• Login
  • Register
Senin, 2 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Siapa yang Wajib Menafkahi Keluarga?

Secara prinsip, pemenuhan kebutuhan nafkah keluarga ini bisa, dan boleh dari harta siapapun. Tidak hanya harta suami. Bisa juga dari harta istri. Atau bisa juga dari harta orang tua suami dan atau istri, atau yang lain

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
29/10/2022
in Hukum Syariat, Rujukan
0
Siapa yang Wajib Menafkahi Keluarga?

Siapa yang Wajib Menafkahi Keluarga?

734
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Nafkah adalah harta yang diperoleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik pangan, sandang, papan, maupun yang lain. Tentu saja, dalam sebuah keluarga, harus ada yang bertanggung-jawab menghasilkan nafkah keluarga ini demi keberlangsungan hidup semua anggotanya. Siapakah yang wajib menafkahi keluarga ini, apakah suami saja? Atau suami dan istri? Atau bagaimana Islam menjelaskan hal ini?

Secara prinsip, pemenuhan kebutuhan nafkah keluarga ini bisa, dan boleh dari harta siapapun. Tidak hanya harta suami. Bisa juga dari harta istri. Atau bisa juga dari harta orang tua suami dan atau istri, atau yang lain. (Baca juga: Pahala Besar Bagi Istri Pemberi Nafkah Keluarga).

Hadits Bukhari tentang tujuan laki-laki menikahi perempuan, yang di antaranya karena harta yang dimilikinya (Sahih Bukhari, no. hadits: 5146), adalah indikasi kuat bahwa harta istri bisa digunakan untuk kebutuhan keluarga.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. (صحيح البخاري، رقم: 3708) .

Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Seorang perempuan itu dinikahi karena empat hal: hartanya, status sosialnya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah perempuan yang memiliki agama, agar kehidupan (rumah tanggamu) lebih terpuji dan lestari”. (Sahih Bukhari, no.: 3708 dan Sahih Muslim, no: 5146).

Baca Juga:

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

Membangun Keluarga Sakinah: Telaah Buku Saku Keluarga Berkah

Ditambah lagi dengan kisah kehidupan Rasulullah Saw di Mekkah, terutama setelah memperoleh wahyu saat berusia 40 tahun, dimana semua kebutuhan nafkah keluarga baginda ditopang penuh oleh harta istri tercinta Sayyidah Khadijah ra. Surat an-Nisa ayat keempat juga secara eksplisit memperbolehkan laki-laki menggunakan harta mahar yang dimiliki istrinya, jika direstui, untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga.

Bukankah Suami yang Wajib Menafkahi?

Para ulama berpendapat, dengan merujuk pada ayat ke-34 dari Surat an-Nisa, bahwa laki-laki bertanggung-jawab menafkahi istrinya. Begitupun, ayat ke-233 dari surat al-Baqarah memerintahkan laki-laki untuk memenuhi nafkah keluarga, kebutuhan istri dan anak-anaknya, baik pangan, sandang, maupun papan.

Dalam hadits yang disampaikan Sahabat Jabir bin Abdullah, Nabi Saw bersabda:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ   (صحيح مسلم، رقم: 3009).

“Bertakwalah kalian semua dalam memperlakukan para perempuan. Kalian semua telah menjadikan mereka (sebagai istri kalian) dengan tanggungan Allah Swt, dan menjadi halal berhubungan intim dengan mereka juga dengan kalimat Allah Swt.

Kamu berhak atas mereka, (untuk melarang) mereka mengajak seseorang yang tidak kalian sukai (naik) ke ranjang kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut, kalian boleh memukul mereka. Mereka juga berhak atas kalian, pangan dan pakaian mereka dengan cara patutu”. (Sahih Muslim, no. hadits: 3009).

Beberapa teks hadits juga mendorong laki-laki untuk bertanggung-jawab soal nafkah keluarga ini, dengan mencari kerja dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak mereka. Salah satunya adalah teks riwayat ath-Thabrani:

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ ونَشَاطِهِ مَا أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنْ كَانَ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ ‌يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وتَفَاخُرًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ)). (المعجم الأوسط للطبراني، رقم الحديث: 6835).

Dar Ka’b bin ‘Ujrah berkata: Suatu saat ada seseorang yang lewat di hadapan Nabi Muhammad Saw, lalu para Sahabat melihat kekuatan dan kecekatanya yang mengagumkan mereka. “Ya Rasulallah, andai saja (semua kekuatan dan kecekatan) ini digunakan untuk jalan Allah”, kata mereka.

Lalu Nabi Saw menimpali mereka: “Jika dia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka dia sesungguhnya berada di jalan Allah, jika dia keluar untuk membantu kedua orang tuanya yang sudah renta, jika dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dirinya maka ia juga sedang berada di jalan Allah, tetapi jika dia keluar bekerja untuk sebuah mempertontonkan (kehebatan diri) dan kesombongan maka ia berada di jalan setan”. (al-Mu’jam al-Awsath Thabrani, no. hadits: 6835).[1]

Siapa yang Wajib Menafkahi Keluarga Perspektif Mubadalah?

Bekerja pada dasarnya baik, laki-laki dan perempuan dipanggil untuk itu (QS. Ali Imran, 3: 195; an-Nisa, 4: 124; an-Nahl, 16: 97; dan Ghafir, 40: 40). Menggunakan harta hasil kerja, atau hasil pemberian, untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga juga pada dasarnya baik, laki-laki dan perempuan dipanggil, sebagaimana juga kebaikan shalat, zakat, sikap amanah, sabar dan jujur (QS. Al-Baqarah, 2: 177).

Artinya, laki-laki maupun perempuan yang bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, pada dasarnya adalah baik, direstui dan diapresiasi Islam, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Namun, Islam menuntut laki-laki mengemban tanggung-jawab terlebih dahulu dalam persoalan nafkah keluarga ini, karena ada faktor-faktor yang melekat pada perempuan yang bisa menghambatnya dari pencarian nafkah ini, terutama karena dampak perkawinan.

Secara biologis, perempuan berpotensi akan hamil, melahirkan, dan menyusui. Sebuah peran, yang kata al-Qur’an disebut kelelahan berlipat (wahnan ‘ala wahni, QS. Luqman, 31: 14), akan membatasi perempuan untuk bisa bekerja mencari nafkah keluarga dengan maksimal. Karena tanggung-jawab reproduksi ini, laki-laki yang menjadi suaminya wajib bertandang duluan untuk memastikan dan memberi jaminan perlindungan finansial.

Namun, jika perempuan mampu melakukan pekerjaan nafkah keluarga, sekalipun memiliki peran reproduksi ini, atau sedang tidak memikul peran ini, atau suaminya yang justru sedang tidak mampu karena kesehatan atau yang lain, perempuan tentu dibolehkan bekerja mencari nafkah bagi pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga, dengan merujuk pada prinsip awal. Bahkan, dalam keadaan tertentu, bisa saja wajib. Terutama jika ada tuntutan keadaan keluarga dan sosial yang jauh lebih penting.

Pada konteks inilah, kita memiliki preseden para perempuan pada masa Nabi Saw yang justru bekerja dan memiliki harta, yang kemudian menafkahkannya untuk keluarga, suami dan anak-anak mereka, bahkan untuk kepentingan masyarakat lebih luas.

Di antara yang tercatat dalam kitab hadits adalah Zainab ats-Tsaqafiyah ra, istri dari Sahabat terkenal Abdullah bin Mas’ud ra. Sementara berbagai sumber sejarah juga menyebutkan nama-nama seperti Zainab bint Jahsy ra, Qilah al-Anmariyah ra, Malkah ats-Tsaqafiyah ra, Sa’irah al-Asadiyah ra, asy-Syifa bint Abdullah al-Quraisyiyah ra, Umm Ra’lah al-Quraisyiyah, Umm Syuraik al-Ansyariyah ra, dan yang lain (Qira’ah Mubadalah, hal. 470-472).

Tentu saja dengan tetap memperhatikan dua ketentuan yang telah digariskan al-Qur’an sendiri. Pertama, hak-hak reproduksi untuk memperoleh perlindungan seperti pada saat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui, agar tetap sehat, selamat, dan kuat. Kedua, bekerja sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing (la yukallifullahu nafsan illa wus’aha).

Dus, bekerja dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga adalah sesuatu yang baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, laki-laki harus memikul tanggung-jawab lebih utama dalam hal nafkah keluarga ini, karena perempuan memikul peran reproduksi yang tidak bisa digantikan oleh laki-laki.

Demikian penjelasan terkait siapa yang wajib menafkahi keluarga? Semoga keterangan siapa yang wajib menafkahi keluarga? Wallahu a’lam.

[1] Ath-Thabrani, Sulayman bin Ahmad al-Lakhmi, al-Mu’jam al-Awsath, ed. Thariq bin ‘Awadh, (Cairo: Dar al-Haramain, tanpa tahun), juz 7, hal. 56.

Tags: istrikeluarganafkahperkawinanperspektif mubadalahsuami
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

2 Mei 2025
Metode Mubadalah

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Kontroversi Nikah Batin

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

22 April 2025
Idul Fitri

Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

30 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jilbab

    Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an
  • Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID