Mubadalah.id – Pada tulisan sebelumnya di “Pola Perkawinan Equal Partner dalam Pandangan Islam bagian I” dijelaskan tentang bagaimana konsep setara dalam perkawinan. Nah, di bagian kedua saya akan menjelaskan pemikiran Amina Wadud Muhsin, salah seorang sarjana-aktivis perempuan muslim, yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan tidaklah dimaksudkan untuk memberikan superioritas kepada laki-laki secara otoritas melekat pada semua individu akan tetapi hanya terjadi secara fungsional yakni selama laki-laki tersebut memenuhi kriteria yang telah disebutkan al-Qur’an.
Terkait kriteria pola perkawinan yang laki-laki tersebut memenuhi kriteria, antara lain: 1) Jika laki-laki tersebut mampu membuktikan kelebihannya, 2) Mampu memberikan nafkah kepada keluarganya, 3) Kelebihan yang dijamin al-Qur’an terhadap laki-laki adalah warisan di mana laki-laki adalah mendapatkan dua bagian dari perempuan. Kelebihan itu harus digunakan laki-laki untuk mendukung perempuan.
Dalam pola perkawinan, Amina Wadud mengkritik para penafsir yang beranggapan bahwa kelebihan laki-laki adalah di bidang fisik dan intelektual adalah given (pemberian dari Tuhan), menurutnya, penafsiran semacam itu sebetulnya tidak ada rujukannya dan tidak sesuai dengan ajaran Islam lainnya.
Oleh karena itu kelebihan (superioritas) laki-laki itu tidak secara otomatis dan absolut, melainkan relatif. Tidak semua laki-laki mengungguli kaum perempuan dalam segala hal. Begitu pula sebaliknya perempuan juga memiliki kelebihan atas laki-laki di dalam hal-hal tertentu.
Yang menjadi perhatian utama dari ayat ini adalah alasan atau rasionalitas laki-laki dijadikan kepala keluarga dengan menyebut beragam makna yaitu pemimpin, pengayom, pelindung dan pendidik bagi kaum perempuan.
Dalam pola perkawinan, Husein Muhammad mengemukanan beragam pendapat mufasir di antaranya Zamakhsyari yang mengatakan bahwa keunggulan laki-laki tersebut meliputi potensi nalar (aql), ketegasan (al -hazm), semangat (al-‘azm), kekuatan fisik (al-quwwah), keberanian dan ketangkasan (al- furusiyyah wa al-ramy).
Sedangkan Al-Razi menyebut faktor keunggulan laki-laki itu adalah di antaranya potensi pengetahuan ( al-ilm) dan kekuatan fisik (al-qudrah). Dalam catatan Husein Muhammad hampir semua mufasir memberikan penjelasan serupa mengenai keunggulan kaum laki-laki dari pada perempuan, akan tetapi para mufasir ini juga menyertai kata fil Ghalib atau ‘urfan pada setiap pendapatnya.
Artinya menurut Husein Muhammad, kata-kata tersebut mengindikasikan bahwa alasan keunggulan laki-laki tersebut sebenarnya diakui oleh para mufassir sebagai sesuatu yang tidak berlaku secara mutlak atau menyeluruh bagi setiap kaum laki-laki.
Terkait pola perkawinan, Alasan kedua dari ayat 34 surat an-Nisa ini yang menjadi landasan laki-laki menjadi superior atas perempuan adalah karena laki-laki menafkahkan sebagian harta mereka. Ayat ini menjelaskan bahwa harta yang diberikan suami kepada istri dan keluarganya tidaklah semua diberikan akan tetapi hanya sebagian saja (min amwaalihim). Husein Muhammad juga mengkritisi pendapat para mufassir yang menyatakan tentang sifat-sifat dari dua alasan atas keunggulan laki-laki ini.
Ibnu Katsir menyebutkan sebagai sifat fi nafsihi (inheren), Muhammad Thahir bin ‘Asyur menyebut sebagai mazaya jibiliyyah (keistimewaan, natural, watak). Syaikh Nawawi Banten dalam ‘uqud al-lujain mengatakan sebagai haqiqiyah (hakikat). Sebutan-sebutan tersebut : fi nafsihi, mazaya jibiliyah, dan haqiqiyah mengesankan sifat-sifat yang permanen, bukan sesuatu yang dapat diusahakan, dipelajari, diubah atau dikonstruksikan.
Menurut Husein Muhammad, pandangan para mufassir di atas tentang sifat superior laki-laki ini berbeda dengan fakta-fakta dari perkembangan sosial yang terjadi dan mengalami perubahan dari masa ke masa. Dewasa ini semakin nampak terlihat banyak kaum perempuan yang memiliki tingkat kecerdasan dan kekuatan yang setara bahkan melebihi kaum laki-laki. fakta-fakta seperti ini bahkan sudah muncul sejak masa Nabi dan para sahabat. Pada masa Nabi banyak ditemukan perempuan yang memiliki tingkat kecerdasan yang setara atau melebihi kaum laki-laki.
Fakta-fakta tentang keunggulan kaum perempuan baik dari segi kecerdasan nalar, kedalaman ilmu pengetahuan, keberanian, ketabahan mental, emosionalitas menujukkan bahwa berbagai keunggulan tersebut dapat dimiliki laki-laki dan perempuan dan merupakan sesuatu yang bisa diusahakan, relatif, bisa dipelajari, bukan sesuatu yang mutlak.
Lebih kanjut Husein Muhammad mengatakan bahwa kesimpulan relatifitas atas sifat-sifat keunggulan laki-laki dan perempuan ini sudah dapat difahami dari ayat 34 surat an-Nisa ini dengan kata-kata ba’dhuhum auliyaau ba’dhin (sebagian atas sebagian lain), artinya tidak semua laki-laki memiliki keunggulan tersebut atas perempuan.
KH Faqihuddin AK menegaskan bahwa bahwa kepala rumah tangga atau kepala keluarga sebenarnya hanyalah status sosial saja, karena yang utama adalah fungsi sosialnya dalam mengemban pertanggungjawaban untuk kebaikan rumah tangga ataupun keluarga. fungsi sosial inilah yang didukung dan diapresiasi oleh Islam.
Oleh karena itu ketika banyak kaum perempuan yang melakukan fungsi-fungsi sebagai kepala keluarga, maka apresiasi dan dukungan terhadap mereka tidak hanya perlu, tetapi wajib dan merupakan implementasi dari syari’ah Islam. Karena Allah SWT dan juga Nabi Muhammad Saw hanya memandang seseorang dari kerja-kerja yang dilakukan, bukan dari status sosial yang disandang atau jenis kelamin yang dimiliki.
Sementara mengenai nafkah harta, merupakan sebuah kewajiban yang dibebankan kepada suami. karena istri sudah diberi beban reproduksi yaitu hamil, melahirkan dan menyusui. Hal ini sangat sesuai dengan makna qawwam dalam surat annisa ayat 34. Akan tetapi hal ini tentu saja tidak mutlak mengingat realitas yang terjadi banyak perempuan yang mampu bekerja sebagaimana laki-laki dan bahkan melebihi penghasilan laki-laki.
Perempuan di luar amanah reproduksinya atau ketika selesai mengemban amanah reproduksi maka dengan kemampuannya yang dimiliki dapat pula menanggung nafkah keluarga bersama dengan laki-laki. Dengan memperhatikan pilar zawaj dan muasyarah bil ma’ruf di mana segala kebutuhan keluarga menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri, maka nafkahpun menjadi kewajiban bersama.
Harta yang dihasilkan adalah milik bersama dan tidak ada yang memonopoli. Pada saat tertentu di mana terdapat sebuah kondisi ketika perempuan turut andil mengemban amanah mencari nafkah untuk keluarga maka dengan prinsip musyawarah suami harus mampu dan bersedia ikut bertanggung jawab untuk melakukan kerja-kerja dalam rumah tangga, sehingga beban rumah tangga dibagi bersama sebagaimana beban nafkah yang ditanggung bersama.
Realitas yang terjadi hari ini banyak suami dan istri memiliki keunggulan yang sama, mereka bersama-sama mencari nafkah untuk keluarga (bahkan banyak di antaranya penghasilan istri melebihi penghasilan suami), melakukan pekerjaan domestik bersama-sama, memutuskan perkara dalam rumah tangga bersama-sama yang mengakibatkan muncul keyakinan bahwa kepemimpinan rumah tangganya adalah kolektif kolegial (ditanggung bersama antara suami dan istri).
Mereka yang menerapkan pola perkawinan equal ini merasa lebih nyaman dalam menjalankan kehidupan rumah tangganya, karena beban publik dan domestik ditanggung bersama juga mendapatkan legitimasi dari agama berdasarkan pemahaman penafsiran surat an-Nisa ayat 34 sebagaimana yang telah dijelaskan.
Demikian penjelasan terkait Perkawinan Equal Partner dalam Pandangan Islam. Semoga bermanfaat. [Baca juga: Tiga Ulama Besar Menolak Perkawinan Anak]