Mubadalah.id – Perspektif perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak mereka merupakan ruh dari isu-isu anak. Perspektif ini harus hadir dalam berbagai perundang-undangan yang begitu banyak itu. Perundang-undangan ini tentu saja menjadi rujukan hukum positif yang menjanjikan. Terutama untuk menuntut negara agar memenuhi hak-hak dasar anak.
Namun, karena banyak dan menyentuh berbagai bidang dan isu lain, undang-undang itu juga rawan tumpang tindih, dan tidak terkonsolidasi. Serta tidak terkoordinasi, bahkan detail penjelasannya sering tidak mencerminkan perspektif dasar tersebut.
Substansi konten dari seluruh perundang-undangan ini juga penting dipotret dengan analisis gender. Gunanya untuk mengetahui bagaimana mengakomodasi perbedaan-perbedaan biologis dan sosial yang dihadapi anak perempuan dari situasi yang ragam dan berlapis-lapis.
Dengan cara itu, konten yang netral tidak membuat anak perempuan sulit mengakses hak-hak mereka secara leluasa, atau bahkan membuat mereka lebih terpuruk dibanding anak laki-laki.
Untuk evaluasi perspektif perlindungan anak ini, termasuk dengan memberi perhatian khusus pada anak perempuan, para pihak perlu membuka diri. Norma-norma dalam hukum Islam, dalam hal ini, juga bisa menjadi sumber inspirasi penguatan perspektif perlindungan ini.
Di sisi lain, juga perlu pengujian dan evaluasi di tingkat implementasi seluruh perundang-undangan terkait hak-hak ini. Pada praktiknya, secara de facto pemenuhan hak-hak ini, termasuk dari pihak negara, masih mengalami berbagai kendala baik kultural, sosial, ekonomi, maupun politik.
Sebagai efek dari warisan kolonialisme, dalam konteks umat Muslim, di Indonesia maupun dunia, kendala-kendala itu antara lain masih adanya segregasi dan pertentangan yang terus dihadap-hadapkan antara hukum positif di satu sisi (Konvensi Global dan Perundang-undangan Negara) dengan hukum Islam (norma-norma agama dari tafsir, hadits, dan fikih). Pertentangan ini sedikit banyak melemahkan upaya-upaya pemenuhan hak-hak anak di negara-negara Islam.
Kurang Kondusif
Pada kenyataannya sikap yang mempertentangkan ini membuat konsolidasi substansi konten perundang-undangan menjadi lemah. Kolaborasi dan kohesifitas antara aparat hukum dengan masyarakat kurang kondusif. Akibatnya apaya-upaya pemerintah dan masyarakat untuk pemenuhan hak anak juga menjadi minim.
Hal demikian ini berdampak pada fakta realitas kehidupan mayoritas anak di dunia berkembang, termasuk Indonesia. Mereka masih mengalami berbagai problem mendasar. Realitas ini menampilkan gambaran umum tentang anak-anak yang mengalami hambatan kultural untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
Mereka belum sepenuhnya dapat mengakses pendidikan, tumbuh kembang secara wajar sesuai perkembangan umur dan kebutuhannya, terlibat dalam hubungan kerja yang adil dan menentukan pilihan masa depan yang lebih merdeka namun terarah.
Sebaliknya mereka masih menjadi korban kekerasan termasuk seksual, korban perdagangan orang dan penculikan, mengalami beban ganda dalam perannya sebagai anak yang harus menanggung pekerjaan orang tua, kekurangan jaminan sosial dan berbagai hal yang menunjukkan tidak-terpenuhnya hak-hak dasar mereka.
Jawaban atas suramnya realitas ini banyak. Antara lain konsolidasi norma-norma legal dan kultural. Pemetaan isu-isu hak anak dalam perundang-undangan adalah jalan pembuka mata untuk konsolidasi ini. Pemetaan yang sama mereka lakukan dalam norma-norma kultural dari hukum Islam, baik dalam diskusi hukum fikih, tafsir al-Qur’an maupun hadits. []