• Login
  • Register
Kamis, 2 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Benarkah Menikah itu Separuh Agama?

Menikah tidak bisa disebut sebagai separoh agama dalam arti ibadah ritual, sebagaimana sholat dan puasa. Karena maksud dīn dalam hadits adalah komitmen, tanggung-jawab dan amanah untuk mu’āsyarah ma’rūf dengan pasangan yang dinikahi.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
13/11/2021
in Hukum Syariat, Konsultasi
0
Menikah itu Separuh Agama

Menikah itu Separuh Agama

441
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ungkapan  Menikah itu separuh agama begitu terkenal di kalangan orang-orang yang membicarakan pernikahan dalam Islam. Frase ini sering muncul dalam nasihat-nasihat perkawinan, ceramah tentang hak dan kewajiban pasangan suami istri, kuliah tujuh menit di kalangan anak-anak muda yang memberi semangat mereka untuk menikah, tulisan populer di website tentang isu ini, atau status dan komen-komen di media sosial.

Lalu apakah dasar dari ungkapan ini? Apa makna dari menikah itu separuh agama? Apakah berarti orang  yang belum atau tidak menikah, begitupun yang bercerai atau suaminya mati atau istrinya, ada anggapan orang yang agamanya hanya separuh? Atau ini hanya metafor bagi sebuah hubungan timbal-balik antara suami dan istri? Bagaimana perspektif mubadalah memaknai ungakapan ini?

Frase ini merupakan ungkapan lain dari teks hadits yang biasa ada yang mengartikan secara literal demikian: “Apabila seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya, maka bertakwalah pada sisanya”. Teks hadits ini tidak diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits utama yang enam (kutub as-sittah), seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmudzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah. Bahkan, tidak ada juga pada kitab Muwatta’ Imam Malik dan Musnad Ahmad bin Hanbal.

Tetapi, teks ini terdpat dalam Silsilah al-Ahadith ash-Shahihah karya Al-Albani, yang merujuk pada Kitab al-Mu’jam al-Awsath Imam ath-Thabrani. Al-Albani sendiri mengatakan, semua riwayatnya lemah, tetapi di akhir: ada yang menyebut sahih. Dengan mengandaikan kesahihan teks hadits ini, lalu apa maknanya? Baiklah kita turunkan teks aslinya:

إذا تزوج العبد، فقد استكمل نصف الدين، فليتق الله فيما بقي

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih
  • 7 Prinsip Dalam Berkeluarga Ala Islam

Baca Juga:

Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

7 Prinsip Dalam Berkeluarga Ala Islam

“Apabila seseoran menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh din, dan bertakwalah kepada Allah dalam (separuh) yang sisa”.

Kata “din” memang berarti agama, tetapi bukan berarti seluruh ajaran agama, dimana menikah kemudian menjadi separuh dari seluruh ajaran agama Islam. Tidak demikian. Lebih tepatnya, kata “din” di sini adalah ajaran-ajaran agama terkait akhlak mulia relasi pernikahan. Ditambah dengan makna etimologis lain dari “din” yaitu hutang dan tanggung-jawab, maka di teks hadits ini juga berarti komitmen pada tanggung-jawab pernikahan.

Artinya, kata “dīn” pada teks hadits mengenai “nikah sebagai separuh agama”, adalah mengenai komitmen berelasi dalam pernikahan yang didasarkan pada ajaran al-Qur’an, yaitu saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bi al-ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19). Dimana, jika baru ada komitmen sepihak, baru disebut sebagai “separuh agama”, atau separuh komitmen.

Makna demikian akan lebih jelas jika dikaitkan dengan teks hadits serupa dalam riwayat lain (disebutkan al-Albani juga setelah teks hadits di atas), bahwa “seorang laki-laki yang menikahi perempuan shalihah, ia baru dapat separuh agama (komitmen dari perempuan shalihah tersebut)”. Dianggap separuh, karena baru dari satu pihak (dari istri terhadap suami), maka harus dilengkapi dengan separuh lagi dari pihak lain (suami terhadap istri) agar lengkap menjadi komitmen yang utuh.

Inilah yang disebut relasi yang timbal-balik, resiprokal, kesalingan, atau mubadalah antara suami dan istri. Dengan relasi ini, suami dan istri sama-sama memiliki komitmen dan tanggung jawab  untuk mengimplementasikan prinsip relasi mu’asyarah bil ma’ruf yang diharapkan al-Qur’an.

من رزقه الله امرأة صالحة، فقد أعانه على شطر دينه، فليتق الله في الشطر الثاني

“Barangsiapa yang diberi anugerah oleh Allah seorang istri shalihah, maka ia telah tertolong separuh tanggung-jawabnya (melalui komitmen sang istri), maka bertakwalah kepada Allah (agar ia juga memiliki komitmen) pada separuh (tanggug-jawab) yang lain”.

Teks hadits ini menegaskan bahwa jika pernikahan disebut sebagai komitmen untuk menerapkan prinsip saling berbuat baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dan akhlak mulia (makarim al-akhlaq), maka keberadaan istri shalihah baru separuhnya saja. Separuh yang lain, untuk menyatukan komitmen dan tanggungj-jawab ini, adalah dari pihak suami yang shalih. Dengan suami shalih dan istri shalihah ini, maka komitmen dan tanggung-jawab beragama dalam hal nikah telah menjadi sempurna.

