• Login
  • Register
Sabtu, 1 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Menilik Akar Ketidakadilan Gender Dalam Wajah Islam

Menurut Mernissi, jika hak-hak perempuan menjadi masalah bagi beberapa muslim laki-laki modern (hari ini), itu bukan karena al-Qurannya, bukan karena hadistnya, juga bukan karena tradisi Islam, melainkan karena hak-hak itu bertabrakan dengan kepentingan elit laki-laki tertentu.

Siti Rofiah Siti Rofiah
09/04/2021
in Hukum Syariat
0
Gender

Gender

147
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berbagai kisah pilu tentang ketidakadilan gender yang mengorbankan perempuan dengan mudah kita temui dalam tayangan berita. Beberapa contoh yang cukup mencolok antara lain kasus Aceng Fikri pada tahun 2012. Mantan Bupati Garut ini menceraikan istrinya, Fani Oktora, empat hari setelah menikah melalui sebuah SMS. Alasannya ternyata sang istri sudah tidak perawan dan ia merasa tertipu. Menurutnya ini sah dan sesuai dengan hukum agama, karena ia sudah membayar mahar, maka jika yang “sudah dibayar” tidak sesuai harapan ia berhak melepasnya.

Kasus lain, tahun 2013 hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan menolak gugatan Machica Mochtar tentang status hukum anaknya yang lahir dari perkawinan sirri dengan mantan pejabat tinggi negara, Moerdiono. Pada 2014 permohonan kasasinya juga ditolak Mahkamah Agung. Padahal Machica sudah memberikan bukti hasil test DNA yang menunjukkan bahwa Moerdiono merupakan ayah biologis dari anaknya. Namun hakim Pengadilan Agama menyatakan bahwa test DNA tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an sehingga bukti tersebut tidak dapat digunakan.

Selama ini cukup banyak nash al-Qur’an dan hadist yang digunakan untuk mendukung argumen marginalisasi perempuan, sebaliknya tidak banyak nash al-Qur’an dan hadist yang digunakan untuk mendukung dan menguatkan hak-hak perempuan. Seperti pada kasus di atas, test DNA tentu saja tidak ada dalam al-Qur’an karena pada jaman Nabi teknologi belum tercipta.

Lantas bagaimana cara perempuan mendapatkan keadilan jika anak yang lahir dari perkawinan sirri itu tidak diakui secara biologis sebagai anak ayahnya padahal sudah dibuktikan secara saintifik? Padahal pengakuan ini penting untuk menjamin hak-hak anak selanjutnya.

Fakta ini cukup menggelisahkan dan mengundang banyak pertanyaan. Benarkah Allah yang Maha Adil secara sengaja menempatkan perempuan pada kelas kedua? Benarkah Nabi Muhammad yang demikian mulia akhlaknya sampai hati bersabda yang isinya merendahkan harkat dan martabat perempuan?

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan
  • Gerakan Perempuan Melestarikan Tradisi Nyadran
  • Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh
  • Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja

Baca Juga:

Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

Gerakan Perempuan Melestarikan Tradisi Nyadran

Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh

Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja

Fatima Mernissi, salah satu feminis muslimah asal Maroko dalam studinya menyimpulkan bahwa sesungguhnya Islam sangat menghargai perempuan. Banyak ayat al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Jika saat ini banyak teks agama yang terkesan meminggirkan perempuan, masalah sesungguhnya bukan terletak pada teksnya, melainkan pada cara memahaminya.

Menurut Mernissi, jika hak-hak perempuan menjadi masalah bagi beberapa muslim laki-laki modern (hari ini), itu bukan karena al-Qurannya, bukan karena hadistnya, juga bukan karena tradisi Islam, melainkan karena hak-hak itu bertabrakan dengan kepentingan elit laki-laki tertentu.

Amina Wadud juga mengatakan bahwa tafsir teks agama sangat mempengaruhi corak keagamaan seseorang. Menurutnya, al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi dalam Islam, tidak mungkin tidak adil, namun ketika ditafsirkan hasilnya akan sangat dipengaruhi oleh alam pikiran mufassirnya.

Oleh karenanya kebenaran penafsiran itu sangat relatif. Ia juga menekankan pentingnya yang sensitif gender dan berkeadilan dalam penafsiran ayat al-Qur’an. Ia menyimpulkan praktik penafsiran teks agama selama ini berangkat dari ketidakberpihakan mufassir laki-laki terhadap perempuan.

Tafsir bias gender yang berkonotasi negatif atas perempuan banyak ditemukan dalam tafsir klasik, sayangnya ini diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran. Misalnya kisah turunnya Adam dan Hawa ke bumi karena bujuk rayu Hawa kepada Adam untuk memakan buah khuldi.

Bujuk rayu Hawa ini kemudian dianggap sebagai kebenaran mutlak dan belakangan menjadi generalisasi bahwa semua perempuan adalah perayu. Contoh kontekstual saat ini adalah munculnya term “pelakor”, yang mengasumsikan bahwa terjadinya perselingkuhan adalah karena kesalahan perempuan sebagai pihak perebut.

