• Login
  • Register
Kamis, 23 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Pernikahan Tanpa Wali, Bolehkah?

Membaca Perdebatan Para Ulama tentang Kebolehan Menikah Tanpa Wali

Ahmad Dirgahayu Hidayat Ahmad Dirgahayu Hidayat
02/02/2021
in Hukum Syariat
0
Pernikahan

Pernikahan

252
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pernikahan adalah sebuah ikatan yang sakral. Tak hanya dalam realitas sosial, tetapi juga diakui Al-Qur’an. Allah SWT menyifatinya dalam surah an-Nisa’ ayat 21 dengan mitsaqan ghalidha (ikatan yang kuat/sakral). Karena kesakralan ini, para ulama sangat berhati-hati membahasnya. Walau tak dapat membuat mereka semua sepakat.

Mengkaji ihwal pernikahan, berarti mengkaji segala seluk-beluknya, dari syarat, rukun sampai hal-hal yang menghambat kesahannya. Perihal rukun saja, dalam mazhab Syafi’i, terdapat lima poin pembahasan, di antaranya, shigot (redaksi akad nikah), mempelai wanita, mempelai pria, dua saksi, dan wali nikah. Hal tersebut hanya dalam mazhab Syafi’i saja, belum yang lain. Jadi, tampak sekali begitu banyak objek kajian para ulama seputar nikah ini.

Dari ragam kajian ulama tentang nikah, pembahasan wali dan saksi termasuk yang bergengsi di kalangan mereka. Penulis sendiri, yang pernah sedikit menyimak perdebatan lintas mazhab seputar wali nikah, tiada henti menganggut dan berdecak kagum melihat logika dan argumentasi yang luar biasa.

Imam Nu’man bin Tsabit bin Zutha, atau yang akrab dikenal Abu Hanifah berpendapat, seorang gadis yang berakal sehat (rasyidah), boleh menikahkan dirinya sendiri, tanpa campur tangan seorang wali. Dengan syarat sekufu dan dihadiri dua orang saksi, itupun tidak harus adil. Alias, yang fasik pun boleh. Karena baginya, kehadiran dua saksi hanya sebagai syiar pernikahan, agar tidak terkesan sembunyi-sembunyi. Jadi, tak perlu adil.

Hal ini, sebagaimana dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (hal. 441) karya Ibnu Rusyd al-Qurtubiy. Berikut redaksinya:

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Islam Adalah Agama yang Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta
  • Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid
  • Poligami Bukan Tradisi yang Dilahirkan Islam
  • Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad

Baca Juga:

Islam Adalah Agama yang Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta

Meminang Siti Khadijah Bint Khwailid

Poligami Bukan Tradisi yang Dilahirkan Islam

Mati Mencari Nafkah untuk Keluarga, Lebih Baik daripada Mati Berjihad

وقال أبو حنيفة وزفر والشعبي والزهري: إذا عقدت المرأة نكاحها بغير ولي وكان كفئا جاز

“Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi dan az-Zuhri berpendapat, seorang wanita yang menikahkan dirinya dengan pria sekufu, hukumnya sah.”

Juga dalam kitab yang sama pada halaman 448, disebutkan:

وأبو حنيفة ينعقد عنده بشهادة فاسقين لأن المقصود عنده بالشهادة هو الإعلان فقط

“Menurut Abu Hanifah, keabsahan akad nikah cukup disaksikan oleh dua orang fasik (tak perlu adil). Karena tujuan persaksian itu hanya mempublikasikan status pernikahan saja.”

Abu Hanifah sendiri, mengantongi dua logika sederhana yang melatarbelakangi pendapatnya di atas. Pertama, seorang perempuan memiliki otoritas penuh akan harta bendanya, baik untuk dijual, disedekahkan atau yang lain. Lalu, mengapa dalam pernikahannya, otoritas itu tidak ada?

Kedua, apalah perbedaan antara perempuan, dan bila lelaki boleh menikah tanpa campur tangan wali, mengapa perempuan harus? Dua hal inilah yang mendorong munculnya pendapat Abu Hanifah di atas. Sebagaimana yang ditulis Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (juz 2, hal. 167).

Namun, argumentasi itu ditepis oleh mayoritas ulama, termasuk Imam Syafi’i dan Imam Malik bin Anas. Menurutnya, sebuah pernikahan harus dengan wali dan dua saksi yang adil. Berdasarkan dalil hadis riwayat Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل

“Tiada pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ahmad).

Juga ditepis oleh penggalan Hadis riwayat Siti Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل ثلاثا

“Perempuan manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal (kalimat terakhir diulang tiga kali).” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ahmad).

Berdasarkan dua hadis di atas, jumhur ulama menyatakan, mempelai perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, alias harus dengan walinya sekaligus disaksikan dua orang adil. Sebagaimana yang dianut masyarakat Indonesia pada umumnya.

Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa hadis riwayat Ibnu Abbas yang dikemukakan tadi tidak sedang membahas ke-sah-an nikah, melainkan kesempurnaan nikah. Jadi, takwil dari redaksi لا نكاح (tiada pernikahan) adalah لا تمام النكاح (tiada pernikahan yang sempurna), bukan لا صحة النكاح (tiada pernikahan yang sah). Oleh karena itu, kehadiran seorang wali dan dua saksi yang adil tidak terlalu prinsip. Ada dan tidaknya, tak mengganggu keabsahan nikah.

Menyangkal hadis yang kedua, Abu Hanifah berpandangan, perempuan yang hendak menikah hanya disyaratkan meminta izin walinya, tanpa harus dinikahkan si wali. Jadi, cukup mendapat izin dari wali, kemudian ia boleh menikahkan dirinya sendiri.

Hal ini karena redaksi hadisnya mengatakan بغير إذن وليها (tanpa izin walinya). Oleh karenanya, yang ditekankan dalam Hadis riwayat Siti Aisyah di atas adalah إشتراط إذن الولي (keharusan mendapatkan izin wali), bukan إشتراط الولاية في العقد (harus wali yang menikahkan). Perdebatan ini bisa ditemukan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (hal. 441-442).

Perbedaan pendapat di atas, secara tidak langsung mengajak kita lebih bijaksana menghadapi keberagaman dan tidak fanatik melihat perbedaan. Tidak ada perbedaan yang patut disalahkan, apalagi dikafirkan. Mengingat, kebenaran hanyalah milik Tuhan, dan menentukan siapa yang benar adalah hak prerogatif-Nya. Wallahu a’lam. []

 

 

Tags: Fiqih KeluargaislamKajian Fiqihpernikahan
Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Situbondo, dan pendiri Komunitas Lingkar Ngaji Lesehan (Letih-Semangat Demi Hak Perempuan) di Lombok, NTB.

Terkait Posts

Pernikahan tanpa Wali

Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali

3 Februari 2023
Hukum Aborsi

Fatwa KUPI (Bukan) Soal Hukum Aborsi

29 Desember 2022
Khitan Perempuan

OIAA-Cairo: Mengharamkan Khitan Perempuan Sesuai Syari’ah Islam

19 Desember 2022
Khitan Perempuan

Ulama Dunia Desak Hentikan Khitan Perempuan

13 Desember 2022
Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran

Hukum Perempuan Haid Membaca Al-Quran Menurut Syekh As-Sya’rawi

2 Desember 2022
Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

9 November 2022
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perayaan Nyepi

    Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Adalah Agama yang Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rahmat Allah Swt Untuk Orang Islam dan Orang Kafir
  • Islam Adalah Agama yang Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist