Mubadalah.id – Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati para pahlawan yang telah gugur untuk memperjuangkan kemerdekaan. Bertepatan dengan hari pahlawan tahun 2025 ini, pemerintah memberikan gelar pahlawan baru. Mereka yang menerima gelar pahlawan, dianggap mempunyai peran penting dalam membangun bangsa.
Selain pahlawan yang menerima gelar, ada juga pahlawan yang tanpa gelar dari pemerintah. Salah satunya adalah seorang imam Katolik, yaitu Y.B. Mangunwijaya, yang akrab disapa Romo Mangun. Memang Romo Mangun bukanlah pahlawan revolusi, tetapi beliau adalah pahlawan kemanusiaan dalam memperjuangkan keadilan.
Banyak orang mengenal Romo Mangun dari bangunan-bangunan indahnya, namun warisan terbesarnya justru ada pada aksi nyata membumi yang ia jalankan. Ia memilih untuk meninggalkan kenyamanan gereja dan altar. Romo Mangun suka turun langsung, hidup dan berjuang bersama masyarakat pinggiran kali Code, Yogyakarta.
Arsitektur yang Memanusiakan
Seorang arsitek, seharusnya bertugas untuk merancang gedung-gedung megah. Namun, Romo Mangun memilih untuk merancang martabat. Ia memang seorang arsitek, namun selain mengerjakan tugasnya sebagai seorang arsitek, ia juga memilih untuk tinggal bersama dengan orang-orang yang menderita.
Pada tahun 1980-an, kawasan pinggiran kali Code terkenal sebagai daerah kumuh. Penguninya pun hanyalah masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pemerintah berencana menggusur tempat itu. Tetapi, banyak terjadi perlawanan terhadap rencana ini. Selain masyarakat yang tinggal, Romo Mangun juga ikut turun tangan. Bukan hanya melakukan protes, ia menawarkan solusi radikal, yaitu membangun perumahan yang layak bersama warga.
Romo Mangun menerapkan filosofi arsitektur yang melampaui keindahan fisik. Ia menciptakan arsitektur yang memanusiakan. Ia percaya, yang paling berguna orang miskin bukanlah belas kasihan, tetapi harga diri. Ia merancang rumah-rumah sederhana dengan material seadanya, namun memperhatikan sirkulasi udara dan sanitasi.
Yang paling unik, ia merancang rumah-rumah agar menghadap ke sungai. Alasannya adalah karena ia ingin agar masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap sungai, menganggapnya sebagai “halaman depan” yang harus terawat, bukan tempat sampah.
“Yang paling dibutuhkan orang miskin adalah harga diri.”
Teologi yang Membumi
Romo Mangun mengajarkan bahwa keimanan adalah hal yang harus turun dari altar (doa) ke pasar (aksi). Ia menyebutnya sebagai “Teologi Membumi.” Baginya, iman tidak cukup terdengar di altar, tetapi harus dibuktikan dengan turun ke jalanan, tempat kaum lemah berada.
Dalam salah satu pernyataannya yang menggetarkan, beliau menegaskan bahwa “Patriotisme masa kini adalah solidaritas dengan yang lemah, yang hina, yang miskin, yang tertindas.”
Kutipan ini menarik garis lurus antara spiritualitas dan kebangsaan. Romo Mangun menunjukkan bahwa patriotisme sejati saat ini bukan dilihat dari seberapa sering kita mengibarkan bendera, tetapi seberapa besar keberanian kita membela warga negara yang tidak mendapat jaminan hak-haknya.
Selain kasus Kali Code, ia tanpa gentar mendampingi masyarakat korban Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah. Warga mendapatkan ancaman untuk melepaskan tanah mereka untuk pembangunan waduk raksasa. Romo Mangun datang bukan untuk berkhotbah, melainkan untuk memberikan pendampingan hukum dan psikologis, menghadapi tentara, dan sempat menjadi buronan karena para petugas melihatnya menghalangi program pemerintah.
Hal yang mendasari sikapnya adalah penolakan keras terhadap feodalisme dan sikap paternalistik dalam bentuk apa pun. Baginya, inti dari feodalisme adalah pembedaan, dan semua manusia berhak mendapat perlakuan setara. Keimanan sejati adalah keberpihakan pada yang lemah.
Jembatan Lintas Iman
Salah satu warisan terbesar Romo Mangun adalah kemampuannya menembus sekat agama dan ideologi. Ia tidak membatasi perjuangannya pada komunitas Katolik saja. Ia ada dalam ketidakadilan terjadi.
Kedekatan dan kerja samanya dengan tokoh-tokoh Muslim pluralis, seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), adalah bukti nyata dari tindakan aksinya. Mereka berdua, dari latar belakang agama yang berbeda, seringkali berada di garis depan pembelaan korban kekerasan dan ketidakadilan, membuktikan bahwa perjuangan kemanusiaan adalah milik bersama.
Ia pernah berkata, “Interpretasi masyarakat Muslim dan Kristiani seputar pendidikan kemanusiaan, dan pendidikan mengasihi sesama manusia itu kan sumbernya sama. Sumbernya dari Gusti Allah.”
Pernyataan ini adalah inti dari semangat lintas iman. Semangat yang mencari titik temu, menemukan keberagaman dalam nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan menjadikannya modal untuk bergerak bersama. Ia mampu menembus batas-batas formal, menyentuh setiap manusia dengan ketulusan cinta kasihnya yang terpancar dari keimanan dan keyakinannya.
Warisan untuk Masa Kini
Romo Mangun tidak hanya meninggalkan bangunan beton, tetapi ia juga meninggalkan arsitektur jiwa. Ia mengajarkan kepada kita bahwa kekudusan sejati tidak diukur dari seberapa dalam meditasi kita, tetapi dari seberapa luas empati kita terhadap penderitaan sesama.
Ketika polarisasi agama dan politik seringkali menguat, warisan Romo Mangun menjadi semakin penting. Ia menantang kita untuk bertanya apakah iman kita sudah berbuah pada keadilan sosial? Apakah nasionalisme kita hanya retorika media sosial, ataukah sudah menjadi solidaritas yang membumi?
Romo Mangun adalah teladan sempurna bahwa seorang individu dapat menjadi 100% Katolik, 100% Indonesia, dan 100% Manusia Universal. Ia mengajarkan bahwa tugas kita adalah merawat rumah bersama Indonesia dengan prinsip keadilan, di mana setiap orang, tanpa terkecuali, mendapat jaminan hak-haknya dan martabatnya.
Dengan berani dan tulus berpihak pada yang lemah, Romo Mangun telah mencontohkan bahwa puncak dari spiritualitas dan kebangsaan adalah humanisme sejati. Warisannya adalah ajakan abadi bagi kita semua untuk menjadi Arsitek Martabat bagi diri sendiri dan bagi sesama. []









































