Mubadalah.id – Dalam naskah Cerita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) pada tahun 1720 yang ditulis oleh Pengeran Arya Cerbon, Nyai Subang Larang memiliki nama asli Kubang Kencana Ningrum. Ia lahir pada 1404 M. Ayahnya adalah seorang penguasa syahbandar pelabuhan Muara Jati yang bernama Ki Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati adalah pelabuhan besar dan aset penting yang ada di Utara Jawa Barat pada saat itu.
Pada tahun 1418, terdapat seorang ulama Islam yang berasal dari Campa, (sebuah wilayah yang dekat dengan perbatasan Vietnam dan Kamboja). Beliau bernama Syekh Hasanuddin Yusuf Siddik atau Syekh Mursahadatillah alias Syekh Qurotil Ain. Menurut Heri Hidayat (2020), masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin ulama besar Makkah keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali Ra dan Siti Fatimah putri Rasulullah SAW.
Beliau datang dari jalur air dengan menumpang kapal angkatan laut Tiongkok pimpinan Laksamana Muslim Cheng Ho. Di mana ia ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo (Dinasti Ming). Beliau menuju ke Karawang dan mendirikan sebuah pesantren yang berada di daerah Pura, Desa Talagasari, Karawang pada tahun 1418. Pesantren itu bernama Pesantren Quro. Oleh karena itu, beliau memperoleh julukan Syekh Quro.
Pembuktian hal ini dengan penyebaran Islam di Jakarta, menurut budayawan Betawi , Ridwan Saidi, berawal dari berdirinya pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418.
Nyai Subang Larang Nyantri di Syekh Quro
Ki Gedeng Tapa mulai belajar Islam dengan Syekh Quro. Setelah masuk Islam, barulah Ki Gedeng Tapa menitipkan Nyai Subang Larang kepada Syekh Quro selama dua tahun. Setelah selesai menimba ilmu di sana, perempuan yang bernama asli Kubang Kencana Ningrum tersebut diberi julukan Nyi Sub Ang Larang (pahlawan berkuda) oleh Syekh Quro.
Ketika Nyi Subang Larang pulang ke Muara Jati (1420), Rupanya keberadaan Syekh Quro telah terdengar oleh Prabu Angga Larang, dan melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang sang putra mahkota pimpin. Ia bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro.
Namun ketika putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, hatinya malah tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang Nyai Subang Larang daraskan. Raden Pamanah Rasa (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro, dan berniat mempersunting Nyai Subang Larang.
Menerima Pinangan Raden Pamanah Rasa
Ki Gedeng Tapa menggelar sayembara untuk putrinya. Lalu sayembara tersebut dimenangkan oleh Raden Pamanah. Pamanah melawan Amuk Marugul, putra dari Prabu Susuk Tunggal. Lalu pinangan tersebut ia terima. Tapi dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus. Artinya adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid yang berada di Mekkah. permohonan Nyi Subang Larang Raden Pamanah Rasa sanggupi. Lalu atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah.
Di tanah suci Mekkah, Prabu Pamanah Rasa disambut oleh Syekh Maulana Jafar Sidik. Prabu Pamanah merasa kaget, ketika seorang syekh telah mengetahui namanya. Dan Syekh itu, bersedia membantu mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Sang Prabu Pamanah Rasa mengucapkan Dua Kalimah Syahadat, yang memiliki makna pengakuan pada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang harus kita sembah, dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.
Semenjak itu, Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh, mulai dari itu,Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama Islam yang sebenarnya.
Pernikahan
Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Pajajaran untuk melangsungkan pernikahan keduanya dengan Nyi Subang Larang. Hingga waktu terus berjalan, maka pada tahun 1422 M,pernikahan berlangsung di Pesantren Syekh Quro. Dan, Syekh Qura memimping langsung pernikahan tersebut. Beberapa lama setelah menikah Prabu Pamanahah Rasa dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.
Pernikahannya terselenggara di Musala yang senantiasa mengagungkan alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang Nyai Subang Larang kumandangkan. Dari pernikahannya itu melahirkan tiga anak. Yaitu Raden Walangsungsang, Rara Santang dan Kian Santang.
Perbedaan yang mencolok antara Nyai Subang Larang dengan istri-istri Prabu Siliwangi lainnya adalah keunggulan mendidik anak-anaknya. Terutama dalam mendidik akidah. Di mana pada masa itu masih berada di lingkungan agama Hindu Budha dan kepercayaan.
Setelah Walangsungsang dan Rara Santang dewasa menunaikan ibadah haji, berubah namanya menjadi Abdullah Iman. Sedangkan Nyai Rara Santang berubah nama menjadi Syarifah Moedaim.
Nyimas Rara Santang dan Pangeran Walang Sungsang menerima wasiat dari Nyimas Subang Larang sebelum meninggal. Wasiat yang diberikan Nyimas Subang Larang kepada putra dan putrinya yaitu agar mereka memperdalam ilmu agama Islam di perguruan Amparan Gunung Jati.
Dakwah Islam
Setelah Nyimas Subang Larang meninggal akhirnya Nyimas Rara Santang beserta kakaknya Pangeran Walang Sungsang pergi meninggalkan Pajajaran. Pangeran Walang Sungsang saat itu sudah menikah dengan Nyimas Endang Ayu dan mengajak serta istrinya untuk menuntut ilmu kepada Syekh Datuk Kahfi.
Pada saat mereka bertiga datang menjadi santri baru, di antara murid-murid Syekh Datuk Kahfi, Nyimas Rara Santang dan Pangeran Walang Sungsang tercatat sebagai murid yang sangat cerdas. Syekh Datuk Kahfi mendoakan ketiganya agar menjadi orang yang menghidupkan agama Islam.
Pernikahan Nyi Subang Larang dengan Prabu Siliwangi, merupakan salah satu yang menimbulkan perubahan besar pada Kerajaan Sunda.
Dari cerita tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dinasti Padjajaran yang masuk Islam adalah dari garis keturunan Nyai Subang Larang. Anak cucu Nyai Subang Larang inilah yang kemudian meneruskan perkembangan ajaran Islam di nusantara. Salah satu keturunannya adalah Sunan Gunung Jati. []