Mubadalah.id – Pernikahan adalah sebuah ikatan yang sakral. Tak hanya dalam realitas sosial, tetapi juga diakui Al-Qur’an. Allah SWT menyifatinya dalam surah an-Nisa’ ayat 21 dengan mitsaqan ghalidha (ikatan yang kuat/sakral). Karena kesakralan ini, para ulama sangat berhati-hati membahasnya. Walau tak dapat membuat mereka semua sepakat.
Mengkaji ihwal pernikahan, berarti mengkaji segala seluk-beluknya, dari syarat, rukun sampai hal-hal yang menghambat kesahannya. Perihal rukun saja, dalam mazhab Syafi’i, terdapat lima poin pembahasan, di antaranya, shigot (redaksi akad nikah), mempelai wanita, mempelai pria, dua saksi, dan wali nikah. Hal tersebut hanya dalam mazhab Syafi’i saja, belum yang lain. Jadi, tampak sekali begitu banyak objek kajian para ulama seputar nikah ini.
Dari ragam kajian ulama tentang nikah, pembahasan wali dan saksi termasuk yang bergengsi di kalangan mereka. Penulis sendiri, yang pernah sedikit menyimak perdebatan lintas mazhab seputar wali nikah, tiada henti menganggut dan berdecak kagum melihat logika dan argumentasi yang luar biasa.
Imam Nu’man bin Tsabit bin Zutha, atau yang akrab dikenal Abu Hanifah berpendapat, seorang gadis yang berakal sehat (rasyidah), boleh menikahkan dirinya sendiri, tanpa campur tangan seorang wali. Dengan syarat sekufu dan dihadiri dua orang saksi, itupun tidak harus adil. Alias, yang fasik pun boleh. Karena baginya, kehadiran dua saksi hanya sebagai syiar pernikahan, agar tidak terkesan sembunyi-sembunyi. Jadi, tak perlu adil.
Hal ini, sebagaimana dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (hal. 441) karya Ibnu Rusyd al-Qurtubiy. Berikut redaksinya:
وقال أبو حنيفة وزفر والشعبي والزهري: إذا عقدت المرأة نكاحها بغير ولي وكان كفئا جاز
“Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi dan az-Zuhri berpendapat, seorang wanita yang menikahkan dirinya dengan pria sekufu, hukumnya sah.”
Juga dalam kitab yang sama pada halaman 448, disebutkan:
وأبو حنيفة ينعقد عنده بشهادة فاسقين لأن المقصود عنده بالشهادة هو الإعلان فقط
“Menurut Abu Hanifah, keabsahan akad nikah cukup disaksikan oleh dua orang fasik (tak perlu adil). Karena tujuan persaksian itu hanya mempublikasikan status pernikahan saja.”
Abu Hanifah sendiri, mengantongi dua logika sederhana yang melatarbelakangi pendapatnya di atas. Pertama, seorang perempuan memiliki otoritas penuh akan harta bendanya, baik untuk dijual, disedekahkan atau yang lain. Lalu, mengapa dalam pernikahannya, otoritas itu tidak ada?
Kedua, apalah perbedaan antara perempuan, dan bila lelaki boleh menikah tanpa campur tangan wali, mengapa perempuan harus? Dua hal inilah yang mendorong munculnya pendapat Abu Hanifah di atas. Sebagaimana yang ditulis Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 167).
Namun, argumentasi itu ditepis oleh mayoritas ulama, termasuk Imam Syafi’i dan Imam Malik bin Anas. Menurutnya, sebuah pernikahan harus dengan wali dan dua saksi yang adil. Berdasarkan dalil hadis riwayat Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
“Tiada pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ahmad).
Juga ditepis oleh penggalan Hadis riwayat Siti Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل ثلاثا
“Perempuan manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal (kalimat terakhir diulang tiga kali).” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ahmad).
Berdasarkan dua hadis di atas, jumhur ulama menyatakan, mempelai perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, alias harus dengan walinya sekaligus disaksikan dua orang adil. Sebagaimana yang dianut masyarakat Indonesia pada umumnya.
Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa hadis riwayat Ibnu Abbas yang dikemukakan tadi tidak sedang membahas ke-sah-an nikah, melainkan kesempurnaan nikah. Jadi, takwil dari redaksi لا نكاح (tiada pernikahan) adalah لا تمام النكاح (tiada pernikahan yang sempurna), bukan لا صحة النكاح (tiada pernikahan yang sah). Oleh karena itu, kehadiran seorang wali dan dua saksi yang adil tidak terlalu prinsip. Ada dan tidaknya, tak mengganggu keabsahan nikah.
Menyangkal hadis yang kedua, Abu Hanifah berpandangan, perempuan yang hendak menikah hanya disyaratkan meminta izin walinya, tanpa harus dinikahkan si wali. Jadi, cukup mendapat izin dari wali, kemudian ia boleh menikahkan dirinya sendiri.
Hal ini karena redaksi hadisnya mengatakan بغير إذن وليها (tanpa izin walinya). Oleh karenanya, yang ditekankan dalam Hadis riwayat Siti Aisyah di atas adalah إشتراط إذن الولي (keharusan mendapatkan izin wali), bukan إشتراط الولاية في العقد (harus wali yang menikahkan). Perdebatan ini bisa ditemukan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (hal. 441-442).
Perbedaan pendapat di atas, secara tidak langsung mengajak kita lebih bijaksana menghadapi keberagaman dan tidak fanatik melihat perbedaan. Tidak ada perbedaan yang patut disalahkan, apalagi dikafirkan. Mengingat, kebenaran hanyalah milik Tuhan, dan menentukan siapa yang benar adalah hak prerogatif-Nya. Wallahu a’lam. []