Selain itu, Nasaruddin Umar juga mengatakan, ada dua hal yang menyebabkan kesan bahwa Islam tidak adil gender. Pertama, tumpang tindihnya pemahaman antara konsep gender dan biologis/sex/jenis kelamin. Kedua, karena penafsiran agama yang mengandung bias gender.

Selama ini banyak orang yang keliru dalam memahami kodrat manusia berkaitan dengan jenis kelaminnya. Banyak yang tidak dapat membedakan mana yang bentukan sosial (gender) dan mana yang berasal dari Allah sebagai sebuah ketetapan yang tak dapat diubah (seks). Kesalahpahaman ini pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan dan seringkali menimpa perempuan.

Beliau juga menegaskan bahwa penafsiran terhadap teks al-Qur’an selama ini banyak mengacu pada pendekatan tekstual bukan kontekstual, sehingga hasil penafsirannya menjadi bias gender. Pendapat ini didukung oleh Nur Rofiah dan ditulis dalam sebuah makalah berjudul Bahasa Arab Sebagai Akar Bias Gender Dalam Wacana Islam.

Gender

Dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa tata bahasa Arab memang lekat dengan identitas seks/kelamin. Setiap kata dalam bahasa Arab selalu berjenis kelamin yaitu mudzakkar atau mu’annats, bisa secara hakiki maupun majazi. Sebagaimana seseorang tidak bisa mengabaikan kelas sosial ketika berbicara bahasa Jawa, aturan di atas menyebabkan seseorang tidak bisa menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena dalam bahasa ini tidak ada nama yang netral.

Tata bahasa Arab juga mencerminkan masyarakat Arab yang sangat dominan maskulinitasnya dan cara pandangnya yang menempatkan perempuan secara subordinat. Satu kehadiran laki-laki lebih penting daripada keberadaan banyak perempuan, berapapun jumlahnya. Ini bisa dicontohkan pada kata benda plural (jama’) untuk sekelompok perempuan menjadi kata plural laki-laki (jama mudazkkar) jika di dalamnya ada laki-laki walaupun hanya satu orang.

Jadi karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka perlu sebuah metode penafsiran yang tidak meninggalkan spirit kesetaraan sebagai pengejawantahan dari konsep tauhid, bahwa di dalam Islam tidak ada hierarki antara laki-laki dan perempuan karena semuanya setara. Dalam Islam, hierarki yang ada hanyalah antara Khaliq dan mahkluk, yaitu Allah dan manusia, bahwa manusia adalah hamba Allah, bukan hamba sesama manusia.

Pemahaman secara tekstual terhadap ayat al-Qur’an selalu memunculkan problem serius berupa kontradiksi antara satu dengan lainnya, karena teks-teks al-Qur’an adalah rekaman atas perubahan sosial yang berlangsung selama 23 tahun masa kerasulan Muhammad Saw.

Dengan mendasarkan pendapat dari para alim di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa akar ketidakadilan gender dalam ajaran Islam adalah cara pandang dan model penafsiran yang bias terhadap teks-teks agama Islam, bukan Islam itu sendiri.

Cara pandang dan model penafsiran ini amat penting. Bagaimanapun juga peradaban Arab Islam adalah “peradaban teks”. Meski demikian, bukan berarti teks yang membangun peradaban dengan sendirinya, justru interaksi dialektika antara manusia dan teks dan segala realitas yang ada berperan penting dalam membentuk Islam hingga saat ini.

Cara pandang yang bias gender dalam penafsiran teks agama akan menjadikan wajah Islam yang tidak adil gender. Oleh karena itu metode penafsiran teks yang berdasarkan pada spirit kesetaraan sangat penting untuk mewujudkan Islam yang benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh umatnya, tidak hanya bagi laki-laki tapi juga bagi perempuan. []

 

 

 

 

Tags: Fiqih IndonesiaGenderislamkeadilanKesetaraanperempuanTafsir Adil Gender
Siti Rofiah

Siti Rofiah

Pengasuh PP Al-Falah Salatiga Jawa Tengah Alumni DKUP Fahmina Institute

Terkait Posts

Pernikahan tanpa Wali

Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali

3 Februari 2023
Hukum Aborsi

Fatwa KUPI (Bukan) Soal Hukum Aborsi

29 Desember 2022
Khitan Perempuan

OIAA-Cairo: Mengharamkan Khitan Perempuan Sesuai Syari’ah Islam

19 Desember 2022
Khitan Perempuan

Ulama Dunia Desak Hentikan Khitan Perempuan

13 Desember 2022
Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran

Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran Menurut Syekh As-Sya’rawi

2 Desember 2022
Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

9 November 2022
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Melestarikan Tradisi Nyadran

    Gerakan Perempuan Melestarikan Tradisi Nyadran

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hadis Relasi Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memaknai Kembali Hadis-hadis Pernikahan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Nabi Muhammad Saw Biasa Melakukan Kerja-kerja Rumah Tangga
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan
  • Pekerjaan Rumah Tangga Bisa Dikerjakan Bersama, Suami dan Istri

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist