Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir di dalam buku Fikih Hak Anak tentang kekerasan seksual, maka seringkali beberapa pihak memandang pernikahan sebagai solusi dari maraknya kekerasan seksual.
Padahal, menurut Kang Faqih, keduanya berbeda. Dan pernikahan sama sekali tidak menutup seseorang dari menjadi korban atau pelaku tindak kekerasan seksual.
Asumsi dari pencegahan melalui pernikahan ini, bahwa kekerasan seksual terjadi akibat dorongan nafsu seks besar yang tidak terlampiaskan karena tidak ada pasangan nikah yang halal.
Sehingga, ketika dinikahkan dan ia memiliki pasangan halal, bisa melempiaskan dan dampaknya tidak terjadi lagi kekerasan seksual. (Baca juga: Kamu Punya Kebiasaan Julid? Ternyata Itu Bagian dari Penyakit Jiwa Lho!)
Padahal, tidak sedikit perempuan yang justru mengalami kekerasan seksual, pelukaan seksual, tersakiti, dan terintimidasi. Terlebih banyak perempuan juga yang mengalami pemaksaan untuk berhubungan intim yang membuatnya trauma berkepanjangan dan akibatnya tidak menikmati kehidupan pernikahan.
Apalagi yang memaksa perempuan untuk menikah, dengan asumsi untuk menghindari kekerasan seksual, adalah yang masih di usia anak dan perempuan. Maka ia akan mengalami kekerasan dan penistaan yang bertubi-tubi.
Fatwa KUPI telah mengantisipasi asumsi ini, dan menegaskan bahwa kekerasan seksual sangat mungkin terjadi dalam pernikahan, dan karena itu, juga hukumnya haram.
Memang fatwa ini, tidak secara spesifik untuk anak sebagai korban. Namun, korban anak dalam hal ini lebih buruk dan tentu saja hukumnya menjadi haram.