Mubadalah.id – Kesetaraan gender menjadi isu yang sangat menarik untuk diulas dalam berbagai hal, termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Fakih (2013) menuturkan konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Dengan melihat konsep gender tersebut, kita menilik bagaimana peran perempuan di masjid, untuk membongkar bias gender yang kerap terjadi di masjid.
Bias gender sendiri, dikutip dari koalisiperempuan.or.id mendefinisikan bias gender sebagai pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya sebagai akibat pengaturan dan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada jenis kelamin tertentu.
Sementara masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, namun juga sebagai tempat Rasulullah dalam menyampaikan ajarannya, sebagai tempat pendidikan, sosial kemasyarakatan, politik, pengadilan dan juga tempat untuk membahas tentang ekonomi umat pada zaman itu. Masjid memiliki posisi yang sangat sentral pada zaman Rasulullah Saw. Maka penting untuk menilik peran perempuan di masjid pada masa itu.
Masjid memiliki posisi penting dalam perkembangan Islam dan juga menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi umat muslim hingga saat ini. Lalu bagaimana dengan perempuan? Apakah fungsi masjid yang begitu penting tersebut juga memberikan keamanan dan kenyamanan hanya untuk laki-laki saja, namun tidak untuk perempuan? Pertanyaan yang sangat mengulik pikiran saya ketika melihat realitas di masyarakat tentang peran perempuan di masjid.
Masjid yang seharusnya menjadi tempat bersosialisasi dan tempat saling berbagi harusnya memberikan ruang yang sama kepada laki-laki maupun perempuan. Doktrin dan budaya patriarki di masyarakat yang sudah sangat kental nampaknya menjadi penyebab utama bias gender tercipta dalam berbagai tempat dan aspek kehidupan, termasuk di masjid, rumah ibadah untuk umat Rasulullah baik laki-laki maupun perempuan. Bias gender di masjid sangat ketara dan cenderung banyak menempatkan perempuan pada second position.
Hal ini dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dominasi laki-laki dalam menjalankan peran di masjid sangat jelas terlihat dimana posisi-posisi penting di masjid dipegang hampir semua oleh laki-laki. Seperti posisi takmir masjid, kordinator ibadah, ketua pengajian, ketua kepanitian hari-hari besar Islam dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan peran perempuan di masjid?
Pernahkah anda melihat peran perempuan di masjid menjadi takmir? Jika ada sekalipun mungkin akan dilihat tabu oleh masyarakat kita. Dalam melihat peran perempuan di masjid, hanya mendapat bagian-bagian yang tidak penting, seperti hanya mengurusi bagian dapur, seperti urusan konsumsi, ataupun hanya sebatas tukang bersih-bersih perabotan masjid setelah acara-acara yang dilaksanakan di masjid. Paling banter hanya sebagai guru ngaji, tidak sebagai pemangku kebijakan di masjid. Tidak hanya itu marbot atau tukang bersih-bersih masjid juga banyak didominasi oleh kaum laki-laki.
Dalam hal peribadahan bias gender juga masih sering terlihat di banyak masjid. Jarang sekali saya menemukan masjid yang memberikan posisi shaf salat di masjid yang setara yakni laki-laki dan perempuan berdampingan dalam posisi sejajar, namun dipisah oleh penyekat. Kebanyakan masjid lebih menempatkan perempuan berada di bagian belakang laki-laki, tak jarang pula perempuan berada di serambi luar masjid.
Hal tersebut sangat kentara bagaimana peran perempuan di masjid dinomorduakan dalam berbagai hal di masjid, termasuk hal beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Padahal dalam beribadah menjalankan perintah Allah tidak ada ketentuan laki-laki terlebih dahulu baru perempuan, tetapi semua makhluk terutama manusia tanpa melihat jenis kelamin memiliki kesempatan yang sama untuk mendekatkan diri kepada Allah, dalam hal ini termasuk berada di shaf terdepan dalam shalat perempuan juga memiliki hak yang sama.
