Mubadalah.id – Jika merunut pada jejak historis perkembangan Islam di Indonesia, kebudayaan masyarakat lokal memegang peranan yang cukup signifikan. Pasalnya, proses Islamisasi di Indonesia berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang cenderung bersifat radikal-konfrontatif, namun lebih mengedepankan strategi cultural-edukatif, yang menyiratkan pesan dakwah lebih damai dan toleran.
“Misionaris” Islam di Indonesia, khususnya Wali Songo mengambil strategi inovatif dalam menjalankan misi pesan dakwah dengan berbasis pada kondisi sosio-kultural masyarakat. Munculnya beragam arsitektur masjid bercorak Hindu merupakan bagian kecil dari hasil akulturasi ajaran Islam dengan kebudayaan lokal.
Selain itu juga dapat dijumpai pada kesenian tradisional, manuskrip kuno, maupun pesan dawkah dalam wujud syair Jawa seperti Syair Ujud-Ujudan yang menjadi objek pembahasan pada kesempatan kali ini.
Syair Ujud-Ujudan atau yang sering disebut Syi’ir Utawen merupakan sebuah hasil perkawinan budaya Islam dengan Jawa yang berbentuk lagu pujian. Invandri dan Suryadi (2019) dalam artikelnya yang berjudul “Reflection on The Meaning of Local Wisdom in Utawen Poetry at Gebang Tinatar Islamic Boarding School Tegalsari Ponorogo” menyebutkan bahwa Syair Ujud-Ujudan merupakan pesan dakwah dalam bentuk karya sastra puisi yang menggunakan leksikon Arab dan Jawa.
Syair ini diciptakan oleh Kyai Ageng Muhammad Besari, keturunan Raja Brawijaya V sekaligus pendiri Pondok Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Pesantren yang didirikan sekitar abad ke-18 ini merupakan pesantren yang bersejarah di mana telah melahirkan santri-santri yang menjadi tokoh berpengaruh seperti Pakubuwono II, Raden Ngabehi Ronggowarsito, Pangeran Diponegoro, dan H.O.S. Cokroaminoto.
Syair Ujud-Ujudan atau Utawen biasa dilantunkan di Pesantren Gebang Tinatar saat mengiringi ritual gajah-gajahan atau pada saat bulan Ramadhan, yakni selepas melaksanakan shalat Tarawih.
Tentang perkembangan pesan dakwah dalam syair ini masih menjadi misteri yang perlu dikaji kembali. Setidaknya terdapat dua kemungkinan. Pertama, syair ini sejak awal sudah tersebar luas, namun seiring perkembangan zaman mulai kurang mendapat perhatian dari generasi muda sehingga menjadi tradisi yang jarang dijumpai.
Kedua, persebaran pesan dakwah syair ini memang kurang masif, hanya berkisar pada lingkungan sekitar. Di daerah penulis sendiri, yakni di Desa Gedawung, Kecamatan Kismantoro, Kabupaten Wonogiri, Syair Ujud-Ujudan masih menjadi tradisi Bulan Ramadhan yang kerap dilantunkan di masjid-masjid usai melaksanakan shalat Tarawih.
Mengingat bahwa para pendahulu di daerah sini banyak yang nyantri di Ponorogo sehingga diperkirakan mereka pulang dengan membawa tradisi pesan dakwah melalui syair tersebut, yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Alunan syair yang dilantunkan dengan langgam khas Jawa diiringi tabuhan bedug maupun peranti tradisional lainnya membuat pesan dakwah syair Ujud-Ujudan terkesan begitu sakral.
Walaupun pesan dakwah syair ini nampak sederhana namun memiliki makna yang sangat mendalam. Adapun lirik Syair Ujud-Ujudan atau Syiir Utawen adalah sebagai berikut:
Utawi pikukuhe Islam iku limo
Kang dingin syahadat, kaping pindo sholat
Kaping telu aweh zakat, kaping papat puoso
Kaping limo munggah kaji maring Baitulloh
Nawaitu ‘an ukiro kalimataini syahadataini
Wa wujuban fil’umuri wa marotan wahidatan fardlo llillahi ta’ala
Niat ingsun angucapaken ing kalimah syahadat loro
Ing khale wajib ing ndalem sak umur ingsun
Maring sapisan fardlo lillahi ta’ala
Asyhadu alla illaha illalloh wa asyhadu anna muhammadan rasulullah
ngaweruhi ingsun setuhune ora ono pangeran kang sinembah
Kulawan sakbenere, kang wajib wujude
Kang muhal ‘adame, kang mesti anane
Anane Allah
Ngaweruhi ingsung setuhune kanjeng Nabi Muhammad iku utusane Allah
Kawulane Allah, kang romo Raden Abdullah, kang ibu Dewi Aminah
Ingkang dhohir ono Mekah, Hijrah ing Medinah, gerah ing Medinah
Seda ing Medinah, sinareaken ing Medinah
Bangsane bangsa Arab bangsa Rasul bangsa Quraisy
Wujud, qidam, baqo’, mukholafatu lil khawadisi, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah, qudrat, irodat, ‘ilmu, hayat, sama’, bashor, kalam, qodiron, muridan, ‘aliman, hayyan, sami’an, bashiron, wa mutakalliman,
Mongko maknane la ilaha illalloh iku makno nafi lan isbat
Mongko kang den isbataken iku pangeran kang ngarso
Kang setunggal, kang aran dadekaken
Dadekaken wong ‘alam kabeh
Iyo iku aran Allah, tegese aran Allah, iku aran ing dhalem dzat
Kang wajibil wujud, kang mohal ‘adame, kang mesti anane
Ora werno ora rupo, ora arah ora enggon
Seng sopo wonge neqodaken setuhune Allah
Iku werno, rupo, arah, enggon….
Mongko wong iku dadi kufur
Utawi kanjeng Nabi Muhammad iku manungso kang lanang
Kang ‘aqil baligh, kang bagus rupone, kang mencorong cahyane
Kanthi werno koyo rembulan utowo koyo srengenge
Keturunan wahyu ,ingkang wajib anduweni
Sifat sidiq amanah tabligh
Sidiq bener, amanah kapercoyo, tabligh anekakaken
Mohal riyo, mohal cidro, mohal anglepataken
Ingkang werno marang bongso liyo
Ora dadi anacataken ing dhalem martabate
Ingkang moho luhur
Allohumma sholli ‘ala Muhammad…
Allohumma sholli ‘ala muhammadin…
Wa’ala alihi 2x wasohbihi wasallam
Allah robbi ij’al hadza baladan aminan…2x
Warzuq ahlahu…2x
Wasi’an thoyyiban hasanan
Secara garis besar syair tersebut berisi tentang masalah ketauhidan. Kemudian diikuti penjelasan tentang sifat-sifat Allah SWT, biografi Nabi Muhammad SAW, serta nasionalisme.
Syair diawali dengan penjelasan mengenai rukun Islam yang menjadi unsur fundamental bagi umat muslim. Rukun Islam yang pertama yakni mengucapkan dua kalimat syahadat adalah unsur terpenting sekaligus terberat. Terpenting karena menjadi syarat mutlak bagi seseorang yang ingin memeluk Islam.
Namun di sisi lain juga menjadi unsur yang terberat. Meskipun terasa mudah ketika dilisankan, lafadz asyahadu an la ilaha illallah yang memiliki makna nafi’ dan isbat, yakni meniadakan segala sesuatu yang patut dituhankan kecuali dzat Allah memberikan konsekuensi yang cukup berat untuk diamalkan dengan sepenuh hati dalam kehidupan sehari-hari.
Di mana di era modernisasi ini tidak sedikit manusia yang begitu menuhankan harta, tahta, maupun “tuhan-tuhan” materi lainnya. Oleh karena itu diperlukan latihan dan latihan untuk menancapkan makna iman yang sesungguhnya dalam kehidupan nyata.
Pengenalan mengenai dzat Allah dan sifat-sifat-Nya juga menjadi hal yang penting bagi generasi muda saat ini. Mengingat bahwa banyak generasi muda yang kurang memerhatikan akan sifat-sifat Allah SWT.
Padahal Syeikh Imam Marzuqi dalam kitab Aqidatul Awam-nya menerangkan bahwa mengetahui sifat Allah, terutama sifat wajib-Nya yang dua puluh itu hukumnya wajib. Artinya jika tidak mengetahui maka akan dikenakan dosa. Melalui syair ini Kyai Ageng Muhammad Besari ingin mengajak masyarakat untuk selalu mengingat-ingat sifat-sifat luhur Allah SWT. Tentu pengamalan dengan bentuk perbuatan merupakan tujuan dari sebuah pengetahuan.
Sebagai seorang muslim juga harus mengenal nabinya. Beliau Nabi Muhammad SAW yang luhur budi pekertinya merupakan role model bagi umat Islam yang selayaknya dijadikan sebagai suri teladan dalam setiap dimensi kehidupan. Sosok yang paling mulia bahkan ketika menjelang kematiannya pun yang dipikirkan hanyalah umatnya. Umati…ummati….
Terlepas dari masalah ketauhidan, syair Ujud-ujudan juga mengajarkan pesan-pesan nasionalisme. Hal demikian dapat dilihat pada bagian akhir dari syair tersebut yang berisi doa-doa untuk keamanan negara serta dilimpahkan rezeki bagi para penduduknya. Sebuah negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur merupakan dambaan bagi seluruh masyarakat.
Syair Ujud-ujudan atau syiir Utawen sebagai bentuk akulturasi dua ragam budaya yang berbeda merupakan sebuah kearifan lokal yang harus dijaga. Keberhasilan Wali Songo dalam mengislamkan masyarakat Indonesia melalui pendekatan kultural merupakan bukti nyata bahwa agama dan budaya bukanlah dua hal yang harus dipertandingkan namun selayaknya dapat dipersandingkan. Dengan demikian akan tercipta masyarakat muslim yang lebih ramah, moderat, dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan. []