• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Memaknai Perceraian, Perkara Halal Tapi Paling Dibenci

Nur Rofiah Nur Rofiah
15/02/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Perceraian

Perceraian

255
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Perceraian pernah disebutkan oleh sebuah hadis sebagai hal halal yang paling dibenci oleh Allah. Jika melihat konteks sosial yang terjadi ketika itu, bahkan masih banyak terjadi hingga kini, sabda tersebut sebenarnya sama sekali bukan ditujukan pada para istri yang memutuskan untuk cerai dari perkawinan yang menistakan. Lantas, kepada siapakah sabda tersebut ditujukan?

Dalam kondisi tertentu, perceraian bahkan mendapatkan dukungan dari al-Qur’an. Misalnya dalam Qs. An-Nisa/4:130 yang berbunyi:

وَاِنْ يَّتَفَرَّقَا يُغْنِ اللّٰهُ كُلًّا مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَكَانَ اللّٰهُ وَاسِعًا حَكِيْمًا

‘Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Allah Maha luas karunia-Nya lagi Maha bijaksana’

Ayat ini memberikan dukungan, khususnya pada istri untuk memilih perceraian. Bahkan Allah menjanjikan rezeki yang cukup pada suami-istri yang akhirnya bercerai. Tentu, ada situasi khusus yang melatarinya.

Baca Juga:

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Jika dilihat konteksnya, ayat ini mempunyai semangat untuk memberikan dukungan moral pada istri yang mengkhawatirkan suaminya sedang melakukan nusyuz atau berpaling. Dalam situasi seperti ini, istri pada umumnya mengalami kebimbangan antara bertahan dalam perkawinan namun hatinya panas membara, atau bercerai tapi takut tidak ada yang menafkahi.

Menariknya, ayat ini menggunakan kata nusyuz yang ditujukan pada suami. Bagi masyarakat yang memandang istri adalah milik mutlak suami, maka nusyuz hanya mungkin dilakukan oleh istri. Sebagai pemilik, kata nusyuz dianggap tidak tepat disematkan pada suami. Namun Islam memandang suami dan istri adalah berpasangan (zawaj) sehingga suami pun mungkin melakukan tindakan nusyuz.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa nusyuz tidak bisa lagi diartikan sebagai pembangkangan istri pada suami, melainkan pembangkangan suami atau istri pada komitmen perkawinan untuk mewujudkan ketenangan jiwa kedua belah pihak.

Rasulullah Saw. juga diriwayatkan pernah memberikan dukungan dengan mempermudah istri yang ingin cerai dari suaminya. Salah satunya adalah hadis riwayat Imam Bukhari yang sangat terkenal, bahkan kerap dijadikan dasar tentang bolehnya istri menggugat cerai suami (khulu’),

Dalam hadis tersebut diriwayatkan bahwa istri Tsabit bin Qais mengadu pada Rasulullah Saw:

يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا.

“Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi aku takut akan kufur.” Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?”. Ia menjawab, “Ya.” Maka kemudian kebun itu dikembalikan kepada Tsabit bin Qais dan menyuruhnya untuk menceraikan istrinya. (HR. Bukhari).

Hadis di atas tidak menjelaskan alasan spesifik mengapa istri Tsabit bin Qais ingin bercerai sehingga menimbulkan spekulasi di kalangan ulama. Ibnu Hajar, pensyarah kitab Shahih Bukhari mengatakan bahwa Tsabit bin Qais buruk rupa. Ulama lain mengatakan karena buruk perilakunya, yakni kerap melakukan KDRT sebab jika karena buruk rupa bukankah sejak awal sudah mengetahuinya. Namun hadis di atas menyebutkan bahwa sang istri menegaskan agama dan akhlak Tsabit tidaklah bermasalah baginya.

Janji kokoh

Ayat dan hadis di atas tentu saja tidak bermaksud meremehkan perkawinan, sebab perkawinan di dalam Islam adalah sesuatu yang agung. Bahkan Al-Quran menyebutnya sebagai janji kokoh (Mitsaqan Ghalidlan). Ia tidaklah hanya perjanjian antara suami dengan istri, melainkan juga antara keduanya dengan, Pertama, Keluarga masing-masing, sehingga perkawinan mesti mempererat tali silaturahim dua keluarga besar, bukan malah memutuskan keduanya atau memutuskan suami atau istri dari keluarga masing-masing;

Kedua, Masyarakat, sehingga perlu walimah untuk mengumumkan bahwa keduanya telah menjadi suami-istri agar masyarakat pun bisa memaklumi jika keduanya tinggal serumah atau lebih jauh memiliki anak;

Ketiga, Negara, sehingga perkawinan perlu dipastikan untuk dicatat oleh negara agar hak dan kewajiban masing-masing pihak sebagai suami-istri maupun sebagai orang tua atas anak juga diakui oleh negara;

Keempat, Allah Swt, ini yang paling berat, oleh karena itu setiap tindakan suami dan istri sepanjang usia perkawinan, baik diketahui oleh suami/istrinya atau tidak, kelak akan dipertanggungjawabkan oleh masing-masing pada Allah Swt.