Membongkar Bias Gender dengan Melihat Peran Perempuan di Masjid Pada Masa Nabi
Ingatkah dengan salah satu sahabat perempuan pada masa Rasulullah yang Bernama Ummu Mahjan. Seorang perempuan yang sudah tua namun ia menjadi tukang bersih-bersih masjid, atau saat ini dikenal dengan istilah marbot masjid, sebuah pekerjaan sepele namun mendapatkan tempat mulia di mata Rasulullah Saw. Peran Ummu Mahjan di masjid ini disebutkan dalam sebuah Riwayat yang tercantum dalam kitab Sahih Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
Dalam Riwayat tersebut disebutkan bahwa di masa Rasulullah Saw ada seorang perempuan hitam bernama Ummu Mahjan yang mengurus Masjid Nabawi. Setiap hari, ia selalu menyapu dan membersihkan masjid itu. Pekerjaannya memang sederhana, namun ia terus istiqomah menjalaninya setiap hari. Pada suatu hari, Ummu Mahjan saki dan akhirnya wafat.
Betapa marahnya Rasulullah Saw ketika mengetahui Ummu Mahjan sudah meninggal dan para sahabat tidak memberi tahu Nabi. Setelah mengetahui jikalau Ummu Mahjan telah maninggal dan dikuburkan, Nabi meminta kepada para sahabat untuk menunjukkan tempat dimana Ummu Mahjan di kuburkan, lalu Rasulullah Saw melaksanakan salat gaib untuk Ummu Mahjan.
Dari kisah tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa perempuan pada masa Rasulullah Saw tidak hanya berdiam diri di rumah. Namun perempuan juga melakukan berbagai kegiatan di luar, bersosialisasi, bekerja di ruang publik seperti berperan dan berkhidmah di Masjid. Hal tersebut juga sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw sangat menghormati dan memuliakan perempuan seorang perempuan.
Kemudian mengutip Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah! (2021). Disebutkan bahwa Abu Syuqqah mendaftar puluhan teks Hadis sahih yang berkaitan dengan aktivitas perempuan di dalam masjid. Dalam berbagai catatan hadist tersebut disebutkan bahwa masjid sebagai ruang publik utama pada masa Nabi Saw adalah tempat yang sering dituju dan didatangi para perempuan, baik untuk ibadah, pengajian, maupun pertemuan.
Selain itu disebutkan dalam Kitab Al Fityan Wa Asyrath ala Sa’ah no.7574, menyebutkan tentang Fatimah bint Qiyas r.a merupakan seorang sahabat perempuan yang selalu datang lebih awal ke masjid, jika ada panggilan untuk berkumpul, baik untuk shalat, pembelajaran, pengumuman sosial, maupun untuk tujuan lainnya. Dan masih banyak lagi hadis yang menyebutkan tentang aktivitas perempuan di Masjid dan teks-teks hadis tersebut semua tercatat dalam kitab yang valid, seperti dalam shahih bukhari dan shahih muslim.
Peran Perempuan di Masjid: Masjid Harus Paham Konsep Mubadalah
Nampaknya kampanye dan kajian-kajian mubadalah harus masuk ke masjid-masjid sebagai jawaban atas masih menjamurnya bias gender di masjid tersebut. Menurut DR. KH. Faqihuddin Abdul Kodir, mubadalah merupakan relasi antara dua pihak berbasis kesetaraan, kesalingan dan kerjasama. Selain itu mubadalah juga sebagai metode interpretasi teks untuk menemukan suatu makna yang relasional diantara pihak yang sama-sama disapa dan dituju sebagai subjek yang setara.
Dengan pengertian di atas maka Metode Mubadalah menjadi salah satu solusi untuk menghapuskan bias gender di masjid. Masjid sebagai ruang publik dan sarana ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah harus memberikan ruang dan posisi yang sama terhadap perempuan. Perempuan juga mampu untuk menjadi takmir masjid, ataupun kepala seksi-seksi penting lainnya yang selama ini hanya dipegang oleh kaum laki-laki.
Dalam mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin mubadalah menjadi sebuah perspektif yang mendorong kita untuk memperlakukan laki-laki dan perempuan dengan cara pandang kasih sayang, kesalingan, kesetaraan dan dapat diperoleh secara nyata dalam kehidupan. Baik laki-laki maupun perempuan harus mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam berperan dan mengabdikan diri pada agama melalui kegiatan di masjid.
Sudah seharusnya Metode Mubadalah menjadi kajian rutin yang dilaksanakan di masjid-masjid. Tidak hanya untuk pengurusnya saja namun juga kepada masyarakat luas agar masyarakat dapat mengenal, dan menerapkan konsep mubadalah dalam kehidupan sehari-hari. Jika hal tersebut dapat dilaksanakan maka bukan tidak mungkin akan mampu untuk menghilangkan bias gender yang ada di masjid dan dalam kehidupan sehari-hari. []