Mubadalah.id – Saat malam yang tenang ditimpahi angin yang mengalir lembut dan langit bermandikan cahaya, Nabi Muhammad Saw berdiri di atas gunung yang disebut Hira. Tiba-tiba Jibril menampakkan diri di hadapannya dan mengatakan:
“Selamat atas Anda, Muhammad. Aku Jibril dan Anda adalah utusan Allah kepada umat ini.” Kemudian ia merengkuh tubuh Nabi sambil mengatakan, “Bacalah!” Muhammad Saw menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” “Bacalah !” katanya lagi.
Bahkan, Muhammad mengulangi jawaban yang sama. Jibril lalu menarik dan mendekapnya sampai menyulitkan beliau bernapas.
Setelah dilepaskan, Jibril mengulangi lagi perintahnya dan dijawab dengan jawaban yang sama. Pada yang keempat kalinya Muhammad Saw kemudian mengucapkan kalimat suci ini:
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan (perantaraan) pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-‘Alaq ayat 1-5).
Begitu selesai, Jibril menghilang entah ke mana. Muhammad Saw tetap merasa ketakutan. Tubuhnya menggigil. Keringat dingin mengalir deras dari pori-pori tubuhnya.
Kemudian, beliau bergegas pulang menemui Khadijah, istrinya, dengan hati yang penuh rasa galau, cemas, dan takut. Bahkan, begitu tiba di rumah, ia masuk kamar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Katanya, “Selimuti aku! selimuti aku, sayangku!” Khadijah segera menyelimuti seluruh tubuhnya rapat-rapat.
Setelah rasa takutnya mereda, beliau menceritakan peristiwa yang dialaminya dan mengatakan, “Aku takut diriku, sayang. Aku khawatir sekali.”
Khadijah mengatakan dengan lembut, membesarkan hatinya:
“Tidak, sayangku. Demi Allah, Dia tidak akan pernah merendahkanmu. Engkaulah orang yang akan mempersatukan dan mempersaudarakan umat manusia, memikul beban penderitaan orang lain, bekerja untuk mereka yang papa, menjamu tamu dan menolong orang-orang yang menderita demi kebenaran.”
Bertemu Waraqah bin Naufal
Kemudian Khadijah menghubungi putra pamannya, Waraqah bin Naufal. Ia adalah pengikut sekaligus seorang pendeta Nasrani dan penafsir Bibel, Kitab Taurat dan Injil. Ia memahaminya dalam bahasa Ibrani yang fasih.
Bahkan, kepada sepupunya ini, Khadijah mengatakan, “Tolong dengarkan apa yang sepupumu sampaikan.” Kemudian Nabi Saw menceritakan apa yang ia lihat dan alami.
Waraqah sangat mengerti soal itu. Tanda-tanda kenabian telah ia pahami dengan baik dari sejarah para Nabi sebelum Muhammad.
Kemudian, ia mengatakan, “Muhammad, itulah Namus yang pernah turun kepada Nabi Musa as. Kau akan menjadi utusan Tuhan. Kau akan banyak orang yang mendustakan, menyaakiti, mengusir, dan membunuh. Kalau saja aku masih muda dan kuat, aku pasti akan membelamu manakala kaummu mengusirmu.”
Lalu Rasulullah Saw menanyakan, “Apakah mereka akan mengusirku ?” “Ya, dan tak ada seorang pun yang sanggup menanggung beban berat seperti yang kamu tanggung,” jawab Waraqah.
Nabi tertegun. Hatinya masygul. Ia tak dapat membayangkan peristiwa yang akan terjadi terhadap dirinya, bagaimana dia akan bisa hidup di luar daerahnya dan dalam keadaan sebagai orang yang dikejar-kejar, bagai penjahat besar yang menjadi buronan masyarakatnya sendiri. []