Mubadalah.id – Kemarin pagi, Senin, 17 Juni 2024, saya berkesempatan menyampaikan mauidzah hasanah di hadapan santri perempuan, sidang jemaah salat Iduladha di Pondok Pesantren KHAS Kempek Putri Cirebon. Kurang lebihnya, saya sarikan sebagai berikut:
Iduladha ialah hari istimewa. Di dalamnya terdapat sebuah peristiwa penting yang mengajarkan manusia tentang ketakwaan, kesabaran, dan ketegaran. Tidak tanggung-tanggung, wasiat itu tersampaikan lewat kisah tiga tokoh penting dalam sejarah ketauhidan umat Islam.
Namun, barangkali, titik fokus ibrah itu masih teramat terbiasa hanya tertuju pada kemuliaan Nabi Ibrahim As, yang dengan ketundukan totalnya kepada Allah Swt, buah hatinya pun rela “dikorbankan.”
Begitu pun Nabi Ismail As, sang putra teladan yang menunjukkan bahwa birul walidain (berbuat baik/taat kepada orang tua) niscaya selaras dengan kepasrahan kepada Allah Swt. Tidak sedikit yang lupa, di antaranya ada Siti Hajar, perempuan istimewa, pemilik segala bentuk kesabaran dan ketegaran.
Napak tilas atas laku hidup Siti Hajar ini tidak kalah pentingnya dari keharusan umat dalam meneladani keluhuran sikap Nabi Ibrahim dan Ismail. Memahami semangat Siti Hajar, sebagai istri dan ibunda dari dua manusia suci itu, sejatinya merupakan perkara yang tak kalah perlu.
Sebagaimana yang telah kita mafhum bersama, bahwa Siti Hajar merupakan perempuan yang telah berani bertaruh nyawa demi kelangsungan hidup sang putra tercinta.
Kisah Siti Hajar
Dalam kisah tersebut, terdapat momen yang sejatinya sangat mengibakan, tepatnya di saat Nabi Ibrahim harus meninggalkannya bersama Ismail yang kala itu masih sangat belia.
Bahkan, Siti Hajar sampai bertanya, mengapa suaminya itu berniat melangkah pergi sedangkan dia dan si kecil Ismail harus bertahan hidup di hamparan padang tandus tak berpenduduk? Saat pertanyaan itu terucap, Nabi Ibrahim cuma bergeming. Tak satu pun kata keluar dari Kekasih Allah tersebut.
Siti Hajar pantang menyerah. Ia pun kembali bertanya, “Apakah ini semua kehendak Allah Swt?” Saat dijawab “benar” oleh Nabi Ibrahim, Siti Hajar hanya bisa berpasrah, sembari memantapkan keyakinannya bahwa Allah Swt tidak akan membiarkan ia dan buah hatinya itu berada dalam kesusahan.
Menukil kisah dari Imam Ibnu Katsir dalam Qashashul Anbiya, padang kering tak berpenghuni itu tak lain adalah Bakkah. Kelak lebih populer dengan nama Makkah. Hingga ketika perbekalan kurma dan air telah habis di tengah belantara yang kosong itu, Siti Hajar dengan begitu gigihnya bergegas ke sana ke mari untuk mencari sumber air demi membebaskan putra tercintanya itu dari cekik rasa kehausan.
Siti Hajar berlarian hingga sebanyak tujuh kali di antara bukit Shafa dan Marwah yang berjarak 400 meter. Sayangnya, nihil.
Tak bisa kita bayangkan, betapa berat dan dilematisnya seorang Siti Hajar yang satu sisi harus meninggalkan bayinya di tanah pengasingan, sedangkan di sisi lain, pertaruhan hidup keduanya saat itu memang bergantung pada keberadaan air.
Selayaknya manusia biasa, rasa lelah pun tiba. Tetapi, Siti Hajar memang pantang mengenal putus asa. Hingga ia pun mendapati sebuah keajaiban. Sekembalinya dari pencarian, tepat di bawah kaki Nabi Ismail terdapat air yang perlahan-lahan membasahi tanah yang mulanya kering kerontang.
Titik Pijak Ibadah Sa’i
Kisah perjuangan inilah yang kemudian menjadi titik pijak ibadah sa’i kala berhaji. Namun, melampaui itu semua, setidaknya ada tiga pesan mendalam yang tidak boleh terabaikan umat Islam.
Pertama, Ibunda Hajar adalah perempuan pejuang. Utamanya, berjuang dalam melawan diskriminasi yang masih begitu lekat dan sarat dijumpai di masanya. Perjuangan Ibunda Hajar tidaklah tercatat hanya sejak peristiwa heroik tersebut, tetapi telah dilakukan sejak berpuluh tahun sebelumnya.
Selain berstatus sebagai seorang perempuan (yang kala itu sangat tidak dianggap keberadaannya oleh masyarakat patriarkhis), Siti Hajar juga merupakan budak berkulit hitam dan berkasta rendah. Karakter gigih Siti Hajar itu sudah barang tentu telah mematahkan pola-pola ketidakadilan yang diterapkan masyarakat kala itu.
Segenap perjuangan Ibunda Hajar, sejatinya tengah mengukuhkan firman Allah Swt bahwa sesungguhnya semua manusia setara di hadapan-Nya. Sedangkan identitas yang menempel dalam diri setiap manusia hanyalah anugerah.
Dalam QS. Al-Hujarat: 13, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Peran Kesalingan
Kedua, peran kesalingan. Melalui kisah Siti Hajar ini, umat Islam sebenarnya sedang diingatkan bahwa prinsip kesalingan sangat dibutuhkan dalam komitmen perjalanan hidup sebuah pasangan. Nabi Ibrahim As bisa terus menjalankan segenap apa yang Allah Swt perintahkan lantaran bisa berbagi peran, saling menguatkan, dan saling menasihati untuk bersabar.
Dalam QS. At-Taubah: 71, Allah Swt berfirman:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ketiga, kisah perjuangan Siti Hajar bukan hanya mengaminkan bahwa ibu memang merupakan madrasah bagi anak-anaknya. Lebih jauh dari itu, perempuan yang tegar dan sabar adalah induk dari sebuah peradaban.
Berkat kegigihan Ibunda Hajar itulah, pada akhirnya lembah yang sebelumnya cuma gurun tandus bebatuan, kini memiliki daya tawar. Air yang menyumber sebagai bayaran Allah Swt atas sikapnya yang begitu tegar, merupakan cikal bakal sumur zamzam, yang kemudian memancing ketertarikan banyak orang untuk tinggal di Makkah dan memulai kehidupan hingga terus berkembang hingga sekarang.
Sebab, air adalah sumber kehidupan. Sedangkan Siti Hajar (perempuan) senantiasa mengalirkan kasih sayang tanpa tawar-menawar. Wallahu a’lam bis shawab. []