• Login
  • Register
Minggu, 6 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Mitos Kecantikan dan Kebanggaan Perempuan

Zahra Amin Zahra Amin
26/03/2018
in Kolom
0
kecantikan dan kebanggaan perempuan

kecantikan dan kebanggaan perempuan

47
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Apa maksud mitos kecantikan dan kebanggaan perempuan? Tulisan ini berangkat dari pernyataan sederhana ketika berdiskusi dengan teman Cherbond Feminist, jika dia selalu ingin mengatakan kepada sahabat perempuannya, kalau keluar rumah harus tampil cantik, berdandan maksimal. Karena dia merasa sahabatnya terlalu cuek dengan penampilan.  Di tempat lain, ada pula yang masih mempersoalkan bentuk alis ala Princess Syahrini yang cetar membahana, lalu mem-bully temannya yang tidak bisa ber-make up sempurna. Atau persoalan warna lipstik, mana yang paling ciamik dan aduhai ketika dipoleskan ke bibir. Atau ada yang menutupnya sama sekali dengan hijab yang menyelubungi sekujur tubuh, ditambah cadar atau niqab.

Pada kesempatan lain, Menteri Perikanan dan Kelautan, Ibu Susi Pudjiastuti yang menyoroti perilaku berdandan lama, mengaku heran karena menurutnya dengan berdandan terlalu lama seseorang sudah menghabiskan waktu yang berharga. Jika ingin terlihat cantik, bagi Menteri Susi, perempuan cukup merasa bahagia, ceria dan gembira.

Kalau perempuan mempunyai jiwa yang positif maka kecantikan dari dalam akan terpancar dari raut wajah dan sikap yang baik. Sebaliknya mereka yang selalu berpikiran negatif akan memiliki wajah yang berkerut. Untuk merasa cantik, masih kata Menteri Susi, perempuan juga harus percaya diri yang dibangun dengan memiliki banyak pengetahuan.

Ketika bicara standar kecantikan, penulis jadi teringat dengan Buku Mitos Kecantikan (2004) karya Naomi Wolf, yang mengawali tulisannya dengan penggambaran keberhasilan gerakan feminisme pada awal 1970 yang mampu meraih hak-hak hukum dan reproduksi, di samping mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi keberhasilan itu tidak dibarengi dengan kebebasan perempuan untuk merasa nyaman dengan tubuhnya.

Di sini perempuan masih terbelenggu dengan citra kecantikan. Naomi Wolf menjelaskan secara gamblang, bagaimana mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat kemajuan kaum perempuan, yang kemudian lebih sering disebut sebagai citra kecantikan perempuan.

Baca Juga:

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Selain itu Naomi Wolf bertutur tentang mitos kecantikan dalam ruang kebudayaan. Mitos kecantikan sangat lekat dengan kebudayaan. Perempuan selama ini selalu diposisikan sebagai makhluk yang dilihat dan dinilai oleh pria. Pencitraan tentang perempuan diciptakan untuk semakin dekat dengan mitos kecantikan, sehingga perempuan hanya mempunyai dua pilihan. Memiliki kecerdasan atau mempunyai kecantikan.

Pada penjelasan yang lain, Simone de Beauvoir dalam karya monumentalnya Second Sex juga mengatakan tentang tubuh perempuan yang dibentuk sedemikian rupa, melalui gaya pakaian yang dibuat untuk menyamarkan. Seperti perempuan di China dengan ikatan kakinya yang membuat mereka sulit berjalan. Sepatu berhak tinggi, korset, dan baju-baju yang menyulitkan perempuan untuk bergerak bebas, serta semua aturan kepantasan yang diberlakukan bagi perempuan. Menurut Simone, tubuh perempuan tampak menjadi milik laki-laki sebagai harta bendanya. Make up dan perhiasan juga semakin menegaskan tuntutan akan wajah dan tubuh ini.

Namun bagi penulis, seperti apapun kesadaran yang dimiliki perempuan harus melampaui mitos kecantikan, tetapi lantas tidak mengabaikan kecantikan itu sendiri. Sebaliknya, bagaimana agar keluar dari mitos kecantikan yang telah dirancang sedemikian rupa, sehingga perempuan didorong untuk lebih berani menentukan dan mengekspresikan diri, dan mencintai tubuhnya dengan melepaskan semua nilai-nilai atas tubuhnya itu.

Apapun pakaian yang dikenakan, bermake up atau tanpa polesan sama sekali, sesama perempuan harus saling menghargai dan tidak mudah untuk saling menghakimi. Jika sudah merasa nyaman dengan pilihan penampilan, tidak  lantas menyuruh orang lain untuk mempunyai tampilan yang sama dengan kita. Karena selera masing-masing perempuan itu berbeda, tergantung pada kebutuhan dan lingkungan di mana dia berada. Artinya, dengan saling menghargai pilihan itu, perempuan harus bangga dengan menjadi dirinya sendiri.

Kebanggaan di sini, sebagaimana dijelaskan Faqihuddin Abdul Qodir dalam Tulisan Mubadalah “Membanggakan Perempuan”, edisi 28 September 2016, bahwa kebanggaan semu terhadap kecantikan malah akan menyudutkan perempuan, dengan anggapan bahwa perempuan adalah figur penggoda bagi laki-laki. Stigma penggoda ini yang kemudian dieksploitasi dari perempuan dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak kembali pada kepentingan perempuan itu sendiri.

Sehingga bagaimana perempuan melepaskan kebanggaan tidak hanya sekedar artifisial terbatas pada keindahan tubuh dan kecantikan saja, melainkan juga menumbuhkan kebanggaan sebagai perempuan, yang mempunyai jiwa, raga, pikiran, rasa, tenaga dan karya.

Dalam bahasa agama, menurut Faqihuddin, potensi penggoda ini disebut fitnah. Bahwa perempuan memiliki potensi fitnah yang bisa menghanyutkan para laki-laki dan merusak tatanan masyarakat. Dengan potensi ini perempuan sering disandingkan dengan harta, benda dan tahta. Dalam berbagai kesempatan seringkali dinyatakan bahwa ujian setiap orang adalah harta, tahta dan wanita. Seakan wanita bukan orang karena disamakan dengan banyak sekali hal yang menyudutkan perempuan. Kehidupan terasa menjadi tidak nyaman bagi perempuan.

Jadi, kebanggaan terhadap perempuan bukan dari potensi fitnah ini. Kebanggaan pada tubuh, kecantikan  dan penampilan yang bersifat artifisial bisa berujung pada tindakan eksploitatif dan diskriminatif. Tetapi kebanggaan perempuan sebagaimana juga laki-laki adalah sebagai manusia yang bermartabat, berdaya, berkarya nyata, berkiprah positif. Baik itu dilakukan di ranah domestik maupun publik. Perempuan inilah yang dalam istilah agama disebut sebagai “Mar’ah Shalihah”, atau perempuan berkualitas. []

Tags: berdandan.sahrinikecantikanperempuansusi pujiastuti
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Ahmad Dhani

Ahmad Dhani dan Microaggression Verbal pada Mantan Pasangan

5 Juli 2025
Pemimpin Keluarga

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

4 Juli 2025
Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Gerakan KUPI

    Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kholidin, Disabilitas, dan Emas : Satu Tangan Seribu Panah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bekerja itu Ibadah
  • Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi
  • Jangan Malu Bekerja
  • Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID