Dita adalah seoarang ibu rumah tangga yang sangat ingin memakai kerudung namun urung karena suaminya tak mengizinkan. Syahnaz, seorang dokter perempuan yang ringan menolong, bersitegang dengan ayah seorang anak yang sedang sakit keras karena sang ayah tidak terima istrinya memanggil dokter tanpa seizing darinya.
Dengan keras dokter Syahnaz membalas, “Anak bapak bisa meninggal kalau harus nunggu izin bapak yang tidak jelas kapan pulangnya dan tidak bisa dihubungi.” Di wilayah tertentu di NTB, angka kematian ibu dan bayi lebih tinggi dari rata-rata Nasional karena ada tradisi ibu yang mau melahirkan harus dapat izin suami, jika mau bersalin di dukun beranak atau bidan.
Ilustrasi di atas adalah sekelumit fakta tentang izin suami yang demikian “luar biasa”. Tak ada izin suami, istri tak menjalankan kewajiban Allah. Nyawa anak istri pun dipertaruhkan karena izin suami belum turun. Kita pun lantas bertanya-tanya. Apakah mesti sampai seperti itu menempatkan izin suami?
Ada hadis riwayat at-Thabrani menyebutkan:
عن آنس بن مالك:أن رجلا خرج وأمرامرأته أن لاتخرج من بيتها, وكا ن أبوها فى أسفل الدار وكا نت فى أعلا ها, فأرسلت الى الني صلى الله عليه وسلم,فدْكرت دْلك له,فقال:”أطيعي زوخك”. فمالت أبوها الى النى صلى الله عليه وسلموفقال:أطيعى زوجك”فأرسل اليها النيى صلى الله عليه وسلم: ان الله قد غفرلاْْبيها بطا عتها لزوجها.”
“Dari Annas bin Malik: bahwa ada seorang laki-laki keluar rumah dan dia memerintahkan isterinya untuk keluar dari rumahnya. Dan bapaknya si istri itu berada di daerah bawah kampung dan dia sendiri berada di daerah atas. Kemudian bapaknya itu sakit. Bahwa ia mengirimkan utusan kepada Nabi SAW. Kemudian ia menuturkan hal tersebut kepada beliau. Lalu beliau menjawab: “Taati suami kamu.” Kemudian bapaknya itu meninggal dunia. Maka ia mengirimkan lagi utusan kepada Nabi SAW. Lalu beliaupun menjawab: “Taati suami kamu.” Kemudian Nabi mengirim utusan kepadanya: “Sesungguhnya Allah telah mengampuni ayahnya dikarenakan ketaatannya kepada suaminya.”
Kisah dramatis dalam hadits di atas sangat populer dan terus disampaikan para da’i/da’iyyah dan para guru saat menjelaskan pentingnya izin suami dan ketaatan istri kepadanya. Tragisnya, tidak sedikit suami yang menjadikan kisah itu sebagai legitimasi teologis atas sikapnya yang egois, posesif, atau sewenang-wenang.
Di sisi lain, banyak istri juga tidak memiliki cukup ilmu untuk menjelaskan bagaimana duduk soal hadits itu. Akibatnya, istri mengalami penderitaan batin, hingga pada titik yang membahayakan jiwa sebagaimana terjadi pada beberapa peristiwa yang ditulis di awal tulisan ini.
Harus Diteliti
Sesungguhnya, ucapan, sikap dan akhlak Rasulullah Saw.,tidak ada yang menyakiti, merendahkan apalagi mendehumanisasi perempuan. Namun apa yang diriwayatkan tentang ucapan dan sikap Rasulullah melalui sebuah hadis tidak selalu sama persis dengan kenyataannya.
Itulah sebab setiap hadits harus diteliti dari dua sisi, sanad dan matan. Sanad (rentetan perawi) mesti dilihat apakah para riwayatnya benar-benar pribadi terpercaya dan berintegritas (adil dalam istilah ilmu hadits), adanya kepastian setiap periwayat menerima langsung hadits yang diriwayatkan dari periwayat seniornya (ittishal as-sanad), tidak ada kejanggalan dan keanehan (syadz) dan tidak ada cacad dalam rentetan periwatanya (illat).
Matan (isi hadis) juga mesti dilihat apakah sesuai dengan Al-Quran, fakta sejarah, dan akhlak Nabi, tidak bertentangan dengan riwayat lain yang masyhur tentang hal yang sama, terlalu berlebihan memberi pahala atau dosa atas perbuatan kecil, serta tidak memuat keanehan dan kejanggalan.
Penelitian terhadap sanad dan matan inilah yang akan menghasilkan kesimpulan apakah sebuah hadits berstatus shahih, dhaif (lemah) atau bahkan maudlu’ (palsu). Hadis yand shahih bisa dijadikan dalil, sedangkan yang lemah hanya boleh dipakai untuk memotivasi perbuatan baik tanpa meyakini kepastian hadits itu benar-benar dari Nabi.
Demikian pandangan Imam Ahmad dan banyak ahli hadits. Adapun hadis maudlu’ (palsu) sama sekali tidak boleh dipakai. Itu sama saja dengan berdusta atas nama Nabi karena perkataan atau perbuatan orang lain ditempelkan kepada Nabi demi motif dan kepentingan tertentu. Nabi memberikan peringatan keras kepada pemalsu hadits dan penyebaran dalam hadits mutawatir, sebagaimana dirawikan al-Bukhari dan Muslim:
من كدْب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia membuat tempat duduknya dari api neraka.”
Hasil Penelitian
Menurut al-Iraqi, hadits di atas berstatus dha’if. Demikian pula hadits-hadits sejenis yang terlalu berlebihan memberikan sanksi. Al-Haitami, Ahmad dan Ibnu Hajar menyimpulkan hadits-hadits yang demikian berstatus dha’if (lemah) dan dha’if jiddan (sangat lemah) secara sanad. Dengan demikian ia tidak bisa dijadikan sandaran hukum.
Dari segi sisi, jika kisah di atas memang benar berasal dari Nabi, pemahamannya pun tidak bisa ditarik menjadi norma umum, karena itu respon atas kasus yang bersifat khusus dan nada konteks yang khusus. Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa isteri wajib taat apapun perintah suami walau bertentangan dengan perintah Allah.
Atau bahwa isteri tidak boleh bertindak apapun tanpa izin suami, walaupun ia dalam situasi darurat. Atau bahwa isteri tidak boleh berbuat kebaikan jika tidak diizinkan suami. Kesimpulan-kesimpulan seperti ini tidak pas karena bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran al-Quran dan hadits shahih yang masyur serta menjadikan agama ini tampak tidak manusiawi. (Bersambung).
*) Artikel yang sama pernah dimuat di Majalah Noor.