• Login
  • Register
Senin, 27 Juni 2022
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Perkawinan Anak dari Dilema yang Berujung Bencana

Miris, melihat nasib para generasi bangsa yang seketika terenggut masa bermainnya, karena sebuah penjara bernama “Perkawinan Anak”.

Karina Rahmi Siti Farhani Karina Rahmi Siti Farhani
06/06/2022
in Keluarga
0
Perkawinan Anak

Perkawinan Anak

234
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Baca Juga:

Legenda Malahayati dari Aceh yang Jauh dari Stigma Negatif Janda

Pentingnya Memberikan Dasar Pendidikan Islam bagi Anak-anak

Perlawanan Perempuan terhadap Narasi Budaya Patriarki

Pasangan Suami Istri Diminta untuk Saling Berbuat Baik

Mubadalah.id – Situasi pandemi telah meruntuhkan stabilitas kehidupan banyak individu manusia. Dari mulai rencana menyekolahkan anak ke Lembaga Pendidikan ternama hingga mereka yang berniat melangsungkan pernikahan pun terpaksa batal. Belum lagi potret PHK yang kian padat menghiasi linimasa pemberitaan, menjadikan semua harapan seketika lenyap tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab.

Termasuk fenomena perkawinan anak yang disinyalir menjadi jalan pintas para orang tua karena lilitan ekonomi. Dilansir dari laman BBC News Indonesia, ratusan—sebagai sebutan untuk presentase jumlah yang tak terhitung—anak, dinikahkan selama pandemi. Miris, melihat nasib para generasi bangsa yang seketika terenggut masa bermainnya, karena sebuah penjara bernama “Perkawinan Anak”.

Masalah perkawinan anak juga masuk dalam target kelima dari SDGs (Sustainable development Goals), yakni mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Harapan ini direalisasikan melalui upaya penghapusan segala bentuk praktik perkawinan anak, perkawinan paksa serta sunat perempuan.[1]

Lebih dari sekadar alasan ekonomi, dapat juga dijumpai sejumlah alasan lain yang melatarbelakangi langgengnya perkawinan anak di Indonesia. Pertama, faktor sosial budaya.  Nampak dari masih banyaknya tradisi kebudayaan daerah yang menjodohkan anaknya bahkan sebelum dilahirkan.[2] tanpa memiliki otoritas atas dirinya, sang anak menerima keputusan sepihak dari orang tuanya.

Kedua, faktor pemahaman agama.[3] Banyak di antara para orang tua yang ketakutan ketika anaknya beranjak dewasa dan mengenal pergaulan yang hari ini terlampau bebas di luar rumah. Sulit untuk mereka mengontrol interaksi anak. Belum lagi adanya kekhawatiran akan perzinahan yang sewaktu-waktu dapat menimpa anaknya. Terlebih anak perempuan, yang tentunya secara biologis akan tertinggal jejak, berupa kehamilan—meskipun tidak diinginkan.

Seolah menjadi pintu satu-satunya, pemahaman atas teks agama tersebut diyakini begitu saja dengan mengorbankan masa depan anak. Nyatanya, menikahkan anak di bawah batas minimal kebolehan menikah, justru ibarat “mengobati penyakit dengan penyakit”. Ibarat kata, pendidikan, Kesiapan psikologis, kesiapan emosional bahkan hingga jiwa anak, rela untuk dikorbankan begitu saja.

Tulisan ini berupaya untuk menghubungkan relasi antara realitas perkawinan anak di Indonesia dan sebuah respon dari M. Quraish Shihab sebagai figur mufassir kontemporer Indonesia. Dengan menggunakan kajian kepustakaan dan tinjauan media, penyajian data ini diharapkan dapat relevan dengan konteks hari ini di Indonesia.

Daftar Isi

  • Perkawinan Anak dalam Kacamata Mufassir Kontemporer Indonesia

Perkawinan Anak dalam Kacamata Mufassir Kontemporer Indonesia

Menyoroti problem perkawinan anak di Indonesia, tentu harus diamati melalui kacamata keindonesiaan. Termasuk dalam meninjau pandangan agama dalam merespon hal tersebut. Adalah Quraish Shihab, sebagai seorang cendikiawan Indonesia yang menamatkan pendidikannya di Mesir, bahkan hingga menulis kitab tafsir lengkap 30 Juz yang diberi nama Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an.

Melalui karyanya, Quraish Shihab mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih memaknai substansi Al-Qur’an, bukan hanya dijadikan kitab suci yang nyaman didengar lantunannya maupun keindahannya dalam bentuk kaligrafi yang banyak dihasilkan.

Termasuk responnya atas perkawinan anak yang dapat ditemukan dalam interpretasi atas QS. al-Thalaq ayat 4,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

Ayat ini merupakan ayat yang membahas mengenai masa Iddah seorang perempuan ketika ditinggal oleh suaminya, karena diceraikan atau meninggal dunia. Namun yang menjadi perhatian adalah adanya kalimat لَمْ يَحِضْنَ, yakni perempuan yang tidak haid—karena belum dewasa, masa Iddahnya sama dengan perempuan yang menopause atau sudah terhenti masa suburnya yakni selama tiga bulan.[4]

Perihal perkawinan anak, dengan tegas Quraish Shihab menolak. Meskipun dalam teks agama tidak dicantumkan larangan tersurat, namun indikasi-indikasinya dapat manusia pahami sebagai suatu anjuran untuk menjauhi praktik perkawinan anak. Satu di antaranya terdapat dalam QS. al-Nur ayat 33, bahwa syarat menikah adalah mampu menjalankan fungsi pendidikan, agama, ekonomi dan aspek kehidupan lainnya.[5] Karenanya, diperlukan usia yang matang hingga sampai pada kesanggupan melaksanakan fungsi pernikahan tersebut.

Dengan metode penafsiran Tahlili—analitis dan rinci—Quraish Shihab menyajikan sebuah pembacaan atas teks Al-Qur’an yang istimewa. Dilengkapi dengan pendekatan adab ijtima’I yang dekat dengan aktivitas masyarakat Indonesia, serta kekhasan corak lughawi yang turut memperkaya pemaparan, menjadikan kitab tafsir ini masih menjadi pengiring keberlangsungan hidup manusia sebagai makhluk beragama di Indonesia.

Catatan penting yang ditekankan oleh Quraish Shihab, bahwa batas perkawinan anak memang tidak disebutkan secara satuan angka dalam teks agama baik Al-Qur’an maupun Hadis Nabi, namun perlu pertimbangan kemanusiaan di dalamnya.[6] Artinya, tidak akan pernah menjadi solusi untuk menghindarkan anak perempuan dari zina atau lebih parahnya agar ekonomi keluarga sedikit lebih ringan, justru hal itu mengancam jiwa anak, utamanya anak perempuan

Tawaran yang disuguhkan adalah pola didikan yang semakin diperbarui. Seiring kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, orang tua pun harus melek akan kebaruan, termasuk dalam pola didik. Di antaranya bagaimana memberikan pendidikan terbaik untuk kebutuhan intelektual atau kemampuan melatih daya akalnya, emosional atau erat kaitannya dengan kontrol diri dan cerminan sikap, dan spiritual sebagai kebutuhan tertinggi untuk membangun hubungan si anak dengan Tuhan. []

Referensi:

[1]Laporan Penelitian Perkawinan Anak dalam Perspektif Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Hindu Kaharingan, “Studi Kasus di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah”, Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, November 2016, hlm. 2-3

[2] Salah satunya masih ditemukan di Jawa Timur khususnya etnik Madura.(Lihat Muallifah, “Pernikahan Dini; Dinamika Perempuan Madura”, dalam Pernikahan Dini; Dinamika Perempuan Madura (mubadalah.id), 2018, diakses pada 27 Mei 2022). Lihat juga Indraswari, “Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus”, dalam Abdurrahman Wahid, dkk, Menakar Harga Perempuan, (ed) Syafiq Hasyim, Mizan: Bandung, 1999, hlm. 140.

[3] Dalam konsep Amin Abdullah sering disebut sebagai “historisitas ayat”. Konsep ini merupakan posisi atas Al-Qur’an yang diturunkan sebagai kitab suci yang sakral, lalu bertemu dengan kehidupan manusia, secara otomatis akan dipahami sesuai historis yang berlaku, dan posisinya sudah beralih menjadi profan. (Lihat Alim Roswantoro, “Epistemologi Pemikiran M. Amin Abdullah”, dalam Alim Roswantoro, dkk, Islam, Agama-agama dan Nilai Kemanusiaan Festschrift untuk M. Amin Abdullah, CISForm: Yogyakarta, 2013, hlm. 11-13)

[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 297-299

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 8, hlm. 538.

[6] “Nikah Muda Karena Takut Zina? Shihab & Shihab”, dalam https://youtu.be/XVfTxizY750, 2021, diakses pada 27 Mei 2022.

Tags: Anak PerempuanHak Kesehatan Reproduksi PerempuankeluargaPendewasaan Usia Perkawinanperempuanperkawinan anak
Karina Rahmi Siti Farhani

Karina Rahmi Siti Farhani

Perempuan asal Garut. Mahasiswi Program Pendidikan Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal - LPDP . Menekuni kajian Keislaman-Keperempuanan

Terkait Posts

Pendidikan Islam

Pentingnya Memberikan Dasar Pendidikan Islam bagi Anak-anak

25 Juni 2022
emosi anak

Mengenal 6 Ciri Khas Emosi Anak

25 Juni 2022
Saling berbuat baik

Pasangan Suami Istri Diminta untuk Saling Berbuat Baik

25 Juni 2022
kekerasan fisik pada anak

Memahami 4 Macam Kekerasan Fisik pada Anak Akibat Kelalaian Orang Tua

24 Juni 2022
Perempuan Bekerja

Laki-laki Penganguran Bukan Salah Perempuan Bekerja

24 Juni 2022
Hikmah bagi Pasangan Suami Istri

Tiga Hikmah bagi Pasangan Suami Istri Pasca Pandemi Covid-19

22 Juni 2022

Discussion about this post

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Haid

    Siapa Bilang Perempuan Haid Tidak Lebih Mulia dari yang Suci?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Legenda Malahayati dari Aceh yang Jauh dari Stigma Negatif Janda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cerita tentang Perubahan Zaman, Obrolan Ringan Bersama Hairus Salim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sesama Perempuan kok Merasa Tersaingi? Katanya Kesetaraan Gender!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Impak Islamisasi di Malaysia: Tudung sebagai Identiti Muslimah Sejati dan Isu Pengawalan Moraliti Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Cerita tentang Perubahan Zaman, Obrolan Ringan Bersama Hairus Salim
  • 6 Rukun Haji yang Wajib Dipatuhi oleh Para Jamaah Haji
  • Sesama Perempuan kok Merasa Tersaingi? Katanya Kesetaraan Gender!
  • Ummu al-Hushain Ra : Sahabat Perempuan yang Dekat dengan Nabi Saw saat Haji Wada’
  • Impak Islamisasi di Malaysia: Tudung sebagai Identiti Muslimah Sejati dan Isu Pengawalan Moraliti Perempuan

Komentar Terbaru

  • Tradisi Haul Sebagai Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial pada Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
  • 7 Prinsip dalam Perkawinan dan Keluarga pada 7 Macam Kondisi Perkawinan yang Wajib Dipahami Suami dan Istri
  • Konsep Tahadduts bin Nikmah yang Baik dalam Postingan di Media Sosial - NUTIZEN pada Bermedia Sosial Secara Mubadalah? Why Not?
  • Tasawuf, dan Praktik Keagamaan yang Ramah Perempuan - NUTIZEN pada Mengenang Sufi Perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Doa agar Dijauhkan dari Perilaku Zalim pada Islam Ajarkan untuk Saling Berbuat Baik Kepada Seluruh Umat Manusia
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2021 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2021 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist