Mubadalah.id – Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh. Salam Sejahtera.
Sebelum memulai, saya ingin menyampaikan mengapa saya memilih hanya menggunakan dua salam ini. Saya tentu ingin menghargai semua dan setiap agama dan keyakinan di bumi Nusantara, bukan hanya yang diakui formal oleh Negara. Tetapi untuk itu, saya tidak mungkin menyebutkannya satu per satu, saking beragamnya Indonesia. Karena itu, saya mengucap assalamu’alaikum karena saya seorang Muslim, dan saya mengucap salam sejahtera karena saya seorang warga Indonesia. Saya sampaikan ini, agar bapak ibu saudara-saudari saya yang terbiasa dengan enam salam tidak merasa saya tinggalkan.
Pagi ini, kita memperingati 76 tahun lahirnya negara Indonesia. Bulan Agustus biasanya menjadi bulan perayaan Indonesia, di mana rakyat berkumpul di pusat-pusat lingkungan tempat tinggalnya, untuk berbagai seseruan yang telah menjadi tradisi bersama, mulai dari parade, gotong-royong kampung, tirakat kemerdekaan, panggung gebyar kemerdekaan serta lomba-lomba, mulai dari makan kerupuk sampai lomba panjat pinang, di seluruh penjuru tanah air. Tua muda, miskin kaya, siapa saja hadir dan terlibat merayakan keberagaman dan persatuan.
Agustusan juga menjadi momen untuk menyelami kembali tentang sebuah gagasan bernama Indonesia, di mana negerinya gemah ripah loh jinawi, rakyatnya adil makmur sentosa dengan membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Suka cita Agustusan ini tentu meredup bersama bencana pandemi. Sudah selayaknya. Tahun 2021 menjadi tahun kedua kita memperingati kelahiran negara bangsa ini dalam aura penuh keprihatinan. Setahun ini, pandemi ini telah menjungkirbalikkan kehidupan kita bersama.
Terhitung 3,8 juta orang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia pada tanggal 16 Agustus 2021. Secara resmi, tercatat lebih dari 118 ribu orang meninggal dunia. Ini pun data yang kita tahu tidak merefleksikan realita yang sesungguhnya. Para epidemiolog memperkirakan, angka faktualnya berkisar antara lima sampai delapan kali lebih besar. Kawasan-kawasan pemakaman baru yang dalam waktu cepat tertutup pusara menjadi saksi tak terbantahkan, betapa akbar jumlah kematian akibat pandemi ini. Pahit bagi kita untuk mengakui bahwa saat ini kita tidak mampu memenuhi cita-cita untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.
Sangat besar, jumlah warga yang mengingkari pandemi dengan sikap abai prokes maupun menghindar dari sistem layanan kesehatan. Seorang teman mengatakan di desanya 4-6 orang meninggal dunia setiap hari tapi itu karena pagebluk, bukan Covid-19. Orang tetap bertamasya tanpa peduli pada kemungkinan terbawa bencana. Bila sakit, larilah dari rumah sakit agar tidak dicovidkan. Tak usah vaksin, karena tidak terjamin. Kata dr. Pandu Riono, yang terjadi adalah herd stupidity, dan barangkali ini refleksi kegagalan kita mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal pemahaman pandemi.
Pandemi ini memberikan pukulan besar kepada keluarga-keluarga Indonesia. Kementerian Sosial mencatat lebih dari 11.000 anak kehilangan orangtua akibat Covid-19. Penduduk miskin meningkat, menjadi 27,4 juta jiwa di bulan Maret 2021. Kelompok pekerja informal menjadi lapisan pertama yang terpukul oleh hilangnya pendapatan harian, akibat ketiadaan mitigasi berupa perlindungan sosial yang malangnya justru sempat dikorupsi.
Sebagai dampak ikutannya, tantangan kehidupan berkeluarga pun meningkat. Angka perceraian meningkat. Kasus kekerasan terhadap anak meningkat, terutama terkait pembelajaran daring yang melibatkan orangtua. Begitu juga kekerasan terhadap perempuan. Dalam jangka panjang, kecenderungan baru ini berpotensi menyulut kebiasaan kekerasan berulang. Cita-cita membangun kesejahteraan umum, kembali mundur selangkah.
Sebagaimana masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita sedang menghadapi situasi genting. Sejatinya, kita sedang berada pada situasi perang, memperjuangkan keselamatan kita bersama sebagai bangsa. Bila di tahun 1945 kita berperang melawan pasukan kolonial, di masa ini kita melawan pasukan virus yang jauh lebih kuat daripada manusia.