Dengan demikian, mengungkapkan “menikah adalah separuh agama” sebagai penegasan karakter ibadah dalam menikah sesungguhnya tidak tepat. Karena menikah itu baru sarana bagi seseorang untuk melakukan kebaikan, tetapi juga bisa berubah menjadi sarang keburukan. Karena itu dalam fiqh, hukum menikah bisa haram jika tujuan dan isinya adalah justru keburukan, dan bisa wajib dan sunnah jika untuk kebaikan.

Karena menikah baru menjadi sarana, maka ia tidak disejajarkan dengan praktik ibadah agama seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Tentu saja, menikah bisa disebut sebagai ibadah, jika dimaknai sebagai sarana yang kondusif bagi kedua belah pihak untuk melakukan hal-hal baik yang diperintahkan agama.

Dus, menikah tidak bisa disebut sebagai separuh agama dalam arti ibadah ritual, sebagaimana sholat dan puasa. Karena maksud dīn dalam hadits adalah komitmen, tanggung-jawab dan amanah untuk mu’āsyarah ma’rūf dengan pasangan yang dinikahi. Bahwa seseorang yang menikah dan telah memperoleh pasangan yang shalih itu baru dapat separuh modal untuk memuluskan komitmen tersebut.

Sehingga ia masih memerlukan separuh yang lain dari dirinya sendiri agar menjadi satu modal utuh untuk komitmen yang kokoh. Perempuan shalihah adalah  separuh modal dan laki-laki shalih adalah separuh modal, yang jika digabungkan akan menjadi satu modal yang utuh dan sempurna dalam mengelola kehidupan berpasangan, pernikahan, keluarga, dan rumah tangga.

Lebih lanjut lagi, bisa dinyatakan bahwa tujuan pernikahan itu seyogyanya menjadi tujuan bersama kedua belah pihak, suami dan istri, agar bisa digotong bareng secara utuh. Jika hanya oleh satu orang saja, maka ia baru separuh, dan memerlukan separuh yang lain. Di samping empat tujuan yang disebutkan Nabi Saw, ketentraman finansial, sosial, biologis, dan moral-spiritual, tentu saja ada tujuan-tujuan lain, seperti keinginan memperoleh anak keturunan, generasi penerus, memperkuat da’wah, politik, maupun kekuasaan.

Semua tujuan ini sah dan bisa dibenarkan selama tidak dilakukan dengan menegasikan kemanusiaan pasangan. Seperti dengan pemaksaan kehendak dan segala bentuk kekerasan, serta kezaliman. Karena  pemaksaan, kekerasan, dan kezaliman diharamkan Islam dan berlawanan dengan akhlak mulia yang menjadi pondasi moral dalam pernikahan, yaitu mu’āsyarah ma’rūf.

Tujuan-tujuan ini akan lebih kokoh lagi jika dikaitkan dengan motivasi hidup dalam Islam, yaitu mencapai keridhoan Allah Swt untuk membaktikan diri demi kemaslahatan bersama dalam keluarga (dzurriyah thayyibah), kebaikan masyarakat dan umat (khairu ummah), serta kemakmuran negara (baldah thayyibah). Sebagaimana dalam teks hadits yang akan dibahas, ikatan pernikahan ini dianggap sebagai penerimaan amanah dari Allah Swt dan perilaku keduanya, satu terhadap lain, juga dianggap sebagai bagian dari ketakwaan kepada-Nya.

Dalam konteks lain, menikah juga dianggap sebagai sunnah Rasul, Nabi Muhammad Saw, sebagaimana juga akan dijelaskan. Dus, kebaikan dan kemaslahatan keluarga adalah tujuan awal, pondasi dan kompas yang memandu jalannya biduk rumah tangga agar sampai pada tujuan akhir secara berkesinambungan yaitu kebaikan dunia (fiddunyā hasanah) yang dinikmati bersama, dalam balutan motivasi ibadah dan sunnah, sehingga juga kelak memperoleh kebaikan akhirat (fil ākhirah hasanah) yang diperoleh bersama. []

 

Tags: islamKesalinganMubadalahperkawinanRelasi Suami dan Istri
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir, biasa disapa Kang Faqih adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun, salah satu wakil ketua Yayasan Fahmina, dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan ISIF Cirebon. Saat ini dipercaya menjadi Sekretaris ALIMAT, Gerakan keadilan keluarga Indonesia perspektif Islam.

Terkait Posts

Hukum Aborsi

Fatwa KUPI (Bukan) Soal Hukum Aborsi

29 Desember 2022
Khitan Perempuan

OIAA-Cairo: Mengharamkan Khitan Perempuan Sesuai Syari’ah Islam

19 Desember 2022
Khitan Perempuan

Ulama Dunia Desak Hentikan Khitan Perempuan

13 Desember 2022
Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran

Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran Menurut Syekh As-Sya’rawi

2 Desember 2022
Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

9 November 2022
Cara Menentukan Waktu Berbuka Saat Berada di Pesawat

Cara Menentukan Waktu Berbuka Saat Berada di Pesawat

30 Oktober 2022
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nyadran Perdamaian

    Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA
  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist