• Login
  • Register
Minggu, 26 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Pahlawan Perempuan Anonim yang Luput dari Sejarah Perang Aceh

Para perempuan anonim ini, yang namanya tidak tercatat dalam sejarah Indonesia, mengambil bagian dalam perjuangan bersama pejuang laki-laki dan sesama perempuan

Cut Novita Srikandi Cut Novita Srikandi
14/11/2021
in Figur
0
Pahlawan

Pahlawan

166
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sudah menjadi tradisi di Indonesia, bahwa pada setiap ‘Hari Pahlawan’ selalu diwarnai dengan wacana ‘pangusulan’ gelar pahlawan nasional, bagi mereka yang dianggap memiliki jasa perjuangan dalam membela bangsa dan negara. Seperti yang terjadi di Blora, Jawa Tengah baru-baru ini.

Di tengah peringatan Hari Pahlawan pada 10 November yang lalu, terdapat usulan agar Pocut Meurah Intan diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Usulan ini disampaikan kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang saat itu sedang berziarah di makam Pocut Meurah Intan, pada Selasa, 9 November 2021 yang lalu.

Potjut Meurah Intan adalah salah satu pejuang perempuan yang ditemukan dalam laporan Belanda. Disebutkan dalam laporan kolonial ‘Kolonial Verslag’ pada tahun 1905, bahwa hingga awal tahun 1904,ia adalah satu-satunya tokoh dari kesultanan Aceh yang belum menyerah dan mempertahankan sikap anti-Belanda. Bahkan setelah suaminya menyerah kepada Belanda, dia memutuskan untuk berpisah dan mendesak ketiga putranya yang bernama Muhammad, Budiman dan Nurdin untuk tetap melanjutkan pertempuran.

Menurut catatan sejarah, perjuangan Pocut Meurah dalam melawan Belanda terjadi pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Setelah berhasil menghindari penangkapan, Pocut Meurah Intan melakukan perlawanan dengan cara bergerilya. Akhirnya ia ditangkap di markas mereka di Padang Tiji. Pocut Meurah Intan lalu diasingkan di Kabupaten Blora hingga akhir hayatnya. Makamnya berada di kawasan makam Tegalsari, Desa Tempurejo, Kabupaten Blora. Di makamnya tertulis bahwa ia meninggal pada 20 September 1937.

Di Indonesia, pemberian gelar Pahlawan nasional, diberikan pada mereka yang meninggal dunia karena berjuang melawan penjajahan, juga pada mereka yang semasa hidupnya menghasilkan prestasi atau karya luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Laksamana Malahayati : Ketika Cita-Cita Anak Perempuan Mendapat Dukungan
  • Rahmah El Yunusiyyah dan Kemajuan Perempuan pada Zamannya
  • Refleksi Gender dalam Peringatan Hari Sejarah Nasional 14 Desember
  • Hari Guru: Mengenang Dewi Sartika pendiri “Sakola Keutamaan Istri”

Baca Juga:

Laksamana Malahayati : Ketika Cita-Cita Anak Perempuan Mendapat Dukungan

Rahmah El Yunusiyyah dan Kemajuan Perempuan pada Zamannya

Refleksi Gender dalam Peringatan Hari Sejarah Nasional 14 Desember

Hari Guru: Mengenang Dewi Sartika pendiri “Sakola Keutamaan Istri”

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemilihan pahlawan nasional masih menimbulkan banyak polemik, khususnya yang berkaitan jumlah pahlawan nasional perempuan yang dinilai masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah keseluruhan. Dari 191 jumlah keseluruhan pahlawan nasional, hanya terdapat lima belas orang pahlawan nasional perempuan. Jumlah ini menunjukkan bahwa pemilihan pahlawan nasional di Indonesia masih diwarnai bias gender.

Tidak hanya sampai disitu, polemik terkait gender dalam pemilihan pahlawan nasional terlihat pada nama-nama hanya berjumlah lima belas itu, dianggap belum mewakili para pejuang perempuan lainnya. Kebanyakan dari mereka hanya tercatat dalam cerita-cerita yang berkembang di masyarakat daerahnya masing-masing, sehingga tidak tercatat dalam publikasi sejarah nasional.

Sebut saja, Potjut Meurah Intan, yang merupakan salah satu pejuang perempuan yang turut serta terjun ke medan perang dengan mempertaruhkan nyawanya melawan penjajah, namun tidak mendapat gelar pahlawan nasional.

Penulisan sejarah mengenai tokoh-tokoh pahlawan ini memunculkan pola dasar kepahlawanan perempuan. Para pahlawan perempuan ini selalu digambarkan sebagai seorang prajurit yang berani, cantik, biasanya janda dengan latar belakang bangsawan dan ditakdirkan untuk mati sebagai martir.

Pola kepahlawanan seperti ini banyak terdapat dalam buku-buku sejarah ‘mainstream’ diterbitkan dari tahun 1950 hingga 1980-an.Dengan kata lain, penonjolan pada kisah-kisah romantis dari beberapa tokoh terpilih menjadi satu-satunya titik rujukan sejarah bagi para pejuang perempuan Aceh secara umum.

