Mubadalah.id – Islam rahmatan li al-alamin merupakan agama yang sangat memberikan pernghormatan kepada orang berbeda agama.
Bahkan Islam rahmatan li al-alamin juga menolak setiap pandangan yang penuh prasangka buruk dan setiap cara yang berusaha membunuh karakter atau bahkan melenyapkan hak hidup setiap manusia. Nabi Saw menyatakan:
“Aku tidak diutus Tuhan untuk menjadi pengutuk. Melainkan Aku diutus untuk memberi kasih sayang” (Sahih Muslim, no. 6778). :
Ibnu Rusyd, seorang filsuf muslim terkemuka, ahli fiqh dan pelopor rasionalisme Arab- Islam menulis dalam bukunya yang terkenal Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal
“Jika kita menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda agama, kita mestinya menerima dengan senang dan menghormatinya. Sebaliknya jika kita menemukan kesalahan, maka kita patut memperingatkan lalu memaafkannya.” (Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal, hlm.93).
Sekitar satu abad sebelumnya, Imam al-Ghazali, sufi besar, sekaligus pemikir brilian dari Thus, menginformasikan kepada kita bahwa bangsa penganut Zoroastrian (Majusi) adalah bangsa yang sukses besar selama berabad-abad.
Kegemilangan bangsa itu lebih karena kebijakan pemimpinnya yang adil. Hukum harus kita tegakkan dengan adil, tidak mempraktikkan hukum diskriminatif. Tidak tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Mengharam Praktik Kezaliman
Agama mereka mengharamkan praktik-praktik kezaliman tersebut. Mereka juga bekerja sungguh-sungguh untuk mensejahterakan rakyatnya. Al-Ghazali kemudian menghimbau kita untuk bersikap adil terhadap liyan sekaligus melarang mencaci-maki mereka.
Mengutip wahyu Tuhan kepada Nabi Dawud, Imam al-Ghazali mengatakan: “Jangan kamu biarkan kaummu mencaci maki orang-orang asing”, karena mereka sesungguhnya telah berhasil memakmurkan dunia dan mensejahterakan hamba-hamba. (Imam al-Ghazali, al-Tibr al Masbuk fi Nasihah al-Muluk).
Prof. Dr. Husein adz-Dzahabi, mantan Menteri Waqaf Mesir dan Guru Besar Universitas al Azhar pernah mengatakan:
“Kebenaran agama adalah apa yang manusia temukan dari pemahaman kitab sucinya. Sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaaan cara keberagaman umat manusia, atau apa yang kemudian disebut dalam ajaran Islam sebagai “tanawwu’ al-ibadah”. Jika ini dapat kita pahami niscaya tidak akan timbul kelompok-kelompok yang saling mengkafirkan…” (Quraisy Shihab, Antara Absolusitas dan Relativitas dalam Agama dan Pluralitas Bangsa). []