• Login
  • Register
Jumat, 27 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Pola Perkawinan Equal Partner dalam Pandangan Islam Bagian II

Mereka yang menerapkan pola perkawinan equal ini merasa lebih nyaman dalam menjalankan kehidupan rumah tangganya, karena beban publik dan domestik ditanggung bersama

Isti'anah Isti'anah
19/05/2022
in Keluarga
0
Pola Perkawinan Equal Partner dalam Pandangan Islam Bagian II

Pola Perkawinan Equal Partner dalam Pandangan Islam Bagian II

431
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada tulisan sebelumnya di “Pola Perkawinan Equal Partner dalam Pandangan Islam bagian I” dijelaskan tentang bagaimana konsep setara dalam perkawinan. Nah, di bagian kedua saya akan menjelaskan pemikiran Amina Wadud Muhsin, salah seorang sarjana-aktivis perempuan muslim, yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas perempuan tidaklah dimaksudkan untuk memberikan superioritas kepada laki-laki secara otoritas melekat pada semua individu akan tetapi hanya terjadi secara fungsional yakni selama laki-laki tersebut memenuhi kriteria yang telah disebutkan al-Qur’an.

Terkait kriteria pola perkawinan yang laki-laki tersebut memenuhi kriteria, antara lain: 1) Jika laki-laki tersebut mampu membuktikan kelebihannya, 2) Mampu memberikan nafkah kepada keluarganya, 3) Kelebihan yang dijamin al-Qur’an terhadap laki-laki adalah warisan di mana laki-laki adalah mendapatkan dua bagian dari perempuan. Kelebihan itu harus digunakan laki-laki untuk mendukung perempuan.

Dalam pola perkawinan, Amina Wadud mengkritik para penafsir yang beranggapan bahwa kelebihan laki-laki adalah di bidang fisik dan intelektual adalah given (pemberian dari Tuhan), menurutnya, penafsiran semacam itu sebetulnya tidak ada rujukannya dan tidak sesuai dengan ajaran Islam lainnya.

Oleh karena itu kelebihan  (superioritas) laki-laki itu tidak secara otomatis dan absolut, melainkan relatif. Tidak semua laki-laki mengungguli kaum perempuan dalam segala hal. Begitu pula sebaliknya perempuan juga memiliki kelebihan atas laki-laki di dalam hal-hal tertentu.

Yang menjadi perhatian utama dari ayat ini adalah alasan atau rasionalitas  laki-laki dijadikan kepala keluarga dengan menyebut beragam makna yaitu pemimpin, pengayom, pelindung dan pendidik bagi kaum perempuan.

Baca Juga:

Membangun Kehidupan yang Sehat Dimulai dari Keluarga

Cara Mengatasi Rasa Jenuh dalam Kehidupan Rumah Tangga

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

Dalam pola perkawinan, Husein Muhammad mengemukanan beragam pendapat mufasir di antaranya Zamakhsyari yang mengatakan bahwa keunggulan laki-laki tersebut meliputi potensi nalar (aql), ketegasan (al -hazm), semangat (al-‘azm), kekuatan fisik (al-quwwah), keberanian dan ketangkasan (al- furusiyyah wa al-ramy).

Sedangkan Al-Razi  menyebut faktor keunggulan laki-laki itu adalah di antaranya potensi pengetahuan ( al-ilm) dan kekuatan fisik (al-qudrah). Dalam catatan Husein Muhammad hampir semua mufasir memberikan penjelasan serupa mengenai keunggulan kaum laki-laki dari pada perempuan, akan tetapi para mufasir ini juga menyertai kata fil Ghalib atau ‘urfan pada setiap pendapatnya.

Artinya menurut Husein Muhammad, kata-kata tersebut mengindikasikan bahwa alasan keunggulan laki-laki tersebut sebenarnya diakui oleh para mufassir sebagai sesuatu yang tidak berlaku secara mutlak atau menyeluruh bagi setiap kaum laki-laki.

Terkait pola perkawinan, Alasan kedua dari ayat 34 surat an-Nisa ini yang menjadi landasan laki-laki menjadi superior atas perempuan adalah karena laki-laki menafkahkan sebagian harta mereka. Ayat ini menjelaskan bahwa harta yang diberikan suami kepada istri dan keluarganya tidaklah semua diberikan akan tetapi hanya sebagian saja (min amwaalihim). Husein Muhammad juga mengkritisi pendapat para mufassir yang menyatakan tentang sifat-sifat dari dua alasan atas keunggulan laki-laki ini.

Ibnu Katsir menyebutkan sebagai sifat  fi nafsihi (inheren), Muhammad Thahir bin ‘Asyur menyebut sebagai mazaya jibiliyyah (keistimewaan, natural, watak). Syaikh Nawawi Banten dalam ‘uqud al-lujain mengatakan sebagai haqiqiyah (hakikat). Sebutan-sebutan tersebut  : fi nafsihi, mazaya jibiliyah, dan haqiqiyah mengesankan sifat-sifat yang permanen, bukan sesuatu yang dapat diusahakan, dipelajari, diubah atau dikonstruksikan.

Menurut Husein Muhammad, pandangan para mufassir di atas tentang sifat superior laki-laki ini berbeda dengan fakta-fakta dari perkembangan sosial yang terjadi dan mengalami perubahan dari masa ke masa. Dewasa ini semakin nampak terlihat banyak kaum perempuan yang memiliki tingkat kecerdasan dan kekuatan yang setara bahkan melebihi kaum laki-laki. fakta-fakta seperti ini bahkan sudah muncul sejak masa Nabi dan para sahabat. Pada masa Nabi banyak ditemukan perempuan yang memiliki tingkat kecerdasan yang setara atau melebihi kaum laki-laki.

Fakta-fakta tentang keunggulan kaum  perempuan baik dari segi kecerdasan nalar, kedalaman ilmu pengetahuan, keberanian, ketabahan mental, emosionalitas menujukkan bahwa berbagai keunggulan tersebut dapat dimiliki laki-laki dan perempuan dan merupakan sesuatu yang bisa diusahakan, relatif, bisa dipelajari, bukan sesuatu yang mutlak.

Lebih kanjut Husein Muhammad mengatakan bahwa kesimpulan relatifitas atas sifat-sifat keunggulan laki-laki dan perempuan ini sudah dapat difahami dari ayat 34 surat an-Nisa ini dengan kata-kata ba’dhuhum auliyaau ba’dhin (sebagian atas sebagian lain), artinya tidak semua laki-laki memiliki keunggulan tersebut atas perempuan.

KH Faqihuddin AK menegaskan bahwa bahwa kepala rumah tangga atau kepala keluarga sebenarnya hanyalah status sosial saja, karena yang utama adalah fungsi sosialnya dalam mengemban pertanggungjawaban untuk kebaikan rumah tangga ataupun keluarga. fungsi sosial inilah yang didukung dan diapresiasi oleh Islam.

Oleh karena itu ketika banyak kaum perempuan yang melakukan fungsi-fungsi sebagai kepala keluarga, maka apresiasi  dan dukungan terhadap mereka tidak hanya perlu, tetapi wajib dan merupakan implementasi dari syari’ah Islam. Karena Allah SWT dan juga Nabi Muhammad Saw hanya memandang seseorang dari kerja-kerja yang dilakukan, bukan dari status sosial yang disandang atau jenis kelamin yang dimiliki.

Sementara mengenai nafkah harta, merupakan sebuah kewajiban yang dibebankan kepada suami. karena istri sudah diberi beban reproduksi yaitu hamil, melahirkan dan menyusui. Hal ini sangat sesuai dengan makna qawwam dalam surat annisa ayat 34. Akan tetapi hal ini tentu saja tidak mutlak mengingat realitas yang terjadi banyak perempuan yang mampu bekerja sebagaimana laki-laki dan bahkan melebihi penghasilan laki-laki.

Perempuan di luar amanah reproduksinya atau ketika selesai mengemban amanah reproduksi maka dengan kemampuannya yang dimiliki dapat pula menanggung nafkah keluarga bersama dengan laki-laki.  Dengan memperhatikan pilar zawaj dan muasyarah bil ma’ruf di mana segala kebutuhan keluarga menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri, maka nafkahpun menjadi kewajiban  bersama.

Harta yang dihasilkan adalah milik bersama dan tidak ada yang memonopoli. Pada saat tertentu di mana terdapat sebuah kondisi ketika perempuan turut andil mengemban amanah mencari nafkah untuk keluarga maka dengan prinsip musyawarah suami harus mampu  dan bersedia ikut bertanggung jawab untuk melakukan kerja-kerja dalam rumah tangga, sehingga beban rumah tangga dibagi bersama sebagaimana beban nafkah yang ditanggung bersama.

Realitas yang terjadi hari ini banyak suami dan istri memiliki keunggulan yang sama, mereka bersama-sama mencari nafkah untuk keluarga (bahkan banyak di antaranya penghasilan istri melebihi penghasilan suami), melakukan pekerjaan domestik bersama-sama, memutuskan perkara dalam rumah tangga bersama-sama yang mengakibatkan muncul keyakinan bahwa kepemimpinan rumah tangganya adalah kolektif kolegial (ditanggung bersama antara suami dan istri).

Mereka yang menerapkan pola perkawinan equal ini merasa lebih nyaman dalam menjalankan kehidupan rumah tangganya, karena beban publik dan domestik ditanggung bersama juga mendapatkan legitimasi dari agama berdasarkan pemahaman penafsiran surat an-Nisa ayat 34 sebagaimana yang telah dijelaskan.

Demikian penjelasan terkait Perkawinan Equal Partner dalam Pandangan Islam. Semoga bermanfaat. [Baca juga: Tiga Ulama Besar Menolak Perkawinan Anak]

Tags: keadilankeluargaKesetaraanPerkawinan EqualPola Perkawinanrumah tangga
Isti'anah

Isti'anah

Dosen IAIC Tasikmalaya

Terkait Posts

Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Perbedaan anak laki-laki dan perempuan

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

17 Juni 2025
Ibu Rumah Tangga

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

17 Juni 2025
Tanggung Jawab Perkawinan

Tanggung Jawab Pasangan Suami Istri dalam Menjaga Perkawinan

15 Juni 2025
Baru Menikah

Dinamika Pasangan Suami Istri yang Baru Menikah

13 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sejarah Indonesia

    Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nurhayati Subakat, Perempuan Hebat di Balik Kesuksesan Wardah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Islam, Saatnya Hijrah dari Kekerasan Menuju Kasih Sayang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iran dan Palestina: Membaca Perlawanan di Tengah Dunia yang Terlalu Nyaman Diam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW
  • Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
  • Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan
  • Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?
  • Nurhayati Subakat, Perempuan Hebat di Balik Kesuksesan Wardah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID