Mubadalah.id – Pernikahan poligami dalam Islam merupakan pengecualian yang sangat terpaksa sebagai pintu darurat (exit door), hanya dilakukan saat terjadi musibah perkawinan yang tidak dapat diselesaikan dengan cara lain.
Bahkan itu pun dilakukan dengan syarat harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan aspek kemaslahatan bagi kedua belah pihak dan keluarganya.
Para ulama sepakat bahwa pernikahan monogami merupakan pernikahan yang sangat ideal. Menurut Muhammad Abduh, seseorang boleh berpoligami kalau ia mampu berbuat adil kepada istrinya, jika tidak bisa, tidak boleh ia lakukan.
Akan tetapi, pendapat tersebut mendapat penolakan secara ekstrem oleh sebagian ulama yang anti poligami, antara lain Mahmoud Mohamed Taha, yang menyatakan bahwa prinsip murni dalam Islam adalah pernikahan antara satu laki-laki dengan satu perempuan, tanpa perceraian.
Larangan poligami tersirat dalam ayat yang lain:
فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً
“Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja. (QS. an-Nisa’ ayat 3).
Dalam ayat lain menyebutkan:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا
Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri-(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian (QS. an-Nisa’ ayat 129).
Terlepas pro dan kontra terhadap poligami, yang jelas fakta membuktikan bahwa pernikahan poligami rentan terhadap konflik dan kekerasan dalam rumah tangga.
Sebab, pada umumnya pihak pertama yang menjadi korban adalah perempuan, terutama hilangnya kebersamaan dalam membangun rumah tangga demi kebahagiaan anak-anaknya.
Agar tidak terjadi perselingkuhan di antara keduanya. Maka kesepakatan untuk saling setia kepada pasangan sangat penting untuk menjadi komitmen bersama. Terutama dalam perjanjian ketika akad nikah berlangsung. []