Mubadalah.id – Sampai hari ini, Kopri yang memiliki kepanjangan Korps PMII Putri masih terus konsisten menyelenggarakan Sekolah Islam Gender di level kepengurusan tertentu. Konsistensi ini sebagai ikhtiar bersama dalam mengenalkan sekaligus menanamkan nilai-nilai yang adil gender dalam budaya organisasi.
Sekilas tentang Sekolah Islam Gender
Dari namanya sudah jelas, bahwa Sekolah Islam Gender (SIG) adalah forum intelektual yang di dalamnya mengkaji bersama isu-isu gender dalam bingkai Islam. Bagi anggota organisasi tersebut pasti sudah tidak asing dengan sekolah ini. Namun, sangat asing bagi orang-orang yang di luar organisasi.
Umumnya SIG berjalan selama tiga hari berturut-turut. Seperti halnya forum kajian, SIG memiliki sesi materi, diskusi, FGD, hingga follow up setelah kegiatan. Nah, yang paling menarik dari SIG adalah tema-tema yang dibahas selalu up to date dan sesuai kebutuhan.
Kemarin saat saya mendapat amanah untuk menjadi instruktur kegiatan SIG, saya menemukan kebaharuan topik, strategi hingga teknis. Materinya meliputi gender dasar, keorganisasian, citra diri, konsep dasar Islam, hukum Islam di Indonesia, gender perspektif Alquran dan Hadis, serta fikih perempuan.
Dan yang paling menarik lagi, proporsi jumlah peserta hampir seimbang antara laki-laki dan perempuan. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang mana peserta laki-laki hanya dalam hitungan jari. Patut diapresiasi karena sedikit demi sedikit isu-isu tentang gender sudah mulai menjadi perhatian bersama dan bukan lagi hanya milik perempuan.
Follow Up Kegiatan Sekolah Islam Gender
Kegiatan yang tidak memiliki follow up atau keberlanjutan rasanya akan kurang membekas. Oleh karena itu sebagai forum intelektual, SIG memiliki follow up yang tidak jauh dari aktivitas intelektual. Salah satunya adalah membuat kajian sederhana untuk sharing ilmu yang sudah didapat kepada orang-orang sekitar.
Selain itu, peserta SIG memiliki tanggung jawab untuk mengoptimalkan penggunaan media informasi digital. Misalnya menuangkan gagasan dalam bentuk artikel ilmiah maupun populer dan membuat video edukatif.
Tidak jarang pula beberapa level kepenguruan yang menyelenggarakan SIG memilih follow up untuk terjun langsung dalam kegiatan masyarakat. Misalnya mengadakan penyuluhan tentang perkawinan anak maupun stunting di kelompok masyarakat yang membutuhkan. Bahkan ada juga yang melakukan sosialisasi tentang sex education di beberapa lembaga pendidikan baik sekolah umum maupun madrasah.
Pada dasarnya follow up kegaiatan SIG bersifat fleksibel dan sesuai dengan kemampuan masing-masing sumber daya yang ada. Yang terpenting dari follow up tersebut adalah menginternalisasikan nilai-nilai adil gender dalam diri sendiri secara personal maupun lingkungan sekitar secara kolektif.
Belajar dari Sekolah Islam Gender
Meskipun tidak menutup kemungkinan masih adanya penyelewengan nilai-nilai adil gender dalam tubuh organisasi, namun SIG ini mampu menjadi ikhtiar bersama. Tentunya, saya yang terlibat dalam kegiatan SIG mulai dari sebagai peserta, panitia penyelenggara, pemateri, hingga instruktur sangat berharap organisasi lain dapat termotivasi dan ikut menyelenggarakan kegiatan serupa.
Saya kira menyelenggarakan kegiatan semacam itu sangat mudah bagi organisatoris. Namun, titik tekannya adalah pada komitmen untuk senantiasa menanamkan nilai-nilai adil gender dalam setiap lini kehidupan, khususnya dalam lingkup organisasi.
Istilah menanam ini sangat tepat karena seperti halnya kita menanam bibit, sudah pasti memerlukan perawatan yang konsisten seperti halnya memberi pupuk, menyirami, menyingkirkan hama, hingga nanti pada akhirnya memetik hasil panen.
Begitupun dengan menanam nilai-nilai adil gender. Ia juga membutuhkan perhatian dan perawatan secara kolektif. Oleh karena itu, kegiatan positif seperti ini harus berjalan secara konsisten dan penuh komitmen agar manfaatnya dapat terasa baik sekarang maupun secara jangka panjang. []