Mubadalah.id – Ide reformasi al-Qur’an dalam membebaskan perempuan, dapat kita lihat pada visi kemanusiaan universal sebagaimana dalam ayat-ayat Makiyyah dan teks-teks partikularnya, menyiratkan kehendak-kehendak untuk melakukan reformasi terhadap pola relasi gender.
Kehendak reformasi al-Qur’an juga dalam banyak hal terlihat pada sikap-sikap Nabi Muhammad Saw sendiri yang ramah terhadap perempuan.
Untuk menjalankan reformasi tersebut, al-Qur’an sendiri maupun Nabi, pada satu sisi melancarkan berbagai strategi, baik melalui pernyataan-pernyataan yang bernada persuasi, gradual, maupun dengan membuka ruang publik, membebaskan bagi perempuan, dan memberikan hak yang sebelumnya terlarang.
Sementara pada sisi yang lain, terhadap tindakan yang biasa dilakukan oleh orang Arab terhadap perempuan yang nusyuz misalnya, dilakukan dengan mengubah tradisi itu.
Dalam tradisi Arab saat itu, istri yang membangkang suami dapat sanksi perendahan dan pemukulan. Hal ini menurut tradisi mereka sebagai cara mendidik istri. Kenyataan ini menurut al-Qur’an sebagai tradisi kekerasan yang harus Islam ubah.
Al-Qur’an menyampaikan langkah persuasif sekaligus bertahap dan berurutan: menasihati, membiarkannya, dan kemudian memukulnya.
Sebenarnya Nabi sendiri menginginkan transformasi yang radikal, dengan memberikan kesempatan kepada istri yang suaminya pukul untuk membalasnya secara setimpal. Namun, Tuhan belum mengizinkannya.
Imam al Suyuthi menyampaikan sejumlah riwayat tentang latar belakang turunnya ayat nusyuz ini, sebagaimana berikut:
Dari Hasan melalui Asyats bin Abdul Malik menceritakan bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi saw. mengadukan tindakan suaminya yang memukulnya (menampar). Nabi saw. dengan tegas menyarankan pembalasan yang setimpal (qisash). Tetapi ayat kemudian turun, maka perempuan tersebut kembali tanpa membalasnya. Begitu ayat ini turun Nabi bersabda: “Aku menghendaki sesuatu tetapi Allah menghendaki yang lain.”
Terkait hadis di atas, Nasr Hamid Abu Zaid berkomentar:
“Adalah pasti bahwa ketidaksukaan Nabi terhadap perbuatan suami tersebut menunjukkan sikapnya yang menghendaki ditegakkannya prinsip kesetaraan. Tetapi, karena audien tidak atau belum sanggup memikul prinsip kesetaraan tersebut, maka Tuhan menurunkan ayat ini.” []