Mubadalah.id – Hermeneutika menjadi salah satu diskursus keilmuan yang belakangan ini menjadi sebuah kajian yang sering dibahas. Hermeneutika sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein yang artinya menafsirkan. Banyak tokoh hermeneutika yang pemikirannya menjadi bahasan khusus dalam dunia intelektualitas. Diantaranya adalah Schleiermacher, Dilthey, Gadamer dan Habermas.
Tokoh hermeneutika yang juga tidak kalah menarik adalah Amina Wadud. Amina Wadud sendiri merupakan salah satu tokoh feminis yang pemikirannya seringkali menimbulkan kontroversi. Terlepas dari polemik yang terjadi mengenai pemikiran Amina Wadud, penulis berusaha membahas sedikit mengenai pemikiran dan sudut pandang Amina Wadud terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan perihal perempuan.
Pemikiran dan kajian Amina Wadud membahas seputar isu feminis dan gender. Hermeneutika yang ditawarkan oleh Wadud merupakan hermeneutika feminis yang menempatkan al-Quran sebagai pondasi dan obyek utamanya.
Amina Wadud mengklasifikasikan penafsiran yang membahas mengenai perempuan ke dalam tiga kategori. Kategori pertama ialah tafsir tradisional. Pada kategori tafsir tradisional ini menggunakan metodologi atomistik yakni penafsiran yang dimulai dengan pembahasan dari ayat pertama pada surat pertama kemudian beralih pada ayat kedua surat pertama hingga seterusnya.
Tafsir tradisional dalam upayanya menafsirkan Al-Qur’an, mayoritas ditulis atau ditafsirkan oleh kaum pria sehingga penafsirannya dianggap meniadakan pengalaman, perspektif dan kebutuhan perempuan. Pada kategori ini oleh Wadud dirasa kurang dalam kaitannya ‘ramah gender’.
Kategori kedua adalah kategori reaktif. Kategori ini menggambarkan reaksi pemikir modern terhadap pengalaman yang dialami perempuan baik secara individu ataupun masyarakat, dan celakanya hal tersebut dianggap berasal dari al-Quran. Mereka (para pemikir modern) meniadakan analisis yang komprehensif terhadap al-Quran. Maka kategori kedua ini oleh Wadud juga dianggap tidak sesuai dengan wacana feminis islam, karena bertolak belakang terhadap al Qur’an, yang mana al-Quran adalah sumber utama dan ideologi Islam.
Kategori ketiga ini merupakan kategori penafsiran yang ditawarkan oleh Amina Wadud, ialah metode holistik. Metode holistik adalah metode yang mempertimbangkan kembali penafsiran Al-Qur’an seraya mengaitkannya dengan isu-isu sosial, ekonomi, politik, moral dan juga mengenai isu perempuan. Selain itu, Wadud juga menaruh ‘pengalaman perempuan’ dalam interpretasi yang dilakukannya.
Dalam menganalisis ayat Al-Qur’an yang membahas mengenai perempuan, Wadud menguraikannya menjadi lima metode. Pertama, menganalisis ayat tersebut sesuai konteksnya. Kedua, menganalisis ayat tersebut sesuai konteks pembahasan topik-topik yang sama dalam Al-Qur’an. Ketiga, menganalisis ayat tersebut menggunakan unsur gramatikal dan sintaksis yang sama dalam Al-Qur’an. Keempat, menganalisis dari sudut prinsip al-Quran yang menolaknya. Kelima, menganalisis ayat tersebut menurut konteks Al-Qur’an sebagai weltanschauung.
Sebagai contoh surat an Nisa’ ayat 1. Wadud menitikberatkan pada tiga kata kunci yakni: min, nafs, dan zawj. Ketiga kata kunci ini oleh Wadud dikaji ulang menggunakan kajian hermeneutika. Hasil dari analisisnya adalah bahwa al-Quran tidak menyebutkan bahwa Allah memulai penciptaan dengan nafs Adam, seorang laki-laki.
Al-Quran hanya menyebutkan bahwa Allah memulai penciptaan dari suatu yang tunggal, yakni nafs. Penggunaan unsur gramatikal dan sintaksis sebagai alat analisis hermeneutika juga digunakan dalam penafsiran ayat satu surat an nisa’ ini. Kata min diartikan sebagai ‘dari jenis yang sama’. Sehingga pendapatnya ini menolak tafsiran yang mengartikan min sebagai ‘dari’ atau ‘penyarian dari sesuatu’.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran Amina Wadud menitik beratkan pada unsur kebahasaan , prior text dan kontekstualisasinya. Bahasa sangat berperan penting dalam wacana hermeneutika ini. Perbedaan unsur bahasa penafsir dapat menyebabkan perbedaan pembacaan makna. Unsur kebahasaan ini juga dianggap penting terlebih untuk menganalisis persoalan dimensi ghaib, yang dalam hal ini kaitannya dengan penciptaan manusia.
Kemudian mengenai prior text. Prior text adalah latar belakang, persepsi dan keadaan individu si penafsir. Hal ini dapat dikatakan sebagai subyektifitas penafsir. Dalam hermeneutika Amina Wadud, prior text berperan penting karena Amina Wadud sebagai penafsir berinteraksi dengan teks sesuai dengan situasi, kondisi dan konteks yang terjadi pada perempuan. Ayat-ayat Al-Qur’an memang tidak berubah tetapi pemahamannya dapat berubah mengikuti penafsiran si penafsir. Maka penafsir menempati posisi yang penting dan utama dalam diskursus keilmuan tafsir.
Pemikiran Amina Wadud inilah membanting budaya patriarki yang melanggengkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender yang bersembunyi dibalik dalil-dalil agama, dalil-dalil yang semestinya sesuai dengan misi Islam yakni Islam Rahmatan Lil alamin. Islam sebagai Rahmat alam semesta.
Selaras dengan apa yang dikatakan Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial bahwa tafsiran agama dapat mempengaruhi bahkan melanggengkan ketidakadilan gender maupun sebaliknya, maka Amina Wadud kiranya mengambil langkah yang tepat. Pemikirannya dan pengkajian ulang terhadap tafsir agama dirasa dapat menjadi salah satu problem solving atas wacana penafsiran yang misoginis dan tidak ramah gender. []