Mubadalah.id – Penulisan sejarah perempuan di Indonesia, khususnya muslimah semakin marak. Berbagai tokoh, diulas dalam berbagai bentuk tulisan. Namun sayangnya, penulisan sejarah muslimah di Indonesia seringkali disajikan dalam bingkai feminsme. Di antaranya yang perlu kami kaji adalah Nyai Khoiriyah.
Persoalan ini jelas meninggalkan masalah, karena seakan, perjuangan muslimah di masa lampau dinaungi oleh semangat feminisme.[1] Pembahasan feminisme yang satu tarikan napas dengan kesetaraan gender memang mengundang kontroversi dan penolakan, termasuk dari kalangan umat Islam itu sendiri.[2]
Titik tolak yang bermasalah inilah yang seringkali menimbulkan kesimpulan yang bermasalah pula. Perjuangan muslimah di masa lampu hendaknya tidak perlu kita kenakan kepada bingkai feminisme. Peninjauan yang adil, akan melihat bahwa perjuangan muslimah di Indonesia pada masa lampau tidak berlandaskan pada semangat dan tujuan yang sama dengan gerakan atau pemikiran feminisme.
Pendidikan untuk perempuan (muslimah) di Indonesia sendiri tak bisa dibatasi oleh pendidikan formal belaka. Islam mengajarkan bahwa baik laki-laki dan perempuan diwajibkan menuntut ilmu. Ada pun cara menuntut ilmu pada masa lampau bagi muslimah di nusantara, tak harus di bawah naungan institusi pendidikan. Pendidikan bagi muslimah di masa lalu, seringkali dianggap tidak ada, karena dibatasi hanya pada pendidikan di institusi pendidikan belaka. Sesungguhnya kita dapat menilai bahwa para pendidikan bagi muslimah sejatinya dimulai dari lingkup keluarga, dan diberikan oleh orang tua atau kerabat keluarga mereka.
Contoh ini dapat terlihat misalnya seorang muslimah pada abad ke 18-19, yaitu Raden Ayu Danukusuma. Putri dari Sultan Hemengkubwana I ini disebut memiliki kitab terjemahan berbahasa jawa al Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi karya Muhammad Fadlallah al-Burhanpuri.[3] Meski kala itu belum dikenal pesantren khusus perempuan, tetapi sosok Raden Ayu Danukusuma telah membaca sebuah kitab tasawuf yang cukup berbobot tersebut.
Kitab yang sempat menimbulkan polemik di nusantara ini bukan bacaan satu-satunya milik Raden Ayu Danukusuma.[4] Ia pun dicatat memiliki kitab Bustan us-Salatin. Raden Ayu Danukusuma yang hidup di kalangan bangsawan sekaligus dekat dengan kalangan santri membuatnya lebih mudah untuk menimba ilmu tentang Islam. Kenyataan bahwa perempuan di masa itu telah dapat mengakses kitab-kitab yang beragam, membuktikan bahwa pendidikan telah dituai oleh muslimah sejak masa lampau.
Contoh lain adalah hadirnya kitab fiqih yang dikarang oleh seorang ulama perempuan di dunia melayu pada abad ke 19(?). Kitab itu ditulis oleh Fatimah, cucu dari ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary. Fatimah yang lahir dari putri Syekh Arsyad Al Banjary, yaitu Syarifah, yang menikah dengan ulama bernama Abdul Wahab Bugis. Kitab yang ditulis Fatimah adalah Perukunan Jamaluddin. Kitab ini berisi tentang persoalan fiqih seperti Sholat, puasa dan penyelenggaraan jenazah.[5]
Kisah perjumpaan Kartini dengan Kiyai Shaleh Darat, juga dapat memberikan petunjuk pada kita bahwa kehidupan Kartini, sebelum berjumpa dengan Kiyai Shaleh Darat, awalnya adalah kehidupan yang justru terhalang dari cahaya Islam.[6]
Kehidupan perempuan bangsawan Jawa yang terkurung oleh beragam aturan dan pemahaman, seperti sowarga nunut, neraka katut (ke surge ikut, ke neraka terbawa) yang justru menghalanginya dari menerima cahaya Islam sejati.[7] Kiyai Saleh Darat membukakan mata hati dan pikiran Kartini akan kebenaran agama Islam yang tidak menghalangi perempuan untuk memperoleh pendidikan. Maka ketika memasuki abad ke 20, gerakan Islam di tanah air memperoleh momentumnya dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan, termasuk perkumpulan bagi muslimah pertama yaitu Aisyiyah dari Muhammadiyah.
Ketika arus utama penulisan sejarah gerakan perempuan (muslimah) di Indonesia selalu diteropong dari kacamata feminisme, maka kita akan menemukan kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi tersebut disebabkan lahirnya gerakan muslimah di Indonesia, bukan berdiri diatas tujuan-tujuan ala feminisme semisal kesetaraan gender.
Tetapi gerakan muslimah tersebut lahir untuk memajukan perempuan dari keterbelakangan yang diakibatkan rintangan adat, kolonialisme ataupun kesalahpahaman terhadap ajaran Islam. Malah gerakan-gerakan muslimah tersebut tetap setia membela ajaran Islam yang kerap dipandang secara timpang oleh feminis, misalnya poligami.[8]Contoh pembelaan kepada poligami oleh gerakan muslimah, semisal Aisyiyah adalah sebuah contoh betapa gerakan muslimah tidak berpijak kepada ide-ide feminisme, melainkan berpegang teguh kepada Islam. Pada 1920-an ketika poligami dicemooh oleh kalangan nasionalis sekuler, maka Aisyiyah melakukan pembelaan. Mereka tidak menganjurkan poligami, tetapi juga menolak penghapusan pembolehan soal poligami dalam Islam. [9]
Gerakan muslimah di Indonesia sejatinya tetap jalan dalam koridor agama Islam. Mereka bertujuan untuk membentuk perempuan sebagai ibu yang siap mendidik generasi penerus. Menjadikan ibu sebagai posisi yang mulia. Bukan hendak menjungkirbalikkan institusi rumah tangga dengan jargon kesetaraan gender dan sebagainya. Jargon-jargon ini justru ditolak oleh organisasi perempuan semacam Aisyiyah dan JIBDA dalam koran Isteri di tahun 1929.[10]
Pendidikan Islam maupun umum, ketrampilan, berwirausaha menjadi nafas gerakan perempuan yang senantiasa mengiringi langkah gerakan muslimah pada saat itu. Maka selain Aisyiyah, kita juga mengenal Perempuan Sarekat Islam, Rahmah el-Yunisyiah dengan Madrasah Diniyah Puteri pada tahun 1923, Rohana Koeddoes dengan Sekolah Kerajinan Amal Setia dan surat kabar Soenting Melajoe pada 1912.
Dunia pesantren sesungguhnya bukan dunia yang timpang kepada perempuan. Pendidikan kepada perempuan, bukan berarti tak hadir, ketika pesantren khusus perempuan belum ada hingga akhir abad ke 19. Pendidikan kepada perempuan tetap diberikan oleh para Kiyai-kiyai kepada keluarga mereka. Ketika pendidikan bersifat massal kepada perempuan muncul dalam lingkungan pesantren pun, hal itu lahir juga dari tangan para Kiyai. Bukan karena campur tangan dari luar. Selain lahirnya pendidikan pesantren khusus perempuan, kita pun akan melihat lahirnya sosok ulama perempuan di dunia pesantren di Jawa. Ia adalah Nyai Khoiriyah Hasyim.
Lahir tahun 1906, sebagai putri kedua dari ulama besar, Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, Khoiriyah Hasyim hidup dalam naungan tuntunan Islam. Ia didik langsung oleh KH Hasyim Asyari tanpa membaur dengan santri-santri KH Hasyim Asyari. Terkadang dari balik tabir Nyai Khoiriyah mendengar penjelasan dari KH Hasyim Asyari mengenai agama Islam.[11]
Pada usia 13 tahun ia menikah dengan santri KH Hasyim Asyari, yaitu Maksum Ali dari keluarga pesantren Maskunambang, Gresik. Tahun 1921, Seperti lazimnya dalam dunia pesantren, maka KH Maksum Ali kemudian membuka Pesantren Seblak, sekitar 200 m dari Tebuireng, di atas tanah yang pernah dibeli oleh KH Haysim Asyari. KH Maksum Ali kemudian memimpin sendiri pesantren tersebut. [12]
Ketika tahun 1933, KH Maksum Ali wafat. Maka diusia yang masih muda, 27 tahun, Nyai Khoiriyah Hasyim mengambil alih kepemimpinan pesantren tersebut. Selama lima tahun ia memimpin Pesantren Seblak (1933-1938). Di tahun 1938, ia menikah dengan Kiyai Muhaimin. Mengikuti sang suami, ia pun pindah ke Mekkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, kepergian sang suami ke Mekkah adalah untuk menuntut ilmu dari para ulama di Tanah Suci.[13]
Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa lepas dari dunia pendidikan. Saat sang suami menjadi kepala Madrasah Darul Ulum di Mekkah, menggantikan ulama besar nusantara, Syekh Yasin Al-Fadany, tercetuslah ide untuk membentuk madrasah putri pertama di Tanah Suci. Pada tahun 1942 rencana tersebut akhirnya terwujud. Sebuah madrasah khusus perempuan pertama di Tanah Suci akhirnya dibuka. Madrasah tersebut bernama Madrasah Banat, yang menjadi bagian dari Madrasah Darul Ulum. Hal ini tentu menjadi prestasi tersendiri bagi umat Islam asal Indonesia yang mampu membuka madrasah perempuan pertama di Mekkah.[14]
Kiprah Nyai Khoiriyah tak selamanya di Mekkah. Tahun 1956, suaminya, Kiyai Muhamin wafat. Ia pun akhirnya kembali ke tanah air setelah hampir 20 tahun di Mekkah. Kepulangannya ke Indonesia juga untuk memenuhi ajakan Presiden Soekarno saat itu, untuk mengembangkan pesantren di Indonesia. Ia memang bukan perempuan biasa.
Kedalaman ilmunya diakui banyak pihak. Mantan pemimpin Pesantren Tebuireng, KH Yusuf Hasyim, menyebutnya Kiyai Putri. Dan karena keluasan dan kedalaman ilmu beliau pula, Nyai Khoiriyah menjadi satu-satunya perempuan yang mampu duduk di jajaran Bahtsul Masail Nadhlatul Ulama. Bersama-sama dengan kiyai sepuh lain di NU, Bashul Mashail menjadi otoritas di NU yang bertugas membahas masalah-masalah maudluiyah (tematik) dan waqiiyah (aktual) yang akan menjadi Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.[15] Di katakan oleh KH. Yusuf Hasyim, Nyai Khoiriyah mampu untuk berargumen dengan kiyai-kiyai lain di Bahtsul Masail NU.[16]
Kapasitas ilmunya memang tak diragukan lagi. Di Pesantren Salafiyah Seblak, Nyai Khoiriyah-lah yang menguji kemampuan para calon Imam sholat Jumat di sana. Ia menguji bacaan surat Al-Fatihah para calon imam tersebut. Dan tidak semuanya bisa lolos dari ujian tersebut. Ia pun aktif menulis mengenai Islam ke media massa.
Salah satunya adalah tulisannya yang berjudul Pokok Tjeramah dan Pengertian Antar Mazahib dan Toleransinya yang dimuat di majalah Gema Islam tahun 1962. Dari tahun 1957 hingga tahun 1968, figurnya tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Di pesantren Seblak sendiri berdiri Pesantren khusus putri. Lahirnya Pesantren Seblak khusus putri ini tak lepas dari dukungan KH Haysim Asyari. Adalah putri Nyai Khoiriyah Hasyim, Nyai Abidah dan suaminya Kiyai Machfudz Anwar, yang memelopori berdirinya pesantren putri tersebut, saat Nyai Khoiriyah berada di Mekkah. Tak heran jika jiwa pendidik menurun kepada putrinya, Nyai Abidah. Dengan tangan dingin Nyai Khoiriyah, Nyai Abidah digembleng dengan pendidikan agama.[17]
Kiprahnya di Nadhlatul Ulama pun amat berpengaruh, terutama di Muslimat NU. Muslimat NU didirikan bertujuan untuk melaksanakan tujuan NU dikalangan wanita, untuk melaksanakan syariat Islam menurut haluan Ahlussunnah wal Jamaah. Di Nadhlatul Ulama ia menjadi salah satu anggota Badan Syuriah PBNU. Sebuah posisi yang hanya diiisi oleh kiyai-kiyai senior.[18]
Hingga akhir hayatnya, hidupnya selalu dipenuhi panggilan berdakwah. Ia mengisi berbagai majelis taklim. Di pesantren, ia menekankan pada santriwati untuk menuntut aurat. Ia sendiri yang menjadi contoh para santriwati dalam menutup aurat, dengan mengenalkan Kerudung Rubu. Sebuah model kerudung yang menutup aurat, dan menyerupai jilbab. Namun sayang, Kiprah dan perjuangan Nyai Khoiriyah sebagai ulama perempuan kini seperti terlupakan.
Kiprahnya sebagai ulama perempuan membuktikan bahwa kehadiran perempuan tetap bermakna besar bagi pesantren dan pendidikan di Indonesia. Benih ilmu yang ditaburnya merentang dari Jombang hingga Mekkah. Nyai Khoiriyah hanyalah salah satu dari banyak muslimah pembawa perubahan di Indonesia. Berbagai partisipasi dan prestasi muslimah di Indonesia bertitik tolak bukan dari argumen kesetaraan gender yang berhawa feminisme. Kiprah mereka, justru bertolak dari kecintaan pada Islam dan tetap berjalan di jalan Islam. [Beggy R/jejakislam]