Dalam sejarah ‘mainstream’ negeri ini, kita mengenal tiga nama tokoh pahlawan perempuan Aceh yang dijadikan sebagai pahlawan nasional. Mereka adalah Malahayati, Cut Nyak Dien dan Cut Meutia. Kisah ketiga tokoh ini sama-sama ditransmisikan oleh orang Belanda.

Kisah Malahayati diketahui lewat sebuah karya fiksi yang berhubungan dengan sejarah Aceh yang diterbitkan pada tahun 1935 yang ditulis oleh Marie Van Zeggelen, kisah Tjoet Nja Dhin diketahui lewat novelis Belanda, Madelon Székely-Lulofs dan Tjoet Meutia yang kisahnya disampaikan oleh  Jurnalis perang Zentgraaff. Narasi ketiganya serupa, yakni adanya penekanan pada kebangsawanan, kesempurnaan fisik, dan peran gendernya sebagai seorang istri dari tokoh laki-laki berpengaruh.

Padahal jika ditelusuri, masih banyak pejuang perempuan Aceh anti-Belanda yang hidup di abad kesembilan belas lainnya namun sangat sedikit dinarasikan dalam historiografi Aceh maupun Indonesia, seperti misalnya Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, Pocut Meuligo, Teungku Fakinah dan Teungku Cutpo Fatimah.

Selain itu, masih banyak juga para pejuang perempuan yang ‘anonim’ terlibat dalam perang melawan Belanda. Kebanyakan dari mereka berasal dari desa dan jauh dari lingkaran eksklusivisme kebangsawanan aceh. Zentgraaff melaporkan bahwa ada ratusan dan mungkin ribuan perempuan Aceh yang aktif terlibat dalam perang. Dia menjelaskan bahwa para perempuan ini memilih untuk pergi berperang dari pada tinggal berdiam diri di rumah.

Bukti arsip dari para pejuang perempuan semacam ini juga dapat ditemukan di telegram Belanda yang dikirim dari Aceh ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jawa. Mereka menyebutkan para perempuan desa ini bersenjatakan rencong dan kerap menyerang pasukan marsose kolonial, menyembunyikan senjata dan amunisi, bahkan melakukan penyamaran dengan pakaian pria berwarna hitam. Para perempuan anonim ini, yang namanya tidak tercatat dalam sejarah Indonesia, mengambil bagian dalam perjuangan bersama pejuang laki-laki dan sesama perempuan.

Dalam Sejarah mainstream, narasi mengenai kepahlawanan perempuan didominasi oleh mereka yang berasal dari kalangan bangsawan, berada dibalik nama besar suaminya. Sementara yang berada di luar lingkaran itu, biasanya dilupakan oleh sejarah, seperti kasus para pejuang perempuan yang anonim ini. Bukti partisipasi dalam perang oleh perempuan anonim diungkapkan oleh pengamat Belanda pada abad ke-19, tetapi mereka tidak pernah diberi perhatian yang sama dengan perempuan bangsawan Aceh yang namanya masuk dalam jajaran pahlawan nasional.

Kita memang tidak mengetahui secara pasti tentang latar belakang ratusan atau ribuan perempuan yang diperhatikan oleh Zentgraaff. Namun, belum terlambat untuk mencari sejarah anonim ini. Narasi ini mungkin saja dapat kita temukan pada koleksi jurnal, surat, koran-koran, dan laporan Belanda yang tersimpan dalam Arsip Nasional Belanda, mengingat masa pendudukan Belanda yang cukup lama di Aceh memungkinkan untuk mereka mendokumentasikan hal ini. Bagaimanapun, kejayaan Aceh di masa lalu tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan perempuan sebagai pejuang bahkan pemimpin perang. []

 

Tags: Pahlawan Perempuanpejuang perempuanperempuan acehpocut meurah intansejarah aceh
Cut Novita Srikandi

Cut Novita Srikandi

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019, Dosen dan Peneliti Sastra

Terkait Posts

Asy-Syifa Binti Abdullah

Asy-Syifa Binti Abdullah: Ilmuwan Perempuan Pertama dan Kepala Pasar Madinah

24 Maret 2023
Peminggiran Peran Perempuan

Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

21 Maret 2023
Warisan Gusdur

3 Warisan Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafi’i Menurut Prof. Musdah Mulia

20 Maret 2023
Fundamentalisme Islam

Haideh Moghissi : Fundamentalisme Islam dan Perempuan

17 Maret 2023
Feminisme Islam

Perjuangan Fatima Mernissi dan Feminisme Islam 

14 Maret 2023
Kisah Sayyidah Nafisah

Kisah Sayyidah Nafisah, Keutamaan Ulama Perempuan Masyhur

7 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Puasa dan Intoleransi

    Puasa dan Intoleransi: Betapa Kita Telah Zalim Pada Sesama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Pernah Menyalahkan Agama Seseorang yang Berbeda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nabi Muhammad Saw Berpesan Jika Berdakwah Sampaikan Dengan Tutur Kata Lembut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ramadan Tiba, Kesehatan Gigi dan Mulut Harus Tetap Terjaga
  • Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan
  • 3 Tips Jika Target Ibadah Ramadan Berhenti di Tengah Jalan
  • Kebebasan Dalam Konstitusi NKRI

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist