Mubadalah.id – Nafkah adalah harta yang diperoleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik pangan, sandang, papan, maupun yang lain. Tentu saja, dalam sebuah keluarga, harus ada yang bertanggung-jawab menghasilkan nafkah keluarga ini demi keberlangsungan hidup semua anggotanya. Siapakah yang wajib menafkahi keluarga ini, apakah suami saja? Atau suami dan istri? Atau bagaimana Islam menjelaskan hal ini?
Secara prinsip, pemenuhan kebutuhan nafkah keluarga ini bisa, dan boleh dari harta siapapun. Tidak hanya harta suami. Bisa juga dari harta istri. Atau bisa juga dari harta orang tua suami dan atau istri, atau yang lain. (Baca juga: Pahala Besar Bagi Istri Pemberi Nafkah Keluarga).
Hadits Bukhari tentang tujuan laki-laki menikahi perempuan, yang di antaranya karena harta yang dimilikinya (Sahih Bukhari, no. hadits: 5146), adalah indikasi kuat bahwa harta istri bisa digunakan untuk kebutuhan keluarga.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. (صحيح البخاري، رقم: 3708) .
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Seorang perempuan itu dinikahi karena empat hal: hartanya, status sosialnya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah perempuan yang memiliki agama, agar kehidupan (rumah tanggamu) lebih terpuji dan lestari”. (Sahih Bukhari, no.: 3708 dan Sahih Muslim, no: 5146).
Ditambah lagi dengan kisah kehidupan Rasulullah Saw di Mekkah, terutama setelah memperoleh wahyu saat berusia 40 tahun, dimana semua kebutuhan nafkah keluarga baginda ditopang penuh oleh harta istri tercinta Sayyidah Khadijah ra. Surat an-Nisa ayat keempat juga secara eksplisit memperbolehkan laki-laki menggunakan harta mahar yang dimiliki istrinya, jika direstui, untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga.
Bukankah Suami yang Wajib Menafkahi?
Para ulama berpendapat, dengan merujuk pada ayat ke-34 dari Surat an-Nisa, bahwa laki-laki bertanggung-jawab menafkahi istrinya. Begitupun, ayat ke-233 dari surat al-Baqarah memerintahkan laki-laki untuk memenuhi nafkah keluarga, kebutuhan istri dan anak-anaknya, baik pangan, sandang, maupun papan.
Dalam hadits yang disampaikan Sahabat Jabir bin Abdullah, Nabi Saw bersabda:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (صحيح مسلم، رقم: 3009).
“Bertakwalah kalian semua dalam memperlakukan para perempuan. Kalian semua telah menjadikan mereka (sebagai istri kalian) dengan tanggungan Allah Swt, dan menjadi halal berhubungan intim dengan mereka juga dengan kalimat Allah Swt.
Kamu berhak atas mereka, (untuk melarang) mereka mengajak seseorang yang tidak kalian sukai (naik) ke ranjang kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut, kalian boleh memukul mereka. Mereka juga berhak atas kalian, pangan dan pakaian mereka dengan cara patutu”. (Sahih Muslim, no. hadits: 3009).
Beberapa teks hadits juga mendorong laki-laki untuk bertanggung-jawab soal nafkah keluarga ini, dengan mencari kerja dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak mereka. Salah satunya adalah teks riwayat ath-Thabrani:
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ ونَشَاطِهِ مَا أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وتَفَاخُرًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ)). (المعجم الأوسط للطبراني، رقم الحديث: 6835).
Dar Ka’b bin ‘Ujrah berkata: Suatu saat ada seseorang yang lewat di hadapan Nabi Muhammad Saw, lalu para Sahabat melihat kekuatan dan kecekatanya yang mengagumkan mereka. “Ya Rasulallah, andai saja (semua kekuatan dan kecekatan) ini digunakan untuk jalan Allah”, kata mereka.
Lalu Nabi Saw menimpali mereka: “Jika dia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka dia sesungguhnya berada di jalan Allah, jika dia keluar untuk membantu kedua orang tuanya yang sudah renta, jika dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dirinya maka ia juga sedang berada di jalan Allah, tetapi jika dia keluar bekerja untuk sebuah mempertontonkan (kehebatan diri) dan kesombongan maka ia berada di jalan setan”. (al-Mu’jam al-Awsath Thabrani, no. hadits: 6835).[1]
Siapa yang Wajib Menafkahi Keluarga Perspektif Mubadalah?
Bekerja pada dasarnya baik, laki-laki dan perempuan dipanggil untuk itu (QS. Ali Imran, 3: 195; an-Nisa, 4: 124; an-Nahl, 16: 97; dan Ghafir, 40: 40). Menggunakan harta hasil kerja, atau hasil pemberian, untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga juga pada dasarnya baik, laki-laki dan perempuan dipanggil, sebagaimana juga kebaikan shalat, zakat, sikap amanah, sabar dan jujur (QS. Al-Baqarah, 2: 177).
Artinya, laki-laki maupun perempuan yang bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, pada dasarnya adalah baik, direstui dan diapresiasi Islam, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Namun, Islam menuntut laki-laki mengemban tanggung-jawab terlebih dahulu dalam persoalan nafkah keluarga ini, karena ada faktor-faktor yang melekat pada perempuan yang bisa menghambatnya dari pencarian nafkah ini, terutama karena dampak perkawinan.
Secara biologis, perempuan berpotensi akan hamil, melahirkan, dan menyusui. Sebuah peran, yang kata al-Qur’an disebut kelelahan berlipat (wahnan ‘ala wahni, QS. Luqman, 31: 14), akan membatasi perempuan untuk bisa bekerja mencari nafkah keluarga dengan maksimal. Karena tanggung-jawab reproduksi ini, laki-laki yang menjadi suaminya wajib bertandang duluan untuk memastikan dan memberi jaminan perlindungan finansial.
Namun, jika perempuan mampu melakukan pekerjaan nafkah keluarga, sekalipun memiliki peran reproduksi ini, atau sedang tidak memikul peran ini, atau suaminya yang justru sedang tidak mampu karena kesehatan atau yang lain, perempuan tentu dibolehkan bekerja mencari nafkah bagi pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga, dengan merujuk pada prinsip awal. Bahkan, dalam keadaan tertentu, bisa saja wajib. Terutama jika ada tuntutan keadaan keluarga dan sosial yang jauh lebih penting.
Pada konteks inilah, kita memiliki preseden para perempuan pada masa Nabi Saw yang justru bekerja dan memiliki harta, yang kemudian menafkahkannya untuk keluarga, suami dan anak-anak mereka, bahkan untuk kepentingan masyarakat lebih luas.
Di antara yang tercatat dalam kitab hadits adalah Zainab ats-Tsaqafiyah ra, istri dari Sahabat terkenal Abdullah bin Mas’ud ra. Sementara berbagai sumber sejarah juga menyebutkan nama-nama seperti Zainab bint Jahsy ra, Qilah al-Anmariyah ra, Malkah ats-Tsaqafiyah ra, Sa’irah al-Asadiyah ra, asy-Syifa bint Abdullah al-Quraisyiyah ra, Umm Ra’lah al-Quraisyiyah, Umm Syuraik al-Ansyariyah ra, dan yang lain (Qira’ah Mubadalah, hal. 470-472).
Tentu saja dengan tetap memperhatikan dua ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an sendiri. Pertama, hak-hak reproduksi untuk memperoleh perlindungan seperti pada saat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui, agar tetap sehat, selamat, dan kuat. Kedua, bekerja sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing (la yukallifullahu nafsan illa wus’aha).
Dus, bekerja dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga adalah sesuatu yang baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, laki-laki harus memikul tanggung-jawab lebih utama dalam hal nafkah keluarga ini, karena perempuan memikul peran reproduksi yang tidak bisa digantikan oleh laki-laki.
Demikian penjelasan terkait siapa yang wajib menafkahi keluarga? Semoga keterangan siapa yang wajib menafkahi keluarga? Wallahu a’lam.
[1] Ath-Thabrani, Sulayman bin Ahmad al-Lakhmi, al-Mu’jam al-Awsath, ed. Thariq bin ‘Awadh, (Cairo: Dar al-Haramain, tanpa tahun), juz 7, hal. 56.