, UNHAS Makassar ITB, dan Univeritas terbuka Jakarta). Di dunia pendidikan di PTKIN sampai 2020 ini, rektor perempuan baru mencapai 12% sedangkan di pengadilan agama, hakim perempuan di semua level baru mencapai 24%.
Akhirnya, penulis sampai pada kesimpulan bahwa keluarga manjadi leading sector terbesar dalam memupuk pemahaman feminis sejak dini. Hal ini sangat penting ditanamkan mengingat bahwa anak sebagai anugerah Allah yang wajib diberikan pendidikan, serta diasah kemampuannya.
Keluarga memiliki peran besar terhadap perkembangan yang akan dilakukan oleh perempuan. Keluarga sebagai lembaga pendidikan utama bagi seorang anak harus menjadi institusi yang ramah dalam menyebarkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan serta sikap toleransi terhadap anak. Berangkat dari kebiasaan ini, seorang anak sudah merdeka sejak dini dalam pemikirannya dengan cara memanusiakan manusia. Tanpa melihat perbedaan jenis kelamin yang dimiliki.
Institusi yang bernama keluarga menjadi salah satu sektor utama penghambat yang akan dilalui oleh perempuan dalam mengekspresikan segala bentuk cita-cita dan impian yang awalnya menjadi catatan utama seorang perempuan. Budaya patriarkhi yang begitu kuat menyebabkan institusi keluarga menjadi arah ruang pengorbanan perempuan yang justru membelenggu perempuan serta tidak bisa berekspresi di ruang publik. Maka dari itu, sudah seharusnya pemahaman feminis dalam keluarga harus ditanamkan untuk memperkuat relasi antara laki-laki dan perempuan, baik dalam ruang private maupun publik. []