Mubadalah.id – Pandangan kedua menganggap salam, baik mengucapkannya di awal maupun menjawabnya, sebagai bagian dari relasi sosial.
Untuk cara pandang ini, ada juga kalangan yang melarangnya sama sekali. Mereka beralasan bahwa orang-orang non muslim dianggap sama sekali tidak berhak menerima dan menjawab salam.
Mereka dianggap sebagai golongan yang salah dan sesat, juga sebagai musuh-musuh Islam sehingga sama sekali tidak berhak menerima kebaikan dari umat Islam, baik dalam bentuk menerima salam maupun menjawabnya.
Pandangan lain menyatakan, karena bagian dari pergaulan sosial, maka semua perkara yang baik untuk penguatan relasi sosial adalah baik, dan setidaknya boleh.
Dalam kaidah fiqh, hukum asal dari semua pergaulan sosial adalah boleh (alashlu fi al-mu’amalah al-ibahah). Oleh karena itu, memulai dan menjawab salam adalah baik dan minimal boleh.
Mungkin lebih tepat bahwa praktik memulai salam kepada orang-orang nonmuslim dan menanggapi salam mereka sebagai bagian dari hubungan sosial, bukan ibadah ritual.
Pergaulan Sosial
Dalam pergaulan sosial, tentunya perlu kita sadari penegasan al-Qur’an dan fakta-fakta sosial bahwa manusia tercipta dengan berbeda agama. Karena tercipta berbeda, maka yang kita butuhkan adalah bagaimana mengelola perbedaan tersebut dengan tetap mengutamakan persaudaraan dan kebersamaan.
Mengucapkan atau menjawab salam merupakan bagian dari penguatan sosial dan persaudaraan antarsesama manusia.
Beberapa ayat al-Qur’an sudah menegaskan bahwa perbedaan agama di dunia ini adalah bagian dari keputusan Allah Swt (QS. al-Maa’idah (5): 48), agar setiap orang saling mengenal satu sama lain (QS. al-Hujuraat (49): 13).
Bahkan bisa saling berlomba-lomba antarumat yang berbeda agama dalam mewujudkan kebaikan (QS. al-Baqarah (2): 148).
Beberapa ayat juga menegaskan bahwa berbuat baik terhadap umat yang berbeda agama itu tidak terlarang sama sekali (QS. al-Mumtahanah (60): 8).
Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) mengingatkan kita tentang cara membangun pergaulan sosial yang baik.
Tetangga yang berbeda agama tetap memiliki hak sebagai tetangga. Sehingga harus kita hormati, kunjungi, jaga, dan saling tolong (Ihya’ Ulumuddin, juz 2, hlm. 329-333 (Kairo: Dar al-Hadits, 1994|).
Pernyataan ini merujuk pada berbagai teks hadits Nabi Muhammad Saw tentang pentingnya hak tetangga sebagai bagian dari keimanan (Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6082, 6084, dan 6088).*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama.