Mubadalah.id – Kenapa seksisme itu masih eksis dan seringkali ditujukan kepada perempuan? Lebih parahnya lagi seksisme ini merujuk pada adanya penilaian negatif karena dia seorang perempuan. Misalnya yang sering kita dengar kalau perempuan itu lebih cocok menjadi ibu rumah tangga dari pada cari kerja.
Belum lagi dengan seksisme yang mengarah pada objektifikasi seksual seperti pernyataan yang pernah viral ini “ada sesuatu yang menonjol tapi bukan bakat” di kolom komentar foto perempuan atau membandingkan kecantikan seseorang karena perbedaan ras dan usia.
Seperti yang saya temukan pada saat menghadiri kegiatan workshop. Saat itu pembawa acara yang berjenis kelamin laki-laki sedang menyapa peserta yang baru saja masuk ruangan zoom dengan bertanya kabar, asalnya dari mana, hingga apa kesibukannya saat ini.
Lalu salah satu peserta perempuan menjawabnya, termasuk menjawab pertanyaan dari mana ia berasal. Kemudian ada peserta laki-laki yang menimpali pembawa acara seperti ini, “enak ya jadi pembawa acara bisa tanya-tanya alamat perempuan ini dimana dan alamat perempuan itu dimana”.
Saya cukup tercengang dengan pernyataan peserta laki-laki itu, kenapa harus berkata seperti itu? Apakah mungkin saya terlalu sensitif sehingga merasa pernyataan itu mengarah pada tindakan seksis? Ini karena saya melihat arah pembicaraannya seperti mengarah kepada objektifikasi perempuan.
Pembawa acaranya pun merespons, “silakan kalau kamu juga mau bertanya hal yang sama, dipilih saja mau bertanya ke yang mana”. Respon dari pembawa acaranya pun semakinmembuat saya yakin bahwa maksud dari percakapan mereka adalah perempuan yang secara tidak langsung menjadi objek seksual.
Obrolan pun berlangsung dan diiringi dengan canda tawa dari keduanya, seakan membicarakan objektifikasi terhadap perempuan ini merupakan isu yang menarik dibahas. Sayangnya pernyataan itu juga hanya dianggap guyonan dan menjadi salah satu topik pembicaraan yang cukup panjang.
Perasaan saya semakin gusar ketika mendengar antar sesama laki-laki seakan-akan saling memberi kesempatan untuk melakukan tindakan seksis. Mungkin bagi mereka pembicaraan itu hanya berada pada ranah bercandaan saja, dan mungkin mereka tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan bagian dari tindakan seksis.
Pada akhirnya tindakan seksis ini sudah dianggap sesuatu yang wajar hingga terekam di alam bawah sadar yang melakukannya. Dan pelakunya pun akan berdalih bahwa itu hanyalah bagian dari bahan cerita lucu yang menurut saya tidak perlu dilakukan di depan banyak orang.
Pelaku seksis mungkin bisa jadi tidak memiliki rasa empati pada lawan jenis, tanpa disadari seksisme juga bisa menjadi sesuatu yang menyakitkan bagi orang lain. Kata-kata yang terdengar melecehkan ini mengingatkan kita bahwa seksisme adalah hal yang sebenarnya tidak bisa ditoleransi.
Beberapa alasan kenapa tindakan seksis ini masih eksis, salah satunya karena kita juga secara tidak sadar memberikan ruang kepada mereka untuk melakukannya, tentu sudah jelas kondisi semacam ini juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran konservatif yang menelurkan tindakan superioritas dan patriarkis.
Bukan berarti laki-laki tidak mendapat perlakuan seksis juga, sering kali saya menemukan perempuan yang menjadi pelaku, tapi sampai sejauh ini saya kira perempuan lebih banyak mengalaminya. Ini karena perempuan dilihat sebagai sosok yang menjadi masalah dalam berbagai hal, mulai dari nilai agama yang menceritakan kisah keluarnya Adam dari surga disebabkan Hawa, hingga dalam ilmu sains perempuan dianggap memiliki kemampuan yang secara biologis lebih rendah dari laki-laki.
Seksisme ini tentu telah terjadi sejak lama, karena para pelaku tidak mengakui kesetaraan gender. Namun, menariknya menurut Peter Sterns, sebelum tahun 1750 dalam masyarakat pra-agrikultur perempuan memegang posisi yang setara dengan laki-laki, sehingga ia tidak pernah menerima tindakan dan ucapan seksis.
Kemudian kondisi berubah ketika masyarakat telah mengadopsi pertanian yang menetap dan sekelompok laki-laki mulai melembagakan konsep bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki. Contoh nyata tentang seksisme dalam masyarakat kuno terjadi dengan adanya hukum tertulis yang mencegah perempuan berpartisipasi dalam politik. Seperti yang terjadi di Romawi, perempuan tidak boleh mengikuti pemilu atau memegang jabatan politik.
Menggertak seseorang yang membuat candaan seksis saja tidak cukup, ada baiknya kalau kita mulai membuka suara bahwa seksisme itu membuat perempuan tidak aman dan tidak nyaman. Bahkan seksisme ini tidak hanya terjadi di dunia nyata, tapi saat ini merambah juga ke dunia maya melalui media sosial dan ruang virtual, salah satunya kegiatan yang telah saya sebutkan di awal.
Kita sebagai perempuan juga perlu menyadari bahwa pelaku seksisme terkadang telah melampaui batas, sehingga kita perlu menghentikannya agar tidak berlarut dan berkepanjangan. Kita harus sama-sama menyuarakan bahwa seksisme termasuk tindakan ilegal dan tidak baik, maka secara tidak langsung kita telah memperjuangkan hak dan marwah sesama perempuan.
Terlepas dari bagaimana cara kita memahami seksisme, jika hal itu memberikan banyak mudharat kepada kita dan perempuan lainnya, mulai saat ini kita perlu berkomitmen untuk menjaga diri, mengubah cara pandang, dan bersikap agar memahami bahwa perempuan sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan memiliki hak untuk diperlakukan sama.
Dengan cara ini, saya kira kita bisa sama-sama mencegah penyebaran seksisme sebagai warisan agar praktik diskriminasi ini tidak menjadi lebih parah lagi, dan tidak eksis lagi, bahkan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Maka secara tidak langsung, kita sedang berinvestasi kepada pejuang kesetaraan di masa depan, karena kita mengambil bagian menjadi salah satu yang terlibat dalam perubahan dan gerakan sosial ini. []