Di masa perjuangan kemerdekaan, kita mencatat para pahlawan dari berbagai lapisan bangsa kita yang rela memberikan jiwa raganya untuk mewujudkan kemerdekaan demi segenap bangsa Indonesia. Setahun ini, kita mencatat para pahlawan dengan semangat yang sama, dengan senjata yang berbeda. Bukan mereka yang berpengaruh politik, atau bermodal kekayaan, atau bersandar pada dukungan kelompok kepentingan. Tetapi manusia Indonesia rata-rata, dengan dorongan cinta yang luar biasa, yang berada di garis kritis bencana ini.
Terdepan dalam barisan para pahlawan masa kini adalah para tenaga kesehatan yang berjibaku dalam keterbatasan sarana prasarana serta risiko pribadi yang sangat tinggi. Puluhan ribu tenaga kesehatan yang kala bertugas harus membungkus dirinya dengan pakaian yang menyengsarakan: tidak bisa minum, tidak bisa makan, tidak bisa ke kamar mandi. Yang memilih untuk membatasi bertemu dengan keluarga dan orang-orang terdekatnya, karena ingin melindungi mereka yang dicintainya. Dan cukup menyesakkan, laman Pusara Digital laporcovid19.org menyebutkan 1.800 lebih tenaga kesehatan di Indonesia ikut menjadi korban jiwa.
Di baris setelahnya, para petugas pemakaman yang bekerja nonstop untuk menggali dan menguburkan jenazah para korban Covid-19. Mereka bekerja di bawah terik matahari dan gelapnya malam, tanpa beroleh dukungan fasilitas yang memadai. Bahkan kadang terpaksa menggeletak beristirahat di pinggir pemakaman, hanya untuk meredakan kepenatan.
Demikian pula para relawan garis kritis yang mengantar para pasien mencari RS, mengurus jenazah, membuat peti mati, bahkan melakukan pemakaman. Dan tentunya, para relawan gerakan kemanusiaan seperti GUSDURian Peduli, Gerakan Islam Cinta, Sambatan Jogja, Dapur Umum Buruh Gendong, Warga Bantu Warga, dan lain-lainnya, yang mengantarkan bantuan dari rakyat yang terus bergotong-royong kepada saudara sebangsanya yang membutuhkan.
GUSDURian Peduli yang bertumpu pada jejaring gusdurian di berbagai sudut Indonesia, menjadi jujugan dari berbagai inisiatif pengumpulan donasi yang ingin menyalurkan bantuannya. Ini menjadi refleksi dari kepercayaan masyarakat kepada kredibilitas Jaringan GUSDURian, dan kepada daya jangkau Jaringan GUSDURian yang membersamai rakyat.
Para tenaga kesehatan, para penggali kuburan, para relawan, mereka inilah para pahlawan Indonesia era modern. Yang maju ke depan menghadapi tantangan zaman, walau medan pertempuran penuh dengan keterbatasan dan ranjau yang membahayakan. Yang tidak pernah berpikir untuk menjadi pahlawan, hanya bergerak karena panggilan tugas pelayanan.
Di sisi yang lain, bagaimana dengan para pemimpin dalam medan perjuangan ini?
Di tahun 1945, dalam situasi penuh ketidakpastian, ketidaksiapan, ketidaknyamanan, dan di tengah perbedaan pandangan, para pemimpin kita ikhlas bersepakat untuk melahirkan Republik Indonesia dengan mengesampingkan kepentingan kelompoknya, lalu bahu-membahu merawat bayi republik.
Namun kali ini, sebagian besar elit bangsa setahun ini sepertinya memiliki prioritas yang berbeda dengan para pemimpin bangsa tahun 1945. Alih-alih memusatkan sumber dayanya untuk berkontribusi menghadapi pandemi, kita justru disuguhi berbagai aksi yang memprihatinkan.
Ada pernyataan pejabat yang meremehkan pandemi, ada pernyataan antarpejabat yang saling menegasikan, ada kebijakan pemerintah daerah yang tidak selaras dengan pemerintahan di atasnya, ada korupsi data pandemi hanya untuk mempersolek diri di mata publik, ada bantuan sosial yang dikorupsi, ada kehebohan yang mulia wakil rakyat di parlemen yang menuntut perlakuan istimewa misalnya RS khusus bagi wakil rakyat dan fasilitas isolasi mandiri di hotel.