Istilah Mitsaqan Ghalidlan (janji kokoh) dalam Al-Quran hanya disebutkan tiga kali, yaitu terkait perjanjian antara suami dengan istri dalam perkawinan (Qs. An-Nisa/4: 21), perjanjian antara Allah dengan para Rasul yang termasuk Ulul Azmi (Qs. Al-Ahzab/33: 7), dan perjanjian antara Nabi Musa As. dengan Bani Israil (Qs. An-Nisa/4:154).

Jadi seriusnya perkawinan sebagai perjanjian dapat dilihat dari seriusnya dua perjanjian lainnya. Artinya, perkawinan dilarang keras untuk dipermainkan.

Larangan keras mempermainkan perkawinan antara lain ditunjukkan oleh Qs. An-Nisa/4: 20 dan 21 di bawah ini.

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Dan kalau kalian ingin mengganti seorang istri dengan istri yang lain, sedangkan kalian telah memberikan harta yang banyak kepada mereka (istri yang kalian tinggalkan), maka janganlah kalian mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kalian akan mengambilnya dengan kebohongan (yang kalian buat) dan dosa yang nyata? Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal kalian telah bergaul satu sama lain dan mereka telah mengambil janji yang kuat dari kalian?

Ayat ini mengritik sikap seorang laki-laki yang mempermainkan perkawinan. Dia nikahi perempuan, memberinya mahar yang banyak, setelah bosan kemudian mengarang kebohongan agar bisa menceraikannya lalu dipandang pantas mengambil kembali mahar yang telah diberikan. Untuk menikahi perempuan lainnya.

Dalam Qs. Ar-Rum/30:21, Allah Swt. menegaskan bahwa tujuan perkawinan adalah ketenangan jiwa (sakinah) yang muncul karena relasi suami-istri yang didasarkan atas cinta kasih (mawaddah wa rahmah).

Perkawinan dalam Islam dengan demikian tidak hanya dipandang sebagai perkawinan antara dua tubuh, melainkan juga antara dua jiwa. Pasangan suami-istri mesti bekerjasama untuk ikhtiar menyatukan dua tubuh agar kembali jadi jiwa yang satu (nafsin wahidah), yaitu jiwa yang hanya tunduk pada kebaikan bersama.

Perkawinan yang bermartabat

Jika penyebutan perceraian sebagai hal halal yang paling dibenci oleh Allah bukanlah ditujukan pada istri yang ingin cerai karena perkawinan yang menistakan, lalu kepada siapakah peringatan keras ini ditujukan?

Tentu pada siapapun, baik perorangan, masyarakat, maupun bangsa, dan apapun, baik keluarga, lembaga, organisasi, perusahaan, maupun negara, yang mempermainkan atau membiarkan apalagi mendukung perkawinan untuk dipermainkan hingga menjadi rapuh dan mudah runtuh atau cerai.

Jadi, peringatan keras dalam sabda Nabi yang menyebutkan perceraian sebagai hal halal yang paling dibenci oleh Allah, tidak dimaksudkan untuk menghalangi istri yang menjadi korban kezaliman dalam perkawinan untuk gugat cerai. Apalagi jika tindakan tersebut demi keselamatan diri dan anak-anaknya.

Sebaliknya, hadis ini menjadi peringatan keras pada siapa pun yang menjadi penjahat perkawinan. Mereka adalah pelaku kezaliman-kezaliman yang menyebabkan perkawinan. Alih-alih memberikan ketenangan, ia justru meresahkan jiwa sehingga berujung perceraian. Hadis ini juga menjadi peringatan keras pada siapapun yang membiarkan kezaliman dalam perkawinan terjadi, padahal mereka punya otoritas untuk menghentikannya.

Sistem perkawinan yang bermartabat perlu dibangun sejak pra-nikah, selama nikah, maupun pasca-nikah, baik karena perceraian ataupun kematian. Cara pandang antara laki-laki dengan perempuan yang saling menghormati satu sama lain dan tradisi bekerja sama keduanya dalam kebaikan menjadi sangat penting untuk ditanamkan sejak dini. []

Tags: Fiqh KeluargaHubungan suami isteriKesalinganperceraianperkawinan
Nur Rofiah

Nur Rofiah

Nur Rofi'ah adalah alumni Pesantren Seblak Jombang dan Krapyak Yogyakarta, mengikuti pendidikan tinggi jenjang S1 di UIN Suka Yogyakarta, S2 dan S3 dari Universitas Ankara-Turki. Saat ini, sehari-hari sebagai dosen Tafsir al-Qur'an di Program Paskasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta, di samping sebagai narasumber, fasilitator, dan penceramah isu-isu keislaman secara umum, dan isu keadilan relasi laki-laki serta perempuan secara khusus.

Terkait Posts

Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID