Mubadalah.id – Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari memiliki keturunan yang banyak berjasa bagi bangsa. Tokoh yang paling kita kenal adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia. Namun selain itu, ada cucu perempuan Hadratussyaikh yang sangat berdedikasi untuk Indonesia. Yaitu Nyai Hj Abidah Ma’shum, hakim perempuan yang sangat berintegritas dalam catatan sejarah ulama perempuan Indonesia.
Mengutip karya Eka Srimulyani dalam bukunya berjudul Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia menjelaskan, bahwa Nyai Abidah Ma’shum merupakan putri pertama dari pasangan KH Ma’shum Ali dan Nyai Khairiyah Hasyim. Salah satu ulama perempuan dari tanah santri di Jombang, dimana kiprahnya di panggung sejarah ulama perempuan tidak bisa kita abaikan.
Meski tidak pernah mengenyam pendidikan formal namun dengan belajar langsung di pesantren dengan Ibu (Nyai Khairiyah), kakek (Kiai Hasyim Asy’ary) dan pamannya (Wahid Hasyim) merupakan guru- guru panutan yang telah mendidiknya.
Memulai pengabdian untuk negeri tidak hanya di lingkaran pesantren, namun ia jauh lebih banyak terlibat dalam kegiatan politik. Nyai Abidah aktif terlibat dalam Muslimat Nahdlatul Ulama perwakilan di Jombang pada tahun 1951. Menjadi ibu dengan tanggung jawab publik tampaknya tidak mudah bagi dia untuk menjaga keseimbangan, dan mengatur waktu.
Eka Srimulyani dalam bukunya berjudul Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia mencatat bahwa Nyai Abidah dengan penuh bijaksana mewakili perempuan di ruang publik.
Perempuan Hadir di Ruang Publik
Bahkan salah satu putri dari Nyai Abidah mengakui dan mengatakan bahwa, stereotip perempuan muslim hanya melekat pada rumah tangga tidak sepenuhnya benar. Putri Nyai Abiah juga menceritakan ketika masih bayi ketika itu, sepanjang waktu ibunya ( Nyai Abidah) menempuh jarak delapan kilometer dari Seblak ke Jombang untuk berusaha hadir di pertemuan umum.
“Beliau tetap berusaha hadir, pada saat itu juga ketika saya masih memerlukan asi ibu,karena tidak ada susu formula saat itu. Ibu akan membawa saya ke ibu rodho, seorang ibu susu, dan saya disusui di sana. Di sela- sela menghadiri kegiatan tersebut adalah bagian dari perjuangannya ibu untuk negara.” Di kutip dari sebuah karya penulis dari Universitas Amsterdam, Eka Srimulyani, yang menyebut Nyai Abidah “Kartini Indonesia dari Jombang.
Setelah Kiai Ma’shum Aly wafat, Nyai Khairiyah Hasyim melanjutkan kepemimpinan pesantren. Pada masa ini, Nyai Khairiyah Hasyim memegang peranan penting sejak berdiri hingga perkembangannya. Setelah itu Nyai Abidah Ma’shum pun melanjutkan memimpin pesantren yang telah ayahnya dirikan. Yaitu Pondok Pesantren Syafiiyah Khairiyah Hasyim. Atau yang kini lebih kita kenal sebagai Pondok Pesantren Seblak di Jombang.
Seiring dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya untuk masyarakat, Nyai Abidah diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jombang pada 1950. Selain aktif menjadi anggota DPRD, beliau tetap mengurus Pondok Seblak dan mengasuh anak-anaknya yang masih kecil, sembari ia aktif berperan di ranah publik. Nyai Abidah sama sekali tidak melupakan akar dan tradisinya di pesantren.
Menjadi Hakim Perempuan Pertama di Pengadilan Agama
Setelah menjabat sebagai anggota DPRD Jombang, kariernya berlanjut pada tahun 1956-1959 M sebagai anggota Konstituante Republik Indonesia (KRI). Ia bertugas menyusun konstitusi baru untuk Indonesia menggantikan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Dalam kesempatan itu, Nyai Abidah menjadi salah satu dari tujuh perempuan NU yang terpilih menjadi anggota KRI. Tugas tersebut antara lain menjadi tokoh masyarakat, mendampingi anak sekolah agar siap menjadi penerus bangsa melalui pendidikan, dan juga berperan aktif di jalur politik.
Dengan kemampuan tanggung jawab dan wawasannya Nyai Abidah masuk sistem peradilan dan bidang hukum. Tak lama kemudian pemerintah menetapkannya sebagai Hakim perempuan di Pengadilan Agama Jombang dalam dua periode berbeda. Yakni dari tahun 1960-1964 dan 1965-1968. Sebagai hakim perempuan pertama di institusi pengadilan agama kala itu bukan tanpa alasan. Kehadiran Nyai Abidah di ranah publik mempunyai arti penting. Tentu pada saat itu peran perempuan sebagai hakim agama selalu menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
Berdasarkan penelusuran Eka Srimulyani dalam bukunya berjudul Women from Traditional Islamic Educational Institutions in Indonesia, diketahui bahwa Bahsul Masail terbitan majalah Tebuireng Jombang pada 1986 masih cenderung tidak mengizinkan perempuan menjadi hakim. Alasannya adalah karena anggapannya perempuan kurang cerdas.
Fakta bahwa Indonesia memiliki beberapa hakim agama perempuan, tidak berarti bahwa semua masyarakat Muslim bisa dengan mudah menerima keberadaan hakim agama perempuan. Sampai batas tertentu realitas dan wacana tidak begitu sejajar. Oleh karena itu, melihat kiprah Nyai Abidah yang bisa menjadi hakim, Eka Srimulyani kemudian meyakini bahwa Nyai Abidah merupakan salah satu perempuan dengan kemampuan luar biasa, dan memiliki tanggung jawab tinggi pada masanya.
Mendobrak Sistem Patriarki
Nyai Abidah menjadi representasi perempuan yang telah berhasil mendobrak tradisi patriarki. Bahkan, dalam wacana fikih Islam, hal itu masih menjadi perdebatan panjang. Apakah seorang perempuan diperbolehkan menjadi hakim atau tidak. Di mana wacana ini juga berkembang di dunia pesantren. Sementara pemikiran Nyai Abidah telah melampaui zamannya ketika itu.
Di akhir usia, sekitar tahun 2006 tiba-tiba Nyai Abidah begitu sangat merindukan Ka’bah dan memutuskan untuk pergi ke tanah suci. Salah seorang pengantarnya yakni putranya adalah KH. Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), yang saat ini menjadi pengurus di Pondok Pesantren Tebuireng. Saat melakukan tawaf ifadah, Nyai Hj. Abidah Ma’shum menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di Maqbarah Syaraya, sekitar 30 menit berkendara ke selatan pusat kota Mekkah.
Dalam proses panjang kiprah Nyai Abidah inilah, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan ulama seperti beliau menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan. Bagaimana agar perempuan ulama mampu berkarya dan berkiprah secara lebih luas di masyarakat. Selain ada pengakuan, juga meneguhkan kembali otoritas ulama perempuan demi mewujudkan peradaban kemanusiaan yang berkeadilan. []