Ada juga upaya memanfaatkan bencana untuk mengejar agenda-agenda oligarki. Dan yang paling epik adalah ada baliho-baliho wajah-wajah tokoh nasional. Pragmatisme terhadap kepentingan politik membuat mereka takut rakyat lupa wajah mereka di tahun 2024 nanti. Sebagaimana disampaikan lugas oleh Buya Syafii Maarif, negeri ini surplus politisi, minus negarawan.
Tahun 2021 ini, kita tidak pantas merayakan kemerdekaan kita dengan pesta. Keprihatinan ini tidak hanya demi menghormati jutaan jiwa yang terdampak pandemi ini. Lebih dari itu, pesta kemerdekaan tidak pantas kita lakukan karena tahun ini kita belajar lebih banyak tentang pekerjaan rumah kita yang masih jauh dari cita-cita membangun negeri yang adil makmur sentosa.
Tahun ini, kita perlu memperingati kemerdekaan dengan menghaturkan penghargaan kepada para pahlawan Indonesia hari ini. Tanpa mereka yang berada di garis kritis, entah bagaimana kondisi rakyat kita. Yang sakit, tak akan tertolong. Yang membutuhkan bantuan, tak akan terlayani. Yang bersedih, tak akan ada yang menemani.
Tahun ini, kita pantas memperingati kemerdekaan bangsa ini dengan menata hati dan menata diri, bersiap untuk menata langkah. Kita langitkan doa untuk memperkuat nurani dan keteguhan jiwa. Tidak perlu bertekad untuk menjadi pahlawan negara. Hanya perlu menetapkan hati untuk berkhidmah bagi bangsa.
Sebagai para penerus perjuangan Gus Dur, kita telah diberi inspirasi untuk tidak berhenti mencintai Indonesia. Kita telah diberi inspirasi untuk terus bergerak demi bangsa Indonesia Indonesia. Kita telah diberi inspirasi untuk memberi, tidak hanya mengambil dan menerima. Kita telah diberi inspirasi untuk bertindak, tidak hanya berpikir dan berbicara. Kita telah diberi inspirasi untuk berjuang untuk cita-cita kita. Kita telah diberi inspirasi untuk tidak mengharapkan imbalan selain dari tujuan perjuangan itu sendiri.
Suatu ketika, Gus Mus berkeluh-kesah kepada Gus Dur, mengapa Indonesia sering memanggil NU pada saat-saat genting dalam perjalanan sejarahnya, tetapi ketika tantangan terlewati, NU kembali terpinggirkan terlupakan, sementara panggung dan sumber daya direbut oleh lainnya. Kata Gus Mus, NU hanya diperlakukan layaknya satpam Indonesia. Gus Dur menjawab, “Apakah kurang mulia, menjadi satpam Indonesia?”
Maka dengarlah hari ini Indonesia memanggil. Dengarlah Indonesia mendesak. Dengarlah Indonesia menggedor nurani kita. Bergeraklah, berjuanglah, bertindaklah untuk mewujudkan cinta kita pada bangsa Indonesia.
Indonesia membutuhkan pribadi yang tak ragu keluar dari zona aman untuk masuk dalam gelanggang pertempuran melawan pandemi. Indonesia membutuhkan pegiat yang berani melayani di garis kritis. Indonesia membutuhkan warga yang mau membantu saudara sebangsanya.
Indonesia membutuhkan manusia-manusia penuh komitmen untuk mengorganisir dan mengumpulkan sumber daya yang kita perlukan untuk mengatasi bencana ini. Indonesia membutuhkan orang-orang yang berteguh hati untuk terus berusaha mencari jalan keluar dari berbagai persoalan yang mendera.
Indonesia membutuhkan kadernya yang bergerak menjahit berbagai upaya dan kelompok untuk berjalan bersama, bergotong-royong menghadapi pandemi. Dan yang tak kalah penting, Indonesia membutuhkan anak-anak bangsa yang tetap kritis menyuarakan keadilan dan kemanusiaan di tengah bencana ini, agar kita tidak menggadaikan perjuangan jangka panjang dan cita-cita kita.
Tanggal 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa dan para pahlawan telah membuka pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Tugas kita hari ini untuk memastikan pintu itu tidak tertutup dan terhalang, untuk dapat mewujudkan keadilan dan kemakmuran bangsa. Mari, kita teguhkan diri.
Selamat bertindak. Selamat bergerak. Selamat berjuang. Demi rakyat, demi Indonesia.
Gus Dur telah meneladankan. Saatnya kita melanjutkan. []