• Login
  • Register
Senin, 27 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Perkawinan Anak dari Dilema yang Berujung Bencana

Miris, melihat nasib para generasi bangsa yang seketika terenggut masa bermainnya, karena sebuah penjara bernama “Perkawinan Anak”.

Karina Rahmi Siti Farhani Karina Rahmi Siti Farhani
06/06/2022
in Keluarga
0
Perkawinan Anak

Perkawinan Anak

265
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan
  • Wahai Ayah dan Ibu, Jadilah Sahabat Bagi Anakmu!
    • Perkawinan Anak dalam Kacamata Mufassir Kontemporer Indonesia

Baca Juga:

Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan

Wahai Ayah dan Ibu, Jadilah Sahabat Bagi Anakmu!

Mubadalah.id – Situasi pandemi telah meruntuhkan stabilitas kehidupan banyak individu manusia. Dari mulai rencana menyekolahkan anak ke Lembaga Pendidikan ternama hingga mereka yang berniat melangsungkan pernikahan pun terpaksa batal. Belum lagi potret PHK yang kian padat menghiasi linimasa pemberitaan, menjadikan semua harapan seketika lenyap tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab.

Termasuk fenomena perkawinan anak yang disinyalir menjadi jalan pintas para orang tua karena lilitan ekonomi. Dilansir dari laman BBC News Indonesia, ratusan—sebagai sebutan untuk presentase jumlah yang tak terhitung—anak, dinikahkan selama pandemi. Miris, melihat nasib para generasi bangsa yang seketika terenggut masa bermainnya, karena sebuah penjara bernama “Perkawinan Anak”.

Masalah perkawinan anak juga masuk dalam target kelima dari SDGs (Sustainable development Goals), yakni mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Harapan ini direalisasikan melalui upaya penghapusan segala bentuk praktik perkawinan anak, perkawinan paksa serta sunat perempuan.[1]

Lebih dari sekadar alasan ekonomi, dapat juga dijumpai sejumlah alasan lain yang melatarbelakangi langgengnya perkawinan anak di Indonesia. Pertama, faktor sosial budaya.  Nampak dari masih banyaknya tradisi kebudayaan daerah yang menjodohkan anaknya bahkan sebelum dilahirkan.[2] tanpa memiliki otoritas atas dirinya, sang anak menerima keputusan sepihak dari orang tuanya.

Kedua, faktor pemahaman agama.[3] Banyak di antara para orang tua yang ketakutan ketika anaknya beranjak dewasa dan mengenal pergaulan yang hari ini terlampau bebas di luar rumah. Sulit untuk mereka mengontrol interaksi anak. Belum lagi adanya kekhawatiran akan perzinahan yang sewaktu-waktu dapat menimpa anaknya. Terlebih anak perempuan, yang tentunya secara biologis akan tertinggal jejak, berupa kehamilan—meskipun tidak diinginkan.

Seolah menjadi pintu satu-satunya, pemahaman atas teks agama tersebut diyakini begitu saja dengan mengorbankan masa depan anak. Nyatanya, menikahkan anak di bawah batas minimal kebolehan menikah, justru ibarat “mengobati penyakit dengan penyakit”. Ibarat kata, pendidikan, Kesiapan psikologis, kesiapan emosional bahkan hingga jiwa anak, rela untuk dikorbankan begitu saja.

Tulisan ini berupaya untuk menghubungkan relasi antara realitas perkawinan anak di Indonesia dan sebuah respon dari M. Quraish Shihab sebagai figur mufassir kontemporer Indonesia. Dengan menggunakan kajian kepustakaan dan tinjauan media, penyajian data ini diharapkan dapat relevan dengan konteks hari ini di Indonesia.

Perkawinan Anak dalam Kacamata Mufassir Kontemporer Indonesia

Menyoroti problem perkawinan anak di Indonesia, tentu harus diamati melalui kacamata keindonesiaan. Termasuk dalam meninjau pandangan agama dalam merespon hal tersebut. Adalah Quraish Shihab, sebagai seorang cendikiawan Indonesia yang menamatkan pendidikannya di Mesir, bahkan hingga menulis kitab tafsir lengkap 30 Juz yang diberi nama Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an.

Melalui karyanya, Quraish Shihab mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih memaknai substansi Al-Qur’an, bukan hanya dijadikan kitab suci yang nyaman didengar lantunannya maupun keindahannya dalam bentuk kaligrafi yang banyak dihasilkan.

Termasuk responnya atas perkawinan anak yang dapat ditemukan dalam interpretasi atas QS. al-Thalaq ayat 4,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

Ayat ini merupakan ayat yang membahas mengenai masa Iddah seorang perempuan ketika ditinggal oleh suaminya, karena diceraikan atau meninggal dunia. Namun yang menjadi perhatian adalah adanya kalimat لَمْ يَحِضْنَ, yakni perempuan yang tidak haid—karena belum dewasa, masa Iddahnya sama dengan perempuan yang menopause atau sudah terhenti masa suburnya yakni selama tiga bulan.[4]

Perihal perkawinan anak, dengan tegas Quraish Shihab menolak. Meskipun dalam teks agama tidak dicantumkan larangan tersurat, namun indikasi-indikasinya dapat manusia pahami sebagai suatu anjuran untuk menjauhi praktik perkawinan anak. Satu di antaranya terdapat dalam QS. al-Nur ayat 33, bahwa syarat menikah adalah mampu menjalankan fungsi pendidikan, agama, ekonomi dan aspek kehidupan lainnya.[5] Karenanya, diperlukan usia yang matang hingga sampai pada kesanggupan melaksanakan fungsi pernikahan tersebut.

Dengan metode penafsiran Tahlili—analitis dan rinci—Quraish Shihab menyajikan sebuah pembacaan atas teks Al-Qur’an yang istimewa. Dilengkapi dengan pendekatan adab ijtima’I yang dekat dengan aktivitas masyarakat Indonesia, serta kekhasan corak lughawi yang turut memperkaya pemaparan, menjadikan kitab tafsir ini masih menjadi pengiring keberlangsungan hidup manusia sebagai makhluk beragama di Indonesia.

Catatan penting yang ditekankan oleh Quraish Shihab, bahwa batas perkawinan anak memang tidak disebutkan secara satuan angka dalam teks agama baik Al-Qur’an maupun Hadis Nabi, namun perlu pertimbangan kemanusiaan di dalamnya.[6] Artinya, tidak akan pernah menjadi solusi untuk menghindarkan anak perempuan dari zina atau lebih parahnya agar ekonomi keluarga sedikit lebih ringan, justru hal itu mengancam jiwa anak, utamanya anak perempuan

Tawaran yang disuguhkan adalah pola didikan yang semakin diperbarui. Seiring kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, orang tua pun harus melek akan kebaruan, termasuk dalam pola didik. Di antaranya bagaimana memberikan pendidikan terbaik untuk kebutuhan intelektual atau kemampuan melatih daya akalnya, emosional atau erat kaitannya dengan kontrol diri dan cerminan sikap, dan spiritual sebagai kebutuhan tertinggi untuk membangun hubungan si anak dengan Tuhan. []

Referensi:

[1]Laporan Penelitian Perkawinan Anak dalam Perspektif Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Hindu Kaharingan, “Studi Kasus di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah”, Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, November 2016, hlm. 2-3

[2] Salah satunya masih ditemukan di Jawa Timur khususnya etnik Madura.(Lihat Muallifah, “Pernikahan Dini; Dinamika Perempuan Madura”, dalam Pernikahan Dini; Dinamika Perempuan Madura (mubadalah.id), 2018, diakses pada 27 Mei 2022). Lihat juga Indraswari, “Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus”, dalam Abdurrahman Wahid, dkk, Menakar Harga Perempuan, (ed) Syafiq Hasyim, Mizan: Bandung, 1999, hlm. 140.

[3] Dalam konsep Amin Abdullah sering disebut sebagai “historisitas ayat”. Konsep ini merupakan posisi atas Al-Qur’an yang diturunkan sebagai kitab suci yang sakral, lalu bertemu dengan kehidupan manusia, secara otomatis akan dipahami sesuai historis yang berlaku, dan posisinya sudah beralih menjadi profan. (Lihat Alim Roswantoro, “Epistemologi Pemikiran M. Amin Abdullah”, dalam Alim Roswantoro, dkk, Islam, Agama-agama dan Nilai Kemanusiaan Festschrift untuk M. Amin Abdullah, CISForm: Yogyakarta, 2013, hlm. 11-13)

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 297-299

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 8, hlm. 538.

[6] “Nikah Muda Karena Takut Zina? Shihab & Shihab”, dalam https://youtu.be/XVfTxizY750, 2021, diakses pada 27 Mei 2022.

Tags: Anak PerempuanHak Kesehatan Reproduksi PerempuankeluargaPendewasaan Usia Perkawinanperempuanperkawinan anak
Karina Rahmi Siti Farhani

Karina Rahmi Siti Farhani

Perempuan asal Garut. Mahasiswi Program Pendidikan Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal - LPDP . Menekuni kajian Keislaman-Keperempuanan

Terkait Posts

Sahabat bagi Anak

Wahai Ayah dan Ibu, Jadilah Sahabat Bagi Anakmu!

25 Maret 2023
Marital Rape

Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?

21 Maret 2023
Dinafkahi Istri

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

20 Maret 2023
Generasi Strawberry

Self Diagnose, Parenting, dan Labelling: Penyebab Munculnya Generasi Strawberry

16 Maret 2023
Positive Vibes Keluarga

Pentingnya Kesalingan Membentuk Positive Vibes Keluarga

15 Maret 2023
Akhlak Mulia dalam Rumah Tangga

Tiket Masuk Majlis Rasulullah Saw adalah Akhlak Mulia dalam Rumah Tangga

14 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Akhlak dan perilaku yang baik

    Pentingnya Memiliki Akhlak dan Perilaku yang Baik Kepada Semua Umat Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Piagam Madinah: Prinsip Hidup Bersama
  • Nyai Pinatih: Sosok Ulama Perempuan Perekat Kerukunan Antarumat di Gresik
  • Pentingnya Memahami Prinsip Kehidupan Bersama
  • Q & A: Apa Batasan Sakit yang Membolehkan Tidak Puasa di Bulan Ramadan